Mohon tunggu...
Budi Rachman
Budi Rachman Mohon Tunggu... Novelis - Penulis buku, praktisi olahraga, dan penikmat film.

Belajar menulis memaksa saya membaca. Membaca mendorong saya untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Transformasi Hakim: Dari Tuhan, Manusia, dan Data

16 Oktober 2019   22:34 Diperbarui: 16 Oktober 2019   22:58 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.freepik.com

"Mahkamah Konstitusi Dibuat Agar Orang Tak Terlalu Banyak Berdoa." Rocky Gerung ILC (2/7/2019)

Pada jaman dahulu kala, tepatnya pada tahun 1776 Sebelum Masehi ada sebuah sistem hukum ditulis oleh raja berdasarkan ilham yang datang dari dewa-dewa. Karena datangnya dari Dewa, maka hukum itu memiliki prinsip yang sakral yang harus dipatuhi oleh suluruh masyarakat. Siapa yang berani membantah hukum itu, maka akan berhadapan dengan Dewa yang diwakilkan oleh raja. Untuk mempertahankan titahnya, ia menuliskan sederet kode-kode hukum dalam piagam (tulisan di batu) untuk mengajari generasi masa depan mengenai apa itu keadilan dan bagaimana raja bertindak adil.

Siapakah ia? Adalah Raja Hammurabi dari Babilonia yang menguasai Mesopotamia (Suriah dan Iran). Dewa-dewa yang dimaksud adalah berasal dari kepercayaan Meopotamia Kuno, yakni: Anu, Enlil dan Marduk.

Sejak saat itu generasi-generasi masa depan membaca dan mendengarkan seruan hukum itu dengan taklid yang buta. Inilah yang membawa mereka dalam zaman kegelapan yang mengerikan. Para birokrat menjalankan hukum itu dengan kebenaran yang ditutupi dan bertameng dibalik kabut hitam takhayul tentang para dewa.

Apa yang berlaku pada tradisi Hukum Hamurabi juga berlaku pada hukum ilahiah seperti Kristen dan Islam. "Raja Hammurabi menganggap dirinya sebagai wakil Dewa untuk menulis undang-undang, para agama samawi juga begitu bahwa kitab suci diturunkan dari Tuhan melalui mereka, para nabi. Dalam piagam Hammurabi menyatakan bahwa hanya hukum Hammurabilah yang mampu menjaga keadilan di atas tanah ini, dan melenyapkan orang fasik dan jahat,- dan kitab suci dari agama-agama samawi juga seperti itu, menganggap kitab suci mereka menjadi solusi semua diatas dunia.

Selama berabad-abad, manusia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa sumber otoritas tertinggi bukanlah yang berasal dari teks-teks kuno, melainkan diri manusialah yang menjadi otoritas makna tertinggi. 

Landasan filosofipun berubah saat itu yang menekankan aspek bahwa manusia sakral, secara otomatis mereduksi otoritas makna yang berasal dari kitab suci. Psikologi juga ikut ambil bagian, siapa yang tidak kenal dengan Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung -- sebagian orang menuduhnya sebagai pseudo science (sains palsu), karena teorinya tidak dapat dinilai secara matematis dan penuh dengan intrepertasi.

Terlepas dari kontroversinya, ternyata psikologi menyumbang ilmu pengetahuan yang cukup signifikan dalam kehidupan modern. Dalam meja persidangan misalnya, para Hakim modern saat itu, ketika memutuskan suatu perkara terhadap seorang terdakwa, maka yang dilakukan nya tidak lagi mencari keputusan dari kitab suci, namun lebih mengedepankan sisi humanisnya, dengan mendengarkan suara-suara kelam para terdakwa (sekalipun penjahat itu telah membunuh dengan kejam) -- hakim selalu memberikan kesempatan mereka untuk bicara dari hati nuraninya, motif dibalik terdakwa melakukan tindakan kriminal. Tidak jarang hakim memutuskan untuk mengirimkan para penjahat ke rumah sakit jiwa, ketimbang penjara atau hukuman mati.

Namun ternyata manusia itu brengsek sekali, memang. Mereka penuh dengan manipulasi dan tipu muslihat. Seperti dalam film Primal Fear 1996, seorang pengacara Martin Vail (Richard Gere) membela mati-matian Aaron Stampler (Edward Norton) dituduh membunuh uskup Chicago dengan sangat keji. Martin Vail berusaha meyakinkan juri bahwa terdakwa, Aaron, tidak bersalah karena ia menderita penyakit kelainan jiwa. Namun ending dalam cerita itu sungguh mengejutkan, Aaron berhasil memanfaatkan Martin dan menekan Hakim dengan tipu-tipu berlagak seperti orang kambuhan.

Kondisi paling mutakhir, setidaknya setelah manusia memasuki abad millenium ke-3, mereka tersadar bahwa betapa terbatasnya kemampuan manusia mengungkapkan kebenaran. Contohnya ketika manusia menjadi saksi suatu tindak kriminal, ia tetap saja memiliki kendala mengenai akurasi kapan ia menyaksikan peristiwa kejahatan. Belum lagi akurasi manusia juga bisa menurun ketika saksi mata mengalami stress sepanjang peristiwa ketika melibatkan kematian penyebab trauma. Informasi itu bisa menyesatkan.

Untuk itu Hakim jaman now tidak lagi percaya dengan atraksi manusia yang hadir dalam memberikan kesaksian di meja persidangan. Seperangkat alat elektronik ternyata lebih memiliki muruah (kehormatan) dibandingkan apa yang diucapkan oleh manusia. Ketika sebuah tindakan kejahatan terjadi dan terekam dalam CCTV, mau tidak mau seorang saksi harus merivisi ingatannya berdasarkan kronologis apa yang ada di CCTV - bukan sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun