Mohon tunggu...
Bonar Hamari
Bonar Hamari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor)

5 September 2017   11:59 Diperbarui: 5 September 2017   12:13 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos


Banalitas JMPPK: Antitesis Investasi
Dr. Effnu Subiyanto
Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor)

Baru saja pemerintah akan merilis kebijakan kemudahan investasi di daerah dalam bentuk single submission, sebuah kelompok kecil masyarakat Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menggelar unjuk rasa anti investasi pabrik semen di Rembang (4/9/2017). Minimal 10 regulasi tingkat menteri yang akan dipangkas pemerintah karena Presiden Joko Widodo kecewa dari komitmen investasi dalam berbagai perjalanan dinas (roadshow) sejak 2015-2017 tercatat Rp 4.837 triliun namun terealisir sangat mini Rp 1.494 triliun atau hanya 30,9 persen. Sebab utama seretnya investasi karena terkendala di daerah.

Paska capaian kinerja pertumbuhan ekonomi 5,01 persen pada Semester ke-1 tahun ini, anomali ekonomi tidak terhindarkan dibuktikan melemahnya daya beli. Proyek infrastruktur sudah masif dilakukan, pada banyak kota dan daerah terlihat kesibukan eksekusi proyek infrastruktur, namun daya ungkit ekonomi belum terlihat. Tampak jelas bahwa multiplier efek belanja infrastruktur hanya terkonsentrasi kepada kontraktor-kontraktor dan tidak deras menetes ke tingkat bawah karena terbatasnya jumlah pekerja. Sangat kontras berbeda jika manufaktur beroperasi karena efeknya terasa sampai ke komunitas, daerah, provinsi bahkan level negara.

Menyadari hal ini, Presiden Joko Widodo kemudian merilis paket kebijakan ekonomi (PKE) ke-16 (29/8/2017) dalam bentuk kemudahan investasi untuk mendorong masuknya investasi pada sisi manufaktur atau penciptaan barang-barang produksi yang notabene pabrik-pabrik baru.

Pabrik semen tentu saja memenuhi syarat untuk memberikan efek peningkatan daya beli karena rantainya yang luas dan pendirian pabrik di Rembang tentu saja berkah tersendiri. Betapapun JMPPK tidak memahami konstruksi pikir skala nasional dan asyik berkutat pada masalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sudah diputuskan dalam sidang-sidang terbuka dan resmi.

Beberapa waktu lalu (16/8/2017) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang sudah menyatakan menolak mengadili gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengenai izin lingkungan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (PTSI) di Rembang. Hakim PTUN menilai Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 tahun 2017 adalah produk tata usaha negara yang merupakan pelaksanaan dari pertimbangan putusan PK izin lingkungan pabrik PTSI.

Terlepas dari seluruh upaya JMPPK dan kelompoknya yang terus menerus melakukan aksi penentangan investasi di Rembang, sebetulnya ada banyak sekali kesalahan mendasar JMPPK. Berdasarkan Sulistijo (2016) pakar penambangan ITB, teritorial Pegunungan Kendeng yang menjadi obyek utama keberatan JMPPK adalah pegunungan yang membentang di bagian utara Pulau Jawa, dari Kabupaten Grobogan (sebelah timur Kota Semarang) Jawa Tengah, hingga menuju bagian utara Kabupaten Jombang Jawa Timur. Pegunungan ini memiliki ciri khusus tidak begitu terjal, dengan ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan air laut (dpl). Sebagian pihak menyebut wilayah ini sebagai Pegunungan Serayu Selatan, karena letaknya yang sejajar dengan Pegunungan Kapur Utara. Wilayah Rembang yang kini menjadi lahan pabrik Semen Gresik (PTSG) dan juga wilayah penambangannya secara de facto dan de jure sama sekali tidak ada kaitannya dengan Pegunungan Kendeng.

Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6/2010 dan turunannya Perda Kabupaten Rembang Nomor 14/2011 tentang RTRW menyebutkan bahwa daerah Tegaldowo, Timbrangan, Pasucen, Kajar dan Kadiwono yang kini menjadi wilayah operasional PTSG adalah bukan daerah konservasi.

Argumentasi kedua kesalahan fatal JMPPK dalam beraudiensi dengan PTSG adalah penambangan yang saat ini masif di sekitar lokasi pabrik. JMPPK pun mengakui sendiri bahwa tambang tersebut sekitar 250 ha sudah ada sejak tahun 2000 yang notabene bukan penambangan dilakukan PTSG. Penambangan yang dilakukan industri besar dengan award biru yang dimiliki PTSG malah menawarkan teknologi yang ramah lingkungan, menjaga kelestarian dan adanya program revegetasi dan reklamasi paska tambang.

Persoalannya dimana suara JMPPK yang konon peduli kelestarian air untuk warga Rembang sejak tahun 2000, apa konkrit yang dilakukan, dan benarkah warga Tegaldowo, Timbrangan, Pasucen, Kajar dan Kadiwono merasa terlindungu dengan kehadiran JMPPK?

Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali tidak akan mampu dijawab JMPPK. Fakta kematian Patmi yang notabene penduduk Pati, sekitar 50 kilometer sebelah barat Rembang, membuktikan bahwa warga Rembang mayoritas menerima pabrik PTSG tersebut. Menjadi sangat aneh mengapa warga Pati begitu peduli dengan warga Rembang? Justru sikap JMPPK malah anarkis dan dzolim karena merenggut dengan paksa harapan perubahan hidup warga lima desa dan juga warga Rembang secara keseluruhan karena kehadiran pabrik semen PTSG.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun