Mohon tunggu...
intan carizdone
intan carizdone Mohon Tunggu... -

little thing can affect a big think

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

BPSK dan Sengketa Konsumen

15 Maret 2013   03:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:44 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.Sejak jaman manusia purba sudah diperlihatkan kecenderungan untuk melakukan kerja sama sekaligus semangat persaingan di antara mereka. Dalam semangat persaingan inilah sebuah kelompok akan berhadapan dengan kelompok lainnya guna mengejar tujuan masing-masing. Sehingga sangat potensial memunculkan sebuah konflik atau sengketa.

Secara tradisional dan konvensional berbagai cara ditempuh orang guna menyelesaikan sengketa diantara mereka. Sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, beragam alternatif digunakan orang guna meredam ketegangan diatara mereka, baik alternatif tersebut menggunakan cara kekerasan atau tidak.

Setelah belajar dari pengalaman yang mendasarkan pada proses trial and error, serta melihat sisi lemah pendekatan konvensional maka sebagian dari mereka menjatuhkan pilihan pada alternative penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR memiliki kelebihan yaitu pendekatan ini membuka peluang bagi para pihak untuk mencapai sebuah kesepakatan yang didasarkan pada faktor-faktor selain uang. Disisi lain yang menarik, diluar proses yang bersifat lebih cepat, lebih murah dan tidak bernuansa permusuhan, para pihak dituntut untuk benar-benar dapat mengidentifikasi kebutuhan mereka sehingga sengketa dapat dituntaskan Demikian halnya dengan sengketa konsumen. Apabila terdapat perbedaan dan pelanggaran terhadap hak konsumen maupun pelaku usaha, maka akan timbul sengketa yang disebut sengketa konsumen.

Sengketa konsumen memiliki karakteristik yang khas atau bersifat khusus, maka dalam banyak hal tidak dapat diberlakukan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa pada umumnya. Prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana pada umumnya diterapkan di lembaga Pengadilan (Formal) sudah pasti bukan merupakan model yang tepat untuk penyelesaian sengketa konsumen. Bahkan tata cara penyelesaian sengketa alternatif (non formal) yang diterapkan seperti di Mediation Center atau di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) atau lembaga ADR (Alternatif Dispute resolution) lainnya juga tidak dapat serta merta diterapkan begitu saja pada Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Karakteristik khusus lainnya yang ditemui dalam sengketa konsumen antara lain berkaitan dengan ketimpangan daya tawar (bargaining potition) antara konsumen dan pelaku usaha. Dimana pada umumnya konsumen berada dalam posisi yang lebih lemah secara ekonomis, psikologis, dan pengetahuannya dibandingkan dengan pelaku usaha yang pada umumnya berbentuk Corporate dan sudah tertata dengan sistematis segala bentuknya. Diluar hal tersebut, titik pangkal dari sebuah sengketa umumnya berawal dari informasi yang tidak diterima secara benar dan tepat, sehingga pemahaman mengenai transaksi barang dan atau jasa menjadi berbeda. Hal ini tentu sangat sederhana dan lebih baik diselesaikan dengan musyawarah, tanpa harus berbelit-belit menerapkan aturan hukum dan sanksi.

Nilai tertinggi dari penyelesaian sengketa adalah sebuah kesepakatan yang sering kita kenal dengan win-win solution, dimana tidak ada pihak yang menang dan tidak ada yang kalah. Untuk mencapai sebuah solusi menang-menang, dibutuhkan ketrampilan dan pengetahuan yang cukup dari pemandu musyawarah (konsiliator atau mediator) serta pendalaman culture untuk mengikuti ritme para pihak yang bersengketa.

Jika di India kita mengenal State Consumer Disputes Redressal Commissions sebagai lembaga quasi peradilan dan bertugas memberikan ganti rugi secara cepat kepada Konsumen, Indonesia juga memiliki Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang didirikan tingkat Kabupaten untuk menyelesaikan sengketa konsumen. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”)mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melaluibadan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan. Jadi sebagai bentuk perlindungan dari negara, konsumen diberi kebebasan sesuai dengan kemampuan untuk menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan seperti quasi peradilan yang bernama BPSK.

Dibentuknya BPSK sangat membantu konsumen terutama dalam hal prosedur beracara yang mudah, cepat, tanpa biaya karena segala biaya yang timbul sudah dibebankan kepada APBD masing-masing Kabupaten/Kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Prosedur penyelesaiannya pun tidak rumit harus menggunakan dalil-dalil hukum yang kaku. Konsumen  / pengadu dapat mengajukan gugatan tertulis maupun tidak tertulis tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlupersetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.

Hal terpenting dari penyelesaian melalui BPSK adalah adalah adanya peluang memilih metode penyelesaian yang semi tertutup baik secara konsiliasi, mediasi, ataupun arbitrase. Hal ini penting untuk  penyelesaian sengketa konsumen yang mengandung muatan bisnis global. Dari sisi pelaku usaha tentu tidak perlu khawatir akan pencemaran brand image productnya yang dilaporkan oleh konsumen. Dari sisi Konsumen juga terbantu dengan memiliki daya tawar (bargaining potition) yang lebih tinggi dibandingkan saat harus melakukan negosiasi mengenaik kesepakatan penyelesaian. Kapabilitas majelis BPSK yang berlatar belakang keterwakilan unsur pemerintah, pelaku usaha dan konsumen pun sangat mempengaruhi keberhasilan penyelesaian sengketa. Keterpaduan 3 tiga unsur tersebut diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pelaku usaha dan konsumen yang bersengketa, karena mereka akan mengarahkan menurut sudut pandang masing-masing unsur.

Meskipun didalam aturan undang-undang Konsumen yang  diberikan hak untuk mengadu, bukan berarti hak pelaku usaha diabaikan dalam penyelesaian melalui BPSK. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 memberi jaminan perlindungan hak terhadap Konsumen dan Pelaku Usaha yang ditegakkan melalui BPSK sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa (ADR). Setelah 13 tahun dibentuk sampai dengan saat ini, penyelesaian melalui BPSK terbukti efektif untuk menyelesaikan sengketa konsumen di wilayah kabupaten/kota dibandingkan penyelesaian melalui lembaga peradilan konvensional.

Selamat hari konsumen sedunia. sebagai konsumen seharusnya kita memiliki sumber daya yang kuat agar terhindar dari pelanggaran hak-hak kita sebagai konsumen. let the buyer beware...

Nurhasan, Potret ADR di Inggris, Rambu Konsumen, Edisis Keempat, Tahun I, Juli, 2004, hal 3

J. Widijantoro & Al. Wisnubroto, Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam upaya perlindungan konsumen, Fakultas Hukum, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004, hlm. 20

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun