Begitu GAM dan Pemeritah Indonesia menandatangani nota perdamaian pada tanggal 15 Agustus 2005 di Finlandia atau apa yang disebut sebagai Momerandum of Understanding (MoU) di Helsinki, beberapa media massa seperti koran, radio dan televisi baik di tingkat lokal, nasional dan internasional ramai-ramai saling bersahutan untuk membahas GAM dan RI yang telah berdamai lewat meja runding.
Beberapa diantara media massa, ada yang menyambut baik damainya GAM dan RI. Tapi sebelumnya, mereka mencibir bahkan menghujat GAM dengan berbagai pemberitaan yang miring. Mereka, media massa, juga tidak pernah benar-benar memberitahukan kepada dunia (khalayak ramai) tentang bagaimana deritanya Rakyat Aceh ketika Darurat Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh semasa presiden Megawati dan SBY berkuasa.
Ya, banyak media massa yang bungkam pada waktu itu. Di samping itu juga, media massa ternyata gagal menjalankan salah satu fungsinya sebagai kontrol sosial untuk mengawal jalannya penerapan DOM di Aceh. Bayangkan, jika saja media massa mengawal sekaligus mengontrol jalannya penerapan DOM di Aceh, maka Rakyat Aceh yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa itu, besar kemungkinan tidak akan menambah daftar panjang para korban konflik semena-mena dari aparat militer. Tetapi sekali lagi, media massa waktu itu tidak berani memberitakan DOM di Aceh berdasarkan fakta yang ada di lapangan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang namanya DOM atau operasi militer tersembunyi  ketika diberlakukan di negara manapun, sangat rentan mengalami kekerasan dan membuka peluang untuk menghalalkan segala cara, termasuk juga melanggar hak asasi manusia (HAM) walaupun ada pendapat yang mengatakan dalam militer tidak mengenal kata pelanggaran HAM. Karenanya, konflik yang terjadi di Palestina, Irak, Afghanistan, Lebanon, Libya dan lainnya menjadi bukti nyata bahwa operasi militer dapat melenyapkan nyawa orang yang tidak bersalah. Hal inilah yang terjadu dalam konflik bersenjata di Aceh.
Ada indikasi kuat bahwa media massa sangat berpihak kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini aparat militer (TNI dan Polri). Dalam berbagai pemberintaan di surat kabar misalnya, media massa cenderung menyedutkan GAM, bahkan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh GAM sekalipun diberitakan oleh media massa bahwa GAM seolah-olah dalang dibalik semua yang terjadi seperti penembakan, pembunuhan dan perempokan. Tetapi, lain halnya ketika media massa tidak menjalankan fungsi kontrol sosialnya untuk mengawal DOM di Aceh.
Kalkulasinya pun cukup jelas, jika Pemerintah Pusat memberikan ruang untuk media massa, maka jelas pula bahwa segala bentuk kekerasan DOM di Aceh akan diketahui oleh dunia internasional, sehingga tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menerima konsekuensi PBB terhadap Keputusan Presiden Nomor 28/2003 yang mengizinkan Aceh menjadi daerah perang atau apa yang disebut sebagai DOM. Itulah sebabnya mengapa Pemerintah Pusat menutup ruang geraknya bagi media massa (wartawan) yang ingin meliput DOM di Aceh.
Media massa kala itu tidak leluasa menurunkan laporan berita apa adanya. Bahkan Megawati Sukarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 43/2003 yang membatasi ruang gerak wartawan. Keputusan ini dijabarkan oleh Penguasa Darurat Militer Daerah Mayjen Endang Suwarya, yang melarang wartawan untuk memberitakan tentang: (1) Kode khusus atau sandi pasukan, pesawat, kapal serta kode atau sandi prosedur operasi tetap dan kode perhubungan; (2) Informasi rencana yang akan datang, (3) Instansi militer tertentu yang ditentukan oleh komando operasi; (4) Gambar daerah instalasi militer; (5) Informasi intelijen yang berkaitan dengan kegiatan teknis, taktis dan prosedur internal; (6) Informasi maupun propaganda musuh.
Anda tahu, tentu saja maklumat ini berimbas kepada tidak bebasnya para wartawan dalam memberitakan berbagai kejadian di daerah perang. Nyaris tidak ditemukan di halaman media massa --baik lokal dan nasional-- soal kekejaman yang ditimbulkan oleh perang atau DOM di Aceh. Padahal, kenyataan bahwa lebih dari 2.800-an orang diperkirakan tewas dalam perang antara kurun waktu 2003 hingga 2005.
Kekerasaan terhadap wartawan di Aceh selama DOM memang sudah diduga sebelumnya. Apalagi UU No. 23 PRP/Tahun 1959 dikenal sebagai undang-undang yang sangat represif, memberi kewenangan kepada penguasa darurat militer di Aceh untuk melanggar hak-hak manusia, termasuk mengabaikan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Padahal kebebasan pers justru sangat diperlukan selama situasi darurat militer di Aceh, untuk menjamin adanya sarana kontrol publik bagi pelaksanaan penerapan keadaan darurat militer itu. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Pemerintah Indonesia justru menerapkan peraturan ketat kepada wartawan di Aceh, terutama wartawan atau koresponden media asing. Barulah setelah GAM dan RI berdamai, media massa ramai-ramai memberitakan tentang korban konflik, kekejaman aparat militer atau hal-hal yang berkaitan selama DOM di Aceh.