Mohon tunggu...
Alfand RS
Alfand RS Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cita-cita ingin menjadi penulis,tapi tulisanya belum juga bagus ..hadeeeh...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku, Mama, dan Waria

13 Juni 2011   02:50 Diperbarui: 4 April 2017   16:35 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan nama, tempat dan kejadian , Itu hanya kebetulan saja.

Pemuda belia itu keluar dari pintu kaca berwarna hitam, masih mengenakan seragam sekolah biru putih, lengkap dengan tas pinggangnya, terlihat menggenggam lembaran uang berwarna biru dan merah, lantas dimasukkannya kedalam tas , buru-buru menyambar sepeda motornya. Lalu pergi.

Sandra tersenyum beringas, tanda kepuasan telah didapatkannya.

Aku mengintip dibalik jendela kantorku, mataku menitik, sedetik kemuadian, memori 12 tahun silam merangsek dalam pikiranku.

Dua belas tahun yang lalu saat keluarga Subagja menemukanku pingsan, dan membawaku ke kota ini, lalu menjadikanku anak angkat. (baca=anak pungut). Usiaku baru 13 tahun saat itu, entah apa yang terjadi padaku hingga aku pingsan, yang aku tahu, aku sudah berada di dalam kamar di rumah mewah yang kini menjadi tempat tinggalku, bersama keluarga Subagja, dan kedua anaknya, Putra dan Putri.

Kadang aku merasa sangat tidak enak, namun keluarga ini terlalu baik bagiku, mereka merawat dan mengurusku sedemikian sayangnya. Aku telah dianggap seperti anak kandungnya sendiri dan tak pernah mereka beda-bedakan. Saat itu Putri masih berusia 5 tahun, baru masuk Taman kanak-kanak, sedangkan Putra masih berusia 2 tahun.

Namun perjalanan tidak mulus begitu saja, ketika kedua adikku telah menginjak dewasa, mereka mulai mencari kemiripan satu sama lain, mereka selalu bertanya, kenapa aku sebagai anak pertama malah tidak mirip dengan mereka, terutama Putra yang kini telah berusia 14 tahun, selalu menanyakan pada Mama, benarkah aku adalah Abang kandungnya.

Hingga satu saat Putra mendengar dari tetangga, bahwa aku adalah anak pungut Mamanya.

Sikap dan perilaku Putra  mulai berubah sejak itu, hatiku tersayat, pilu. Putra sering memperlakukanku seperti pembantu yang harus selalu menuruti apapun kemauannya.

Tapi tidak dengan Putri.

Putri masih sangat menghormatiku, bahkan dia sama sepeti Mama dan Papa, tak pernah membeda-bedakan aku dengan mereka. Meski Putri telah tau aku bukan Abang kandungnya, Dia tetap berperilaku seperti biasanya, tak ada sedikitpun perubahan.

Sore itu aku pulang kehujanan, bersamaan sesampai di gerbang pintu aku mendapati Putra juga baru saja sampai .

“ Cepat buka pagarnya ” ! Bentaknya sambil menggigil, dan mendorong Motornya ke halaman.

“ Jangan lupa masukin Motorku ke Garasi ” !

Aku hanya diam, dan melaksanakan segala titahnya.

Mama menyambut kedatangan kami dengan hangat.

“ Kok kalian bisa pulang bersamaan”, ? Mama bertanya heran.

“Putra, dari mana jam segini baru pulang? Tanya Mama ke Putra.

“ Ada extrakurikuler tadi Ma” teriaknya sambil berlalu ke belakang.

“ Kamu juga, kenapa mukamu pucat begitu, kamu sakit An? Tanya Mama padaku.

“ Enggak Ma, Cuma kecapek-an”.

“ Ya udah buruan ganti baju, mandi terus makan, jangan lupa ajak Adikmu, suruh segera buruan Mandi”.

“ Iya Ma”.

Sesaat di meja makan.

Aku dan adiku, Putra.

“ Tadi ada Extrakurikuler apa?, kok pulangnya sampai sore begini?

“ Mau tau aja”! mau pulang pagi kek, mau pulang sore kek, peduli amat”. jawabnya Ketus.

Aku terdiam. Tidak ada obrolan lagi hingga acara makan siang kami yang telat itu selesai.

Malam Harinya, hujan  turun dengan deras, kedua adiku telah terlelap.

Aku berdiri di teras rumah, mataku berkaca-kaca, masih membayangkan pemandangan siang tadi.

Pemuda kecil itu keluar masuk kedalam pintu kaca hitam, masih mengenakan seragam sekolah, lengkap dengan tas pinggangnya, lalu Sandra tersenyum beringas tanda puas.

Ini bukan sekali saja aku lihat, terkadang Sandra menyuapi makan siang pemuda kecil itu, saat tiba di tempatnya,

Setelah sekian menit berlalu. Lembaran uang biru dan merah buru-buru dimasukkan kedalam kantong celana pemuda itu. Lalu menyambar motornya cepat-cepat.

Hatiku miris, hatiku pilu, hatiku tersayat. “ BIADAB!”. Kenangan 12 tahun silam itu terus menghantui dan membuat hujan air mataku.

“ An, ngapain kamu diluar malam-malam gini ?” Mama membuyarkan lamunanku dari belakang.

“ Emmmm…enggak Ma” jawabku Gugup.

“ Kamu kenapa? Kok sedih gitu, dari tadi lagi, sejak kamu pulang kerja. Ada masalah di kantor?, atau ada masalah sama Adikmu ?

“ Tak ada apa-apa Ma”.

“ Kamu jangan bohong, Mama tau kok, kamu tersinggung dengan perilaku Adikmu belakangan ini ,dia berubah, sejak Dia tau kamu bukan Abang kandungnya. Tak usah kamu pikirin, kamu tetap anak Mama, bukan orang lain”, Mama berusaha menenangkanku.

“Ma, aku sayang sama Putra dan Putri”.

“ Ya, makanya kamu tetap di sini, dirumah ini, gak usah cari kerja keluar kota lagi, kan disini udah cukup”

“ Ma, aku boleh tanya sesuatu?”

“ Apa itu?”

“ Berapa Mama setiap hari kasih uang saku sekolah Putra”?

“ lhoh memang kenapa? Dia sering minta sama kamu?”

“ Bukan begitu Ma”

“ Jadi kenapa?

“ Harusnya Putra belum boleh bawa Motor sendiri Ma, kan dia baru kelas 2 SMP, kan bisa aku antar dia ke sekolah sebelum ke kantor ”.

“ Ya , maunya Mama juga begitu, sebenarnya  Mama atau Papa juga bisa antar sambil berangkat ke kantor, tapi memang Putra yang gak mau, tar kalau gak diturutin , kiranya Mamanya gak sayang, kayak kamu gak tau aja sikap Putra itu bagimana "

Aku menghela napas panjang.

“Memang kenapa dengan Adikmu An?”

“ Gak ada Ma, aku Cuma takut aja, Dia kenapa-napa, jalanan kan ramai, dia masih kecil. Apalagi hujan-hujanan seperti tadi, takut Typus-nya kambuh Ma” aku beralasan. Bagaimanapun aku tak akan pernah menceritakan ini semua kepada Mama.

“ Yaudah, sering-sering aja kamu ingetin, supaya hati-hati kalau bawa motor, kita berdo’a saja supaya tak terjadi apa-apa sama Adikmu”.

“Iya Ma”.

********

Hari itu , hari minggu, aku hanya di rumah beres-beres, Mama nganterin Putri pergi ke Salon, Papa masih di luar kota, sedangkan Putra pergi keluar dengan teman-temannya.

Senja itu , ketika mentari hampir tenggelam.

Mama dan Putri tiba dari salon .

“Bang, Bang Aan, sini deh,! teriak Putri dari pintu Mobil sambil berlari menghampiriku.

“ Tau gak Bang, saking Baiknya Mama, Mama tadi kelahi sama Preman, gara-gara belain kak Sandra Waria itu hahaha ”.

“Waria juga manusia Put”! teriak Mama dari dalam Mobil, dengan Nada kesal, sambil mamasukkan mobil ke Garasi. Lalu keduanya terbahak, aku ikut serta. Lama kami tertawa-tawa.

“Memangnya Mama nolongin apa?  Putri ke salon Mana sih?

“ Itu Bang, salon yang di simpang tiga depan kantor Abang, salon Sandra”

“Gini ceritanya, pas Putri lagi Creambath, tiba-tiba ada segerombolan Preman yang sepertinya lagi mabok, masuk kedalam salon lalu nodong Sandra, minta uang. Lantas  Mama gak terima, lalu Mama tarik dompet Sandra dan Mama ambil uang Sandra RP.20.000, Mama kasih ke preman itu, tadinya kan Preman itu minta uang ma Sandra, maksa, gak mau dikasih dikit, jadi Sandra ketakutan, saat itulah Mama jadi Superwomen. Di maki-makinya Preman itu suruh pergi sambil dikasih uang Rp. 20.000 itu. Hahahaha….Putri ketawa ja liat tingkah Sandra yang ketakutan, padahal kan badan dia besar, kok gak berani ya, dasar Bencong, hahaha…"

“Husss…gak boleh gitu Put, Dia juga kan manusia, Mama paling gak suka liat orang dianiaya didepan Mata Mama, apalagi minta uang seenaknya, gak da kerjaan, bisanya cuma minta-minta doang”  Mama menjelaskan setengah tidak terima dengan ejekan Putri.

" Uhh Mama ni " . Putri masuk ke kamar sambil cemberut.

Sore itu kami bercerita panjang lebar di teras rumah, sesekali terdengar gelak tawa kami bertiga.

Putra baru pulang ketika waktu telah hampir menunjukan jam 6 sore.

Lalu aku terpekur, seandainya Mama tau, bahwa anak laki-lakinya………….............. (pasti Mama tak akan pernah mengampuninya, pasti Mama akan membiarkan Wanita setengah Pria itu menjadi bulan-bulanan Preman, bahkan dibiarkannyalah dia mati sekalipun).

Aku tak sanggup, “BIADAB”, aku benci…..

Kenapa Mama sampai tidak mengetahui hal ini?.

Tapi adilkah aku menghakimi Sandra sebagai satu-satunya yang disalahkan, bukankah Putra yang datang sendiri, bukankah Dia yang butuh? Bukankah Dia yang menjual, buakankah atas kemahuannya sendiri. Dan untuk apa Dia melakukan itu, apakah kekurangan atau apa ? Apa yang sebenarnya terjadi pada Adiku ?

Dan kenapa aku Cuma diam saja waktu itu, kenapa aku tidak melakukan sesuatu? Mengapa aku membiarkan hal itu terjadi di depan mataku. “BIADAB” !

Aku menangis, tapi aku tak sanggup memikirkannya lagi,.

Lidahku kelu.

Tubuhku membeku.

Hanya do’a yang bisa aku lakukan, semoga Adiku Putra, segera menyadari semua perbuatannya ini salah.

Kemana saja uang-uang itu dia pakai, untuk apa, bukankah setiap hari Mama sudah memberinya uang Rp. 50.000, belum lagi dia minta dariku, yang seringnya lebih dari Rp.100.000, kenapa masih melakukan hal itu juga.

Hatiku berontak, aku benci.

Kenangan Dua Belas tahun silam kembali menyeruak. Sesaat sebelum aku pingsan, dengan pakaian terkoyak. Bayangan wajah-wajah hitam itu, tubuh tegap besar itu. Kepalaku pening. Aku tak sanggup. “BIADAB”!

Untuk adiku tersayang, sebab itulah mengapa aku menyayangmu, hingga aku bisa memikirkanmu sedalam itu, bahkan yang Mama tidak tahu sekalipun,aku tau, aku bisa merasakan, dan begitulah cara aku menyayangimu, aku tak bisa memberi apapun kecuali berkata-kata, aku tidak menuntut balas apapun darimu. Seharusnya aku menjagamu sejak itu, seharusnya kamu tahu aku ada, seharusnya aku tak membiarkanmu melakukan itu, sehingga merusak cara berfikirmu kini.

Biar sajalah aku yang menyimpan segala kenangan buruk itu kini, masa laluku, dan masa lalumu, aku menyayangimu seluruh hidupmu, termasuk masa lalumu,aku akan menyimpannya, aku sendiri.

Kenapa engkau tak pernah mau mendengarku, apa karna aku hanya anak pungut Mama mu? Tapi aku tak pernah menganggapmu orang lain, seperti kedua orang tuamu menganggapku, seperti mereka menyayangiku, begitulah aku menyayangimu, hingga kini, sampai detik ini.

Segala bentuk nasihatku adalah juluran kasih sayang ku kepadamu, segala bentuk sikap Protektifku adalah wujud kepedulianku kepadamu, agar engkau terjaga, sebegitu dalamnya aku memikirkanmu, hingga tak ada seorangpun yang bersarang dalam benakku, kecuali engkau Adiku.

Dan ketika masa berlalu hampir 4 tahun dari kejadian-kejadian itu, kini engkau telah dewasa,

Dan aku tetaplah menyayangmu, meski kita tak lagi bersama. Ketahuilah adiku, kasih sayang tidak selalu  berbentuk sebuah pemberian, harta atau uang.

“Ma, selama aku pindah Kerja ini, jagain Putri dan Putra baik-baik ya, aku sayang  sama mereka Ma, terutama Putra, jangan sampai terjadi apa-apa sama Dia, Dia masih kecil Ma, jangan biarkan Dia sendirian diluar sana”.

Tiga tahun yang lalu pesan itu kusampaikan sama Mama, sebelum aku dipindah tugaskan oleh Perusahaanku. Dan meninggalkan rumah keluarga subagja yang telah membesarkanku.

Kenangan pahit Dua Belas tahun silam menyeruak lagi dan meneteskan air mataku. Kejadian Empat tahun silam, dijalan simpang tiga yang berselimut kegelapan,hatiku yang remuk redam,  bayangan Anak lelaki kecil, berseragam biru putih,lengkap dengan tas ranselnya, keluar masuk dari pintu kaca hitam, ada guratan ketakutan diwajahnya, kadang senyum kepuasan dan entah apa yang Ia sedang pikirkan, lembaran uang warna biru dan merah buru-buru Ia masukkan dalam kantong celananya, dan menyambar sepeda motornya. Aku tertunduk, pilu, mataku mengalir.

Hingga kini aku menyimpannya sendiri, hanya aku yang tahu. Aku sendiri. Biar aku yang merasakannya sendiri.

sebab itulah aku menyayangmu Adiku.

Cuma satu Harapanku, engkaulah Adiku, meski kita bukan saudara sedarah, tapi aku mencintaimu, seperti Mama mencintai kita. Engkaulah Harapanku, aku akan menguatkanmu selalu, meski jarak memisahkan kita. Jadilah kebanggaan keluarga dan orang Banyak. From now until forever, I’ll never stop lovin’ U.

* Cerita di Pagi hari, setelah mendapatkan caci maki xixixi

Dikutip dari Blog Pribadi saya http://alfand.blogdetik.com & di posting kembali di http://www.kompasiana.com/catatanngasal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun