Mohon tunggu...
Cak Noer
Cak Noer Mohon Tunggu... Jurnalis - Menempuh pendidikan S1 di UIN Walisongo

Penulis lepas & Penikmat literasi. Mahasiswa S1 UIN Walisongo Semarang, Santri Darul Falah Be-Songo.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filosofi Kupat di Bulan Syawal

12 Juni 2019   09:53 Diperbarui: 12 Juni 2019   22:19 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Hi Tekno.com

Di seluruh Nusantara memiliki berbagai macam cara dalam menyemarakkan hari raya Idul Fitri. Di pulau Jawa sendiri khususnya terdapat tradisi 'Kupatan' yang merupakan hasil dari pemikiran para walisongo yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan dakwah Islam melalui budaya.

Tradisi ini biasanya dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri. Biasanya masyarakat desa berkumpul di suatu tempat seperti masjid atau musholla untuk melakukan selamatan dan seluruh warga membawa hidangan, yang di dominasi dengan ketupat.

Kupat merupakan makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan selongsong dari anyaman daun kelapa yang masih muda (janur).  Janur berasal dari serapan bahasa Arab yaitu Ja'a Nur (datangnya Nur) maknanya adalah telah datang cahaya kesucian, setelah melakukan ibadah puasa. Penyebutan nama janur ini adalah hasil dari dakwah para wali terdahulu. Masyarakat desa biasanya membuat sendiri anyaman tersebut lalu diisi dengan beras yang telah direndam air.

Selanjutnya kupat tersebut direbus berjam-jam sampai matang. Makanan ini biasanya di sajikan bersama sayur pelengkap, seperti opor ayam dan lainnya.

Ketupat sudah menjadi maskot makanan khas lebaran. Namun dalam tradisi Jawa makanan ini bukan hanya sajian pada hari kemenangan, tetapi juga mengandung makna filosofis yang mendalam dalam tradisi Jawa.

Seorang budayawan yang bernama Zastrouw Al-Ngatawi menegaskan bahwa tradisi ini merupakan bentuk dari sublimasi dari ajaran islam dalam tradisi masyarakat Nusantara. Hal ini merupakan cara Walisongo untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah, dan saling menjalin silaturrahim.

Oleh para walisongo, tradisi membuat kupat itu dijadikan media untuk meyebarkan syiar agama. Dalam tradisi tersebut diadakan upacara yang perlengkapannya menggunakan ketan, kolak, apem yang diberi wadah pisang yang dibentuk sedemikian rupa yang disebut takir. Setiap bagian dari upacara tersebut memiliki makna filosofis yang merupakan dasar dari ajaran agama.

Ketan sendiri merupakan perlambang yang diambil dari kata khatam (selesai) melakukan ibadah, takir dari kata dzikir, dan apem dari kata afwun yang berarti ampunan dari dosa. Untuk nama kupat sendiri merupakan singkatan dari ngaku lepat(mengakui kesalahan) yang menjadi simbol untuk saling memaafkan.

Ketupat atau kupat sendiri memiliki banyak makna sebagaimana yang telah diketahui oleh masyarakat Jawa. Kupat di artikan sebagai "laku papat" yang menjadi simbol dari empat segi dari ketupat. Laku papat yaitu empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, laburan. Maksud dari empat tindakan tersebut antara lain:

Pertama, Lebaran yaitu suatu tindakan yang berarti telah selesai yang diambil dari kata lebar (bhs. jawa). Selesai dalam menjalani ibadah puasa dan diperbolehkan untuk menikmati makanan.

Kedua, Luberan berarti meluber, melimpah yang menyimbolkan agar melakukan sedekah dengan ikhlas bagaikan air yang berlimpah meluber dari wadahnya. Oleh karena itu tradisi membagikan sedekah di hari raya Idul Fitri menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun