Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kata Tabu

28 Mei 2015   08:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:31 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

oleh : Blasius P.Purwa Atmaja

Dalam acara Workshop Pelatihan Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia se-Jawa Timur, 24 – 27 Mei 2015 dibahas tentang Pengembangan Instrumen Soal Standar. Materi tersebut disampaikan secara tim oleh Barokah Santosa, Suntari, dan Budi Prasetyo. Menurut para pemateri, penulisan soal standar bentuk pilihan ganda harus didasarkan pada kaidah-kaidah yang meliputi segi materi, konstruksi, dan bahasa. Dari segi materi, soal hendaknya sesuai dengan indikator, memiliki jawaban yang homogen, dan hanya memiliki satu jawaban yang benar.

Segi konstruksi merupakan kaidah yang mengatur tentang perumusan pokok soal dan pilihan jawaban. Misalnya tentang pokok soal yang harus dirumuskan secara tegas dan jelas, tidak boleh menggunakan penyataan negatif ganda, dan tidak boleh memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar. Dari segi bahasa, soal standar di antaranya harus menggunakan bahasa yang sesuai kaidah, komunikatif, dan tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat.

Poin terakhir itulah yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Rumusan soal memang tidak boleh menggunakan kata yang berlaku di daerah tertentu. Alasannya agar tidak membingungkan bagi siswa jika soal itu dipakai di daerah lain. Selain itu, alasan lain adalah karena di daerah tertentu kata tersebut bermakna negatif atau dianggap tabu.

Dalam tayangan yang disajikan pemateri, ada contoh rumusan soal sebagai berikut. Peraturan harus ditaati, jangan dijadikan momok. Menurut pemateri, kata momok dalam kalimat tersebut seharusnya dihindari karena maknanya agak negatif. Dalam catatan tayangan itu dituliskan, momok berarti alat kelamin wanita. Ini berlaku untuk daerah-daerah tertentu di Jawa Barat.

Bagi saya, orang Jawa, kata itu bukan merupakan kata tabu karena karena sejak kecil saya sudah mengenal kata itu. Kalau anak-anak bermain di tempat gelap di luar rumah, nenek saya selalu bilang, “Hei, jangan bermain-main di tempat gelap, nanti ada momok. Ayo masuk rumah.” Dalam pemahaman saya momok itu berarti hantu. Kalau selama ini kata momok itu tidak boleh digunakan dalam soal, dalam pemahaman saya karena kata itu merupakan kata dalam bahasa Jawa yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Namun ternyata, ketika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata itu sudah menjadi salah satu lemanya. Berikut ini kutipannya.

mo·mok n 1 hantu (untuk menakut-nakuti anak); 2 ki sesuatu yg menakutkan krn berbahaya, ganas, dsb: penyakit paru-paru bukan lagi merupakan -- nomor satu

Karena sudah masuk KBBI, berarti kata itu sudah resmi dianggap sebagai salah satu kosa kata bahasa Indonesia. Kata momok tidak bisa lagi digolongkan sebagai kata yang berlaku di daerah tertentu, tetapi sudah berlaku nasional. Kalau selama ini ada orang yang belum tahu arti kata itu bukan kesalahan kata itu, melainkan karena kosa kata orang tersebut yang masih perlu ditambah. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk melarang kata momok masuk dalamrumusan butir soal.

Ketika menanggapi pembahasan tentang penggunaan kata yang berlaku setempat itu, ada peserta workshop dari Madura yang mengemukakan, “Kalau kata momok tidak boleh digunakan, dari Madura ada kata tampuk yang juga bermakna negatif dan jangan digunakan.” Saya tidak memahami apa negatifnya kata itu. Saya kemudian membuka kamus.Berikut ini kutipan dari KBBI offline.

tam·puk n 1 ujung tangkai yg melekat pd buah; 2 berbagai hiasan sbg penutup (di atas, di ujung, atau pd pangkal sesuatu); berbagai-bagai tangkai yg kecil atau pendek (spt gagang pistol, pegangan cerek); 3 ki pucuk (dl arti yg tertinggi); yg menjadi pokok pangkal; yg terutama;-- bertangkai, pb ada bukti (keterangan, alasan, jaminan) yg kuat; -- nya masih bergetah, pb masih cukup penghidupannya; darah se -- pinang, pb masih muda benar (belum berpengalaman, kurang akal); melanting menuju -- , pb setiap usaha ada maksudnya; pinang pulang ke -- nya, pb sudah pd tempatnya; sudah cocok benar;

-- bantal seraga penutup dr perak dsb di ujung bantal;

-- cerek pegangan cerek;

-- kuasa kekuasaan yg tertinggi;

-- labu ark kelentit;

-- lampu listrik fiting lampu listrik;

-- manggis perhiasan yg rupanya spt tampuk manggis;

-- pemerintahan kekuasaan yg tertinggi dl pemerintahan;

-- pimpinan pimpinan yg tertinggi; pucuk pimpinan;

-- pinang 1 tampuk buah pinang; 2 (nama) burung bunga; Calytomena viridis;

-- pistol gagang pistol;

-- subang bagian subang yg dimasukkan ke dl lubang cuping telinga;

-- susu lingkaran hitam sekeliling puting susu;

ber·tam·puk v memakai tampuk; ada tampuknya;bertali boleh dieret, ~ boleh dijinjing, pb perjanjian sudah erat dng syarat-syaratnya;~ bertangkai ada bukti (keterangan, alasan, jaminan) yg kuat

Ketika melihat arti kata tampuk dalam KBBI tersebut sebenarnya tidak ada yang aneh atau tabu. Kalau ada yang sedikit risi untuk digunakan mungkin karena ada frasa tampuk susu dalam rangkaian arti kata tersebut.

Kata lain yang juga sempat disampaikan oleh pembicara adalah kata butuh. Dalam kamus kata butuh ini merupakan homonim. Yang pertama sebagai bentuk dasar dari kata membutuhkan yang berarti sangat perlu menggunakan atau memerlukan.Kata butuh yang kedua bermakna kemaluan laki-laki atau zakar. Menurut saya, kata butuh ini frekuensi pemakaiannya tinggi. Jadi melarang kata ini masuk dalam penggunaan bahasa tentu tidak mungkin. Menurut saya, jika sebuah kata sudah masuk dalam KBBI, kata itu sudah resmi sebagai kata dalam bahasa Indonesia dan bisa digunakan tanpa kekhawatiran lagi. Apalagi jika kata itu digunakan dalam kajian ilmu. Yang salah adalah jika kita menggunakan kata-kata tadi untuk bermain-main atau mengerjai orang yang tidak tahu.

Tentu saja simpulan saya itu bukan merupakan sesuatu yang kaku. Jika di daerah tertentu kata itu memang bermakna negatif dan tabu untuk digunakan, tentu tidak perlu dipaksakan. Toh masih ada kata lain yang bisa digunakan untuk menggantikan. Menurut saya, asalkan kita selalu berpikir positif dan pikiran kita tidak jorok, semua kata itu sebenarnya netral. Yang memberi nuansa makna negatif atau positif sebenarnya adalah masyarakat pemakainya.

Dalam mata pelajaran Biologi atau mungkin di Fakultas Kedokteran pembahasan alat-alat reproduksi seperti vagina dan penistentu merupakan hal yang biasa. Kalau kedua kata itu tergolong negatif kemudian tidak boleh dipakai apakah bisa diganti dengan kata donat dan pisang. Tentu berbeda makna. Jadi berpikir positif saja.

Mojokerto, 28 Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun