Mohon tunggu...
Anita Baker
Anita Baker Mohon Tunggu... -

i love blue

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hukum Adat di Aceh

14 November 2012   06:57 Diperbarui: 4 April 2017   17:37 2741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu destinasi wisata demografis dan wisata sosial paling menarik saat ini menurut saya adalah Daerah Istimewa Aceh atau Nangroe Aceh Darussalam.

Mengapa menarik? Karena sejak dulu sepertinya masyarakat Aceh selalu berada dalam proses perubahan yang terus menerus. Kondisi masyarakatnya tidak pernah statis dan diam di satu kondisi tenang yang sebenarnya. Bahkan di keadaan yang paling tenangpun, ada semacam pergolakan di dalam diri masyarakat Aceh.

Di antara banyak hal menarik dari masyarakat Aceh ini, ada satu hal yang menarik bagi saya. Selain hukum dan undang-undang negara, di Aceh juga berlaku hukum Islam. dan tidak hanya itu, pada saat yang sama, di beberapa daerah di Aceh hukum adat juga masih dipakai.

Sejak sebelum masa kolonial Belanda, peradilan adat sudah ada di Aceh sebagai salah satu buah kearifan lokalnya. Meskipun mengalami fluktuasi pengaruh di dalam masyarakat, tetapi peradilan adat di Aceh tidak pernah benar-benar hilang dan punah.

Nilai-nilai tradisi dalam peradilan adat Aceh ini seharusnya tetap dijaga dan dilestarikan serta diperbaiki pelaksanaannya. Karena, kalau mau jujur, pelaksanaan peradilan adat kadang masih meminggirkan kaum perempuan dan kaum marginal. Keadaan tersebut terjadi karena beberapa sebab antara lain belum adanya perwakilan perempuan dan kaum marginal yang memadai dalam perangkat adat di gampong yang melaksanakan peradilan adat.

Peradilan adat jarang melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Biasanya kaum perempuan dan marginal diwakilkan oleh semacam wali. Bila mereka terlibat langsung, biasanya tidak lebih berperan sebagai saksi.

Peradilan adat sedang menghadapi ancaman kepunahan di Aceh. Sebabnya adalah pengakuan negara masih sangat kurang terhadap keberadaannya. Selain itu, mulai kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap peradilan adat dan masyarakat cenderung lebih memilih alternatif penyelesaian hukum yang lain. Bila keadaan ini berlangsung terus menerus, kekhawatiran akan punahnya peradilan adat di Aceh besar kemungkinan akan terjadi.

Keputusan peradilan adat bisa beragam. Untuk kasus yang sama, keputusan bisa berbeda. Beda tempat juga bisa mempengaruhi berbedanya keputusan peradilan adat. Beberapa jenis sanksi peradilan adat yang umum dijatuhkan sebagai keputusan adat antara lain:

Nasihat

Keputusan ini bukan berupa sebuah denda yang diberikan kepada pelaku namun hanya kata-kata nasihat atau wejengan yang diberikan oleh tokoh adat kepada si pelaku atau yang melakukan kesalahan. Keputusan nasihat diberikan dalam kasus-kasus ringan, misalnya adanya permasalahan fitnah dan gosip yang tidak ada buktinya atau pertengkaran mulut antara warga karena masalah kecil.

Teguran

Hampir sama dengan nasehat, teguran diberikan oleh pihak yang mengadili (perangkat desa/mukim) kepada yang melakukan kesalahan.

Permintaan maaf

Keputusan permintaan maaf sangat tergantung kepada kasus. Dalam kasus yang bersifat pribadi, permintaan maaf juga dilakukan oleh seorang yang bersalah kepada korbannya secara langsung secara pribadi. Namun adakalanya permintaan maaf dilakukan secara umum karena melanggar ketertiban umum.

Misalnya orang yang berkhalwat (berduaan di tempat sepi antara dua orang berlainan jenis) di suatu desa, menurut warga desa ia harus minta maaf karena sudah mengotori desa.

Diyat

Dalam sanksi ini pelaku membayar denda kepada korban sesuai dengan kasus atau masalah yang terjadi. Dalam kasus yang menyebabkan keluarnya darah atau meninggal dunia, maka hukuman dan denda dinamakan dengan diyat. Diyat dilakukan dengan mebayar uang atau terhantung keputusan ureung tuha gampong (peradilan adat).

Denda

Hukuman denda dijatuhkan sesuai dengan kasus yang terjadi. Denda juga bisa digantikan dengan wujud tidak mendapatkan pelayanan dari perangkat desa selama waktu yang tertentu.

Ganti Rugi

Hampir sama dengan denda, ganti rugi biasanya dijatuhkan pada kasus pencurian dan atau kecelakaan lalu lintas.

Dikucilkan

Hukuman bisa juga diberikan oleh warga desa kepada seseorang yang sering membuat masalah di suatu desa. Misalnya seseorang yang tidak pernah ikut gotong royong, tidak pernah ikut rapat, tidak pernah ikut dalam kegiatan orang meninggal dan pesta perkawinan di desa, maka ia akan dikucilkan. Artinya, jika ia mengalami masalah dan atau ada memiliki hajatan maka masyarakat tidak peduli dan tidak membantu orang tersebut mengatasi masalah.

Dikeluarkan dari Gampong

Seorang yang melanggar adat bisa juga dikeluarkan dari gampong oleh masyarakat. Hal ini terjadi bila seseorang mempunyai perangai seperti yang disebutkan sebelumnya ditambah lagi ada melakukan pekarjaan yang mengotori desa (mencemarkan nama baik desa).

Pencabutan Gelar Adat

Hal ini dilakukan bila perangkat adat di desa terbukti melawan hukum adat. Misalnya kalau seorang teungku meunasah terbukti melakukan khalwat ia akan langsung dicabut gelar teungku dan tidak berhak lagi memimpin upacara keagamaan.

Toep Meunalee

Sanksi ini dikenakan kepada seseorang yang menuduh tanpa adanya bukti. Maka orang yang menuduh, karena sudah mencemarkan nama baik orang yang dituduh, ia harus membayar denda dengan nama toep meunalee (menutup malu).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun