Mohon tunggu...
Birgitta Ajeng
Birgitta Ajeng Mohon Tunggu... -

Buku. Pena. Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nol Senti Meter

19 April 2012   10:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin ini yang ke 15 kali. Atau mungkin yang ke-16 kah? Atau justru 17? Ah, aku lupa berapa kali kita pernah sedekat ini. Mungkin hanya setengah jengkal, jarak antara tubuhku dan tubuhmu. Kamu begitu dekat. Bahkan, aku bisa memelukmu kapan saja. Tapi tidak untuk malam ini.

Kamu memang pandai bersiasat, mengulur waktu hingga larut lalu mengantarku pulang. Tapi tunggu, aku merasakan keganjalan. Mengapa kamu ingin mengantarku pulang? Bukankah kamu tak pernah ingin melakukannya karena rumahku terlalu jauh. Aku memang tidak ingin diantar. Aku cukup tahu diri dan aku malas memohon-mohon karena hatimu terlalu beku, sulit peka. Bahkan kemarin, setelah aku menemanimu mengurus proposal pameran foto. Meski sudah jam sepuluh malam, kamu tetap membiarkanku pulang sendiri. Lalu apa yang berbeda dengan mala ini? Apakah kamu khawatir? Atau masih merindukan aku? Atau mungkin ada hal sangat penting yang ingin kamu bicarakan? Dan perkiraan terakhirkulah yang tepat. Ternyata ada yang ingin kamu tanyakan. Pasti tentang foto itu.

"Arine, kamu ngantuk? Kalau ngantuk, tidur saja di pundak Bian, peluk Bian." katamu sambil mengendarai motor.

"Tidak. Aku belum ngantuk." sahutku.

"Tapi kenapa diam saja? Bicara dong, kita ngobrol."

"Ngobrol apa?"

"Bian mau tanya, apa masih ada yang mengganjal tentang Vero?"

Vero. Kamu sebut nama itu lagi. Dadaku semakin sesak mendengarnya. Vero seorang pencuri. Suatu hari aku pernah melihatnya di kejauhan. Aku sangat paham bagaimana bentuk dan ukuran tubuhnya. Tubuh itu kecil, lekukan pinggulnya tampak jelas. Tingginya hampir sama dengan tinggi badanku. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, menambah volume pada wajah mungilnya. Mataku berusaha menyusuri tiap bagian tubuhnya. Seimbang. Tak ada yang kurang, tak lebih pula. Sampai pada tujuannya, mataku bertemu dengan matanya yang telanjang. Dia tersenyum, senyum itu serasi sekali dengan wajahnya. Cantik. Dia lah kesempurnaan yang mencuri kepunyaaanku, mencuri kamu. Dia membuatku semakin miskin. Setiap detik, menit dan jam darimu yang seharusnya masuk ke dalam tabungan waktuku harus berpindah tangan, untuknya.

Kamu selalu ada di pihak pencuri itu. Bagimu, kedekatan kalian selalu ternilai wajar. Terlebih tentang foto kalian yang sedang berdiri berdampingan. Entah apa yang membuat kalian bisa pergi bersama. Entah kapan. Entah bagaimana kamu menutupi semua ini dengan rapi. Dan akhirnya, tanpa sengaja aku menemu-kan foto itu di dalam flashdisk-mu.

Tak selayaknya aku cemburu karena kamu selalu bilang bahwa kalian hanya teman. Dia memang teman terbaikmu. Kamu rela membagi harimu bahkan setiap detik waktumu untuk dia. Tak lagi ada satu dari tujuh harimu yang sempat kamu beri. Tak ada satu jam pun dari 24 jam yang kau miliki yang ingin kamu bagi untukku.

Jika kutanya mengapa, kamu tak pernah memberi alasan jelas. Amarahku selalu salah bagimu. Maka, lebih baik kupendam rasa sedih dan kesal. Sama halnya seperti malam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun