Mohon tunggu...
Iip Rifai
Iip Rifai Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Penulis Buku PERSOALAN KITA BELUM SELESAI!, 2021 | Pernah Belajar @Jurusan Islamic Philosophy ICAS-Paramadina, 2007 dan SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, 2015

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Definisi Agama dalam Budaya Politik

1 November 2016   16:56 Diperbarui: 12 April 2020   22:18 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Dokumen Pribadi

Membaca buku “Studi Agama di Indonesia: Refleksi Pengalaman” terbitan CRCS UGM, Oktober 2015, yang disunting Samsul Maarif, selain sangat menarik untuk didalami dan dikaji pula membuka lebar wacana baru tentang agama yang dipersepsi konvensional oleh banyak orang selama ini. Tiga bab pertama buku ini menggali satu isu yang cukup sentral dan krusial dalam studi agama, yaitu tentang paradigma agama itu sendiri. Tulisan pertama oleh Zainal Abidin Bagir, yang merupakan catatan atas sebagian topik utama dalam matakuliah Academic Study of Religion, memproblematisir konsep “agama”, untuk merangsang daya kritis atas definisi-definisi tentang agama yang dibuat dengan jejak politis yang amat kentara—baik politik negara (mulai dari zaman kolonial hingga kini) maupun politik akademia.

 Adapun Samsul Maarif yang mengangkat topik sentral tentang “agama lokal”, sebuah kategori yang berada di luar radar definisi agama oleh negara. Maarif menunjukkan betapa pendefinisian itu bukan hanya memiskinkan studi agama namun juga membawa dampak-dampak sosial yang cukup serius. Maarif sekaligus menunjukkan bahwa studi agama dalam konteks Indonesia, dimana agama berperan amat kentara di ruang publik, sedikit banyak mesti mengambil posisi advokasi, tanpa menafikan karakter akademisnya.

Tulisan lainnya, Achmad Munjid menunjukkan betapa jejak definisi negara mengenai agama tampak nyata dalam pemahaman rata-rata mahasiswa. Sikap terbuka untuk tidak mengadili agama-agama lain dengan menggunakan kategori-kategori yang berlaku dalam suatu agama lain menjadi syarat untuk studi agama yang baik. Untuk itu, definisi tentang agama yang biasa dikenal mahasiswa mesti dipertanyakan terlebih dahulu. Beranjak dari kritiknya atas pengajaran agama di sekolah-sekolah Indonesia yang sifatnya mono-religius, maka ia mengusulkan pengajaran agama atau studi agama melalui pendekatan inter-religius. Tujuannya bukan untuk mengetahui mana agama yang paling benar diantara agama-agama yang lain, namun untuk melakukan refleksi kritis terhadap atas identitasnya sendiri ketika berinteraksi dengan yang lain.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan negara yang menetapkan enam agama sebagai agama yang diakui menjadi identitas bangsa Indonesia yang pada kenyataanya menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak kewarganegaraan penganut keyakinan di luar keenam agama yang diakui. Hal ini menunjukkan bahwa politik negara sangat dominan untuk menentukkan sebuah definisi sesuai yang dikehendakinya.

Agama Sebagai Sebuah Kontruksi

Menurut Zainal Abidin Bagir, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, pertanyaan mengenai “apa itu agama” tentu tak hanya soal pendefinisian semantik yang dapat diselesaikan dengan konsensus dalam buku kamus. Di balik itu, seperti tampak jelas dalam kajian Smith, ada dimensi-dimensi sosial, politik, dan teologis yang berjalin berkelindan. Studi agama, dengan demikian, bukan hanya merupakan studi atas suatu variabel bernama “agama” yang telah terdefinisikan dengan baik, tetapi juga upaya untuk mengenali situasi sosial dan politik yang mendorong orang, dengan satu atau banyak alasan lain, mencirikan sekelompok fenomena dengan kata itu, beserta berbagai konsekuensinya.

Apakah “agama” itu? Pertanyaan tersebut biasanya  dijawab dengan jawaban definisi. Ada banyak definisi mengenai agama itu apa, tetapi setiap definisi selalu menuai pertanyaan baru dan kritik, hingga berujung pada ketidakpercayaan pada definisi itu. Definisi tersebut bisa berada di awal pembicaraan, agar jelas subyek pembicaraannya. Tetapi dapat juga bisa diakhir pembicaraan, sebagai pencapaian, hasil pengenalan terhadap suatu fenomena. Kedua cara tersebut mengandaikan adanya suatu entitas terpisah yang dapat dibedakan dari yang lain (diidentifikasi) yang disebut “agama”.

Dalam pandangan banyak pengkaji agama, keberadaan entitas itu justru dipertanyakan. Entitas tersebut adalah diciptakan (invented) atau lahir dari proses konstruksi sosial. Penggunaan istilah konstruksi di sini menyiratkan bahwa “agama” bukanlah sesuatu yang niscaya atau yang lahir secara alamiah, tetapi hidup dalam sejarah manusia. Ini bukanlah upaya menafikan aspek-aspek supranatural yang dipahami ada dalam (banyak) agama, meskipun sebagian agama, dengan cara pendefinisian yang berbeda, mungkin memahami nature secara berbeda dan karenanya memiliki konsep berbeda-beda atau bahkan tak memiliki konsep tentang supranatural. Namun ia lebih merupakan upaya metodologis membatasi apa yang dikaji dalam studi agama. Formulasi ini mungkin tak sepenuhnya memuaskan, tetapi yang ingin ditegaskan adalah adanya kesadaran untuk mempertanyakan pemahaman-pemahaman konvensional mengenai agama (Samsul Maarif 2015)

 Konstruksi agama terjadi dalam proses regulasi agama, khususnya oleh negara atau suatu kekuasaan politik. Konteks Indonesia, agama, sebagai sebuah konstruksi, telah lama dipolitisasi oleh penguasa yang dimulai semenjak masa penjajahan hingga pasca pascakolonial. Akibatnya, saat ini hanya 6 (enam) agama yang sah dan diakui, selain yang disebutkan, termasuk agama lokal, harus berubah dan lebih ekstrim lagi wajib ditinggalkan.

 

Di era Orde Baru, misalnya, kebijakan politik memainkan peranan penting dalam menentukan studi agama. Negara hanya mengakui dan mengatur 6 (enam) agama yang bisa hidup dan berkembang di Indonesia. Kondisi tersebut menjadikan studi agama lokal kian tersisih dan menjadi asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun