10.Jangan Pernah Patah Semangat
Selepas solat ashar, sore itu Pak Bahri sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Dian membuatkannya segelas teh manis dan menaruhnya di atas meja. Ketika Dian mau kembali ke dapur, tiba-tiba ayahnya berkata.
“Dian, kamu duduk di sini dulu,” tanpa menyahut Dian pun duduk. Wajahnya tertunduk tanda hormat pada sang ayah.
“Parjito mana?” Tanya ayahnya seraya menghirup teh manisnya yang hangat itu. Dian menggeleng tidak tahu.
“Bu…. Bu Parjito tadi mana?” Tanya Pak Bahri kemudian pada istrinya.
“Lagi di mushola, Pak!” Jawab istrinya agak keras suaranya dari dapur. Tanpa menunggu Parjito datang, Pak Bahri langsung ‘ngomong ‘ sama Dian.
“Dian, Bapak bangga dengan prestasi belajarmu. Tapi Bapak nggak bisa beri kamu hadiah atau apalah seperti orang-orang itu. Jangan pernah patah semangat untuk belajar. Bapak yakin setiap persoalan selalu ada jalan keluar.”
“Iyya Pak, soal baju seragam Dian yang sudah lusuh masih bisa dipake’ kok!” Kata Dian menenangkan hati ayahnya. Dua hari yang lalu Dian utarakan pada ibunya tentang baju seragamnya yang sudah lusuh dan kerah lehernya terlihat sobek kecil. Ini pula yang menjadi sumber ejekan teman-teman kelas tetangganya. Setiap kali ia ingat ini, setiap kali itu pula pilu hatinya.
“Pak, besok Dian ikut Bapak berkeliling narik gerobak ya?” setengah memelas dan manja ia memohon agar dibolehkan ayahnya mencari rongsokan. Pak Bahri tidak menjawab. Diam membisu. Dalam kepalanya sedang berkecamuk segala perasaannya. Kedua bola matanya tiba-tiba terlihat mengkilap.
“Boleh … ya.. Pak?” Dian mendesak.
“Kemarin Bapak sama Mas Parjito.”