Mohon tunggu...
bli omang
bli omang Mohon Tunggu... -

Publisher

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Masa Depan, Masa Gitu?

4 Mei 2016   10:51 Diperbarui: 4 Mei 2016   12:14 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mataram 1991; senangnya bukan main ketika saya mendapat surat pengumuman diterima di Universitas Indonesia (UI), tepatnya pada fakultas Kedokteran Umum sebagai satu-satunya pelajar NTB yang dinyatakan lulus dalam seleksi yang saat itu namanya Bibit Unggul Daerah (BUD). Namun kegembiraan itu hanya sesaat saja. Pasalnya, saya tidak bisa memenuhi undangan dari universitas ternama di Indonesia itu, dikarenkan orang tua saya tidak memiliki dana pendidikan buat anak-anaknya. Walau telah dinyatakan lulus tanpa tes namun tetap harus membayar Rp 23 juta untuk biaya awal kuliah, belum lagi biaya lainnya tiap semester pada tahun-tahun berikutnya; biaya gedung, praktikum dan lainnya seperti yang tercantum pada lampiran surat pengumuman yang saya terima. Lantas mau kost di mana? Berapa biaya hidup di Jakarta?...Urrgghh!

Saat itu, Rp 23 juta bukanlah uang yang sedikit bagi keluarga saya. Biasanya orang tua rela menjual aset tanah yang dimiliki untuk biaya sekolah anak-anaknya, tapi keluarga kami tidak memiliki aset tanah untuk dijual. Usaha mencari donator dari sahabat orang tua yang sekiranya mampu menjamin, sebut saja salah seorang kerabat orang tua saya adalah seorang dokter yang cukup terkenal di tempat kami berbuah nihil. Bodohnya lagi saya tidak mengetahui jalur beasiswa satu pun saat itu dan akhirnya saya benar-benar menampik semua mimpi menjadi seorang dokter.

Hal ini yang memicu saya untuk mencari cara mengelola keuangan pribadi untuk masa depan. Masa Depan Masa Gitu?

Ketika saya mulai kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, Sekolah Tinggi Manajemen Informatika di Mataram, saya mulai mendaftarkan diri untuk mendapat beasiswa. Saya mendapat beasiswa Supersemar, satu-satunya beasiswa yang mampir di kampus kami pada era pemerintahan 'Orde Baru' di bawah pimpinan the smiling jendral. Dari supersemar saya mendapat Rp 400.000 tiap semester, lumayan bisa bantu uang semester dan ujian. Sebagai uang tambahan, saya bekerja paruh waktu sebagai instruktur di beberapa kursus komputer, memberi les private door to door dan menjadi asisten dosen di kampus.

Beasiswa terhebat lainnya yang saya terima ternyata dari bapak saya. Untuk bisa kuliah, itu pun bapak saya harus rela menyerahkan seluruh uang pensiunan yang ia dapat. Ini awal mula saya mengelola uang biaya pendidikan dari orang tua yang dipercayakan ke diri saya. Total berjumlah Rp 15 juta dan seluruhnya saya tabungkan di sebuah bank di Mataram, bunganya tidak boleh diambil untuk kepentingan apapun kecuali untuk kepentingan kuliah.

Dari upah atau gaji yang saya dapat dengan bekerja paruh waktu itu, yang boleh saya gunakan untuk kepentingan sehari-hari hanya separuh (50%) dari jumlah saya terima, sisanya kembali saya tabungkan untuk melipat jumlah saldo. Demikian ketat dan disiplinnya saya dengan aturan yang saya buat sendiri dan itu berlangsung bertahun-tahun hingga saya berhasil wisuda.

Setelah tamat kulian saya masih bekerja serabutan, namun penghasilan mulai meningkat. Saya banyak membuat piranti lunak untuk kepentingan administrasi di beberapa instansi pemerintah dan swasta di Mataram. Lagi-lagi uang yang saya dapat hanya bisa digunakan 50%-nya saja, hal ini bisa saya lakukan karena saya masih bujang, tak banyak biaya hidup, hemat tapi tidak harus pelit. Saya masih bisa ngeceng (hang out) dengan teman-teman bahkan sekali-kali bayarin teman dugem, hahahaha.

25 tahun kemudian

dokpri; hunting foto bersama keluarga di kaki Gunung Rinjani, Lombok.

Saat ini saya telah bekerja di perusahaan tambang tembaga dan emas di pulau Sumbawa, PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) namanya. Bekerja di perusahaan swata seperti ini tentunya berbeda dengan bekerja di pemerintahan yang memiliki jaminan pensiun seumur hidup. Sekali lagi menabung adalah satu-satunya yang bisa dilakukan untuk menggantikan jaminan pensiun tersebut. Sejak awal bekerja saya membagi gaji yang saya terima secara otomatis dari perusahaan ke dua rekening berbeda. Aturan yang saya gunakan masih sama 50% ke tiap kekening.

Setelah menikah saya tetap menerapkan aturan pengelolaan uang untuk masa depan dengan menabung dan membagi ke beberapa rekening berbeda. Membagi ke beberapa rekening yang berbeda juga akan memberi rasa aman, jika suatu saat salah satu bank bermasalah. Pastikan memilih bank yang telah mendapat lindungan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kali ini saya membaginya ke tiga rekening berbeda. Mengapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun