Mohon tunggu...
Yos Mo
Yos Mo Mohon Tunggu... Penulis - Digital Worker since 2010-now (versatile, multiple skills position, certified)

Sports, music and media observer. Writing online on a blog is a fun hobby. As a blogger, I have collaborated with various well-known national and international brands, such as BCA, Coca Cola Amatil, EMTEK, Blue Bird, KOMPAS TV, etc. very welcome to contact me at bolafanatik(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mantap Kali Toleransi Pluralisme di Kota Medan

24 Januari 2017   21:07 Diperbarui: 4 November 2023   23:06 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Raya Al Mashun kota Medan (Dokumentasi Pribadi)

Sejak awal tahun ini aku ditempatkan bertugas di kota terbesar di luar Pulau Jawa, kota Medan. Beberapa pekan berada di kota Medan, banyak pengalaman istimewa yang aku rasakan, diantaranya istilah-istilah kata nan unik dan pluralisme.

Penduduk kota Medan sangat plural, dari beragam suku bangsa dan agama. Di kota ini tersebar banyak warga dari suku Batak yang terdiri dari enam klan (Batak Karo, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Mandailing dan Batak Angkola). Banyak pula penduduk suku Melayu, suku Jawa, suku Minang, dan suku Aceh. Di kota ini bakal banyak kita temui warga keturunan Tionghoa dan India Tamil. 

Dari jumlah lebih dari 2,2 juta orang penduduk, hampir 69 % penduduk kota Medan beragama Islam. 23 % beragama Protestan dan Katolik, Warga beragama Buddha mencapai 8 % lebih, dan 0,44 % menganut agama Hindu. Dengan keberagaman seperti ini, hebatnya penduduk kota ini sangat toleran terhadap perbedaan suku dan agama. 

Pada suatu Minggu sore, terdengar lantunan lagu yang terdengar keras dari rumah kakak Devi. Terdengar lagu bernuansa riang berbahasa Batak berlirik, "ooo, da jamila, da jamila da bintang film India. boru ni kalibat, parumaen ni pandita. godang do halak sega dibahen ho da jamilah. dirimpu anak boru hape naung ina ina. oh jamilah". 

Putrinya Devi yang masih balita tergelak tertawa-tawa senang diajak menari oleh sang nenek saat mendengarkan lagu yang kemudian awak ketahui berjudul 'Jamila'. Opung perempuan samping rumah yang kebetulan sedang duduk-duduk di teras juga ikut tertawa melihat putri dan mamaknya Devi menari lincah. 

Awak bertanya kepada si opung apakah makna lirik lagu 'Jamila' tersebut. Ternyata memang kocak makna liriknya, kira-kira menceritakan seorang wanita cantik mirip bintang film India bernama Jamila yang bikin banyak lelaki tergila-gila. Banyak lelaki mengira si Jamila seorang gadis, ternyata sudah emak-emak, menantunya pendeta... hehehehe.

TOLERANSI BERAGAMA NAN HARMONIS

Sebelum mulai kerja, saya sudah berada di kota Medan sejak pertengahan bulan Desember 2016. Jadi saya melewati masa perayaan hari raya Natal di kota ini. Di mana-mana terpampang ucapan 'Selamat Natal', baik di reklame atau spanduk di sekitar jalan raya, maupun di depan pintu masuk hotel-hotel dan berbagai mall. Tak ada gejolak maupun ketegangan karena ormas yang melarang-larang ucapan selamat hari raya bagi umat Kristiani tersebut. 

Gereja GPIB Imanuel kota Medan (analisadaily.com)
Gereja GPIB Imanuel kota Medan (analisadaily.com)
Awak (sebutan lain 'aku) di kota Medan berdomisili di Kelurahan Gaharu, tidak jauh dari pusat kota. Kebetulan, tempat tinggal awak berada di lingkungan yang tingkat pluralismenya tinggi. Di samping kiri tempat tinggal awak ada keluarga dari suku Jawa. Di samping kanan rumah awak, tinggal suami istri yang sudah agak sepuh (biasa disapa 'opung') yang berasal dari Tarutung. Di depan rumah ada pasutri muda keturunan India Tamil, sang istri bernama Devi berjualan soto kari di depan rumahnya. Di depan gang rumah ada warga keturunan Tionghoa yang setiap hari biasa menyalakan hio di sudut rumahnya. 

Saat waktu senggang, awak sempatkan melalak (jalan-jalan). Biasanya awak melalak ditemani oleh rekan sekantor yang akrab disapa Uda Kumis. Si Uda Kumis ini asli Minang bermarga Chaniago. Awak cukup sering berkeliling di kawasan bersama-sama Uda Kumis. Saat melalak, awak perhatikan bangunan ibadah dari berbagai agama berdiri megah di sekitar pusat kota.

Tempat tinggal awak hanya berjarak kurang lebih 1 Km dari Merdeka Walk yang merupakan salah satu tempat hang out paling ramai di Medan. Di sisi Merdeka Walk ada bangunan kantor pos berumur tua. Di sisi lainnya terdapat Stasiun Kereta Api kota Medan. Tepat di belakang Stasiun Kereta Api Medan berdiri megah vihara Kwan Tek Kong (Setiabudi). Vihara Setiabudi ini merupakan yang terbesar dan paling tua di Medan. Konon vihara ini didirkan oleh salah satu saudagar ternama di Medan pada masa lampau bernama Tjong Yong Hian. Yang menarik, hanya berjarak sekitar 10 meter dari vihara ini berdiri masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun