Mohon tunggu...
Budi Budiman
Budi Budiman Mohon Tunggu... Insinyur - Forest Officer

Abdi Negara Kementerian LHK

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Runtuhnya Hegemoni Perhutani dan Harapan Peningkatan Peran Penyuluh Kehutanan

12 April 2019   13:48 Diperbarui: 12 April 2019   13:51 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

'Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only insofar as trees can serve the needs of people'. 

Kutipan Jack Westoby yang terkenal itu seakan menjadi penguat kesimpulan bahwa hutan/kehutanan itu ada untuk memenuhi kebutuhan (kesejahteraan) masyarakat.

Kebijakan Perhutanan Sosial yang sedang digeber oleh pemerintah pun sejatinya adalah upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar hutan. Upaya tersebut melalui pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola lahan milik negara.

Payung hukum kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri LHK no. P.83 tentang perhutanan sosial dan P.39 tentang perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Bedanya kalau P.83 mengatur perhutanan sosial secara umum, sedangkan P.39 mengatur perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani yang mayoritas berada di Pulau Jawa.

Jika kemunculan P.83 tanpa diwarnai keriuhan, lain halnya dengan kemunculan P.39. Munculnya P.39 diwarnai pro dan kontra. Bagi pihak yang pro, P.39 merupakan kesempatan untuk masuk (mengolah lahan) ke areal perhutani yang selama ini terkesan eksklusif. Yang kontra tentu saja dari pihak Perhutani.

Bagaimana tidak, penyusunan P.39 sendiri konon katanya tanpa melibatkan pihak Perhutani. Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara yang digdaya karena pendiriannya berdasarkan PP 72 tahun 2010 harus rela kedaulatannya terhadap areal hutan yang dikelola sejak puluhan tahun diacak-acak dengan kemunculan P.39.

Perum Perhutani yang berada dalam comfort zone tiba-tiba harus mengikhlaskan tanah yang dikuasainya untuk kemudian dikontrakkan kepada masyarakat selama 35 tahun. Memang tanah yang dikontrakan tersebut adalah tanah yang "bermasalah", karena tutupan lahannya kurang dari 10% dan atau terdapat konflik di areal tersebut.

Salah satu contohnya adalah lahan hutan milik Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pemalang yang terletak di Desa Gongseng Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Areal seluas 295 ha di sekitar Gunung Gajah itu untuk 35 tahun kedepan "dikuasai" oleh Kelompok Tani Gunung Gajah Lestari melalui SK Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) no. 4708 tahun 2017.

Awalnya areal hutan tersebut berupa hutan sekunder yang ditanami sengon dan jabon dengan beberapa arealnya masih gundul. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat sekitar hutan dan gairah untuk menghijaukan lahan gundul, sekelompok pemuda Gongseng menggagas penanaman pohon mangga di areal tersebut.

Untuk mendukung penyediaan bibit tanaman multiguna (multi purpose tree species) maka digandenglah LSM Yayasan Kehutanan Indonesia (YKI). Cerita berlanjut ketika YKI tidak hanya menyediakan bibit yang dimaui oleh masyarakat, tapi lebih jauh kemudian menginisiasi permohonan izin perhutanan sosial melalui skema IPHPS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun