Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kriminalisasi Baswedan, Pernahkah Simpati Anies?

30 Maret 2017   09:19 Diperbarui: 30 Maret 2017   18:00 2307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media pernah diramaikan dengan hot issue kriminalisasi atas seorang penyidik Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Novel Baswedan, yang sepupunya Anies Baswedan, paslon DKI no.3. Kriminalisasi Baswedan itu merupakan sebagian sesi lain hubungan KPK Polri yang dimetaforakan pula dengan kiasme Cicak versus Buaya.

Istilah “kriminalisasi” tentulah merupakan bahasa kualifikasi (judgemen publik akan suatu proses hukum yang belum/tidak fair atas institusi yudikatif) atas suatu proses hukum atas sebahagian atau seluruh tahapan hukum atas suatu kejadian hukum yang dijalani seseorang (atau lebih), yang disangkakan (polisi), didakwakan (jaksa), akhirnya divonis (hakim) bersalah melakukan perbuatan pidana.  

Institusi yudikatif pro justitia pertama yang “alergi” dengan istilah “kriminalisasi” tentulah kepolisian, karena asal mula penyelidikan-penyidikan dan penetapan tersangka (adanya kejahatan “crimen”) adalah kepolisian. Kriminalisasi baru akan dianggap sangat serius dan mengguncang sayap yudikatif negara bila hakim hingga Hakim Agung “melanjutkan” unfairness proses hukum suatu tindak pidana.

Tentang penyidik KPK Novel Baswedan yang dianggap mengalami “kriminalisasi” ketika itu, tentulah mengejutkan publik Indonesia, sebuah negara berasaskan “negara hukum” (rechtstaat), sebagai lawan negara kekuasaan atau “machstaat”. Bagaimana tidak mengejutkan, Novel Baswedan adalah penyidik kepolisian RI yang diperbantukan menjadi penyidik KPK adalah ironi sejarah hukum hubungan KPK-Polri.

Selain Novel Baswedan yang dianggap mengalami kriminalisasi dari institusi asalnya, ya kepolisian, kriminalisasi lainnya yang  amat serius menjadi perhatian publik  Nusantara tentunya kriminalisasi eks jaksa yang menjadi kemudian menjadi ketua KPK, dikriminalisasi menjadi terhukum, ya Antasari Azhar.  Akhirnya Antasari bebas, setelah grasi Presiden Jokowi. Tentang kejadian “kriminalisasi terhadap Antasari Azhar, tanpa disadari, saya ikut nimbrung “berkicau” di media sosial, lebih dari 30 kali. Meskipun, atau justeru karena kepentingan pribadi saya dengan Antasari Azhar tidak ada. Maka saya dengan bebas dan suka-hati menulis pembelaan hukum (baca: simpati kemanusiaan).

Bukan hanya kriminalisasi Antasari saya rajin membuat catatan simpati (semacam nota keprihatinan). Kemudian hari, saya ikut rajin menulis lebih dari 40-an nota pembelaan terhadap seorang  ibu Sri Mulyani, mantan Menkeu era presiden SBY, ya Mbak Ani, karena pelbagai fitnah dan vonis publik yang “digerakkan”  hidden power (yang punya media – bahasa Wimar Witoelar) tapi publik bebas menduga adanya kriminalisasi itu, meski sisa yang lain masih tertular ‘virus kriminalisasi’ Sri Mulyani.

Menariknya, peristiwa kriminalisasi esensinya berada pada “intervensi kekuasaan” atas suatu peristiwa hukum. Kekuasaan itu bisa berupa “penguasa”, ya eksekutif, atau oleh “kekuatan mobilisasi publik. Tetapi “kriminalisasi justeru sangat rentan dalam kalangan penegak hukum sendiri, inter dan antar intitusi penegak hukum. Maka penyelenggara pro justitia di negara hukum sangat rentan “tragedi kriminalisasi” : kepolisian (Novel dkk), kejaksaan (Antasari, Cirus Sinaga:pelaku yang dikorbankan? hakim: Albertina Ho, hakim tegas yang tersingkir?).

Bahasa tegas dan jelas filosofi hukum dari “kriminalisasi” adalah dilanggarnya prinsip, bahwa tidak ada SANKSI bagi orang yang TIDAK BERSALAH dalam suatu proses hukum yang adil dan transparan dan tanpa tekanan NIL CRIMEN NIHIL POENAM. Tapi dalam kriminalisasi terjadi “creatio ex nihilo, pidana (crime/crimen “diadakan” sejak tahap penyelidikan hingga vonis hakim).

*  *   *

Tapi, judul ini “Kriminalisasi Baswedan” adalah  sub-judul tulisan kami di Harian on line Kabar Indonesia (HOKI-17 Oktober 2012), Kasus Baswedan dapat Jatuhkan Presiden SBY?. Mantan presiden SBY memang “tidak jadi jatuh” karena dugaan intervensi (langsung maupun tak langsung) kekuasaan SBY atas peristiwa hukum, ya kriminalisasi.

Jujur saya ingin pertanyakan bukan terutama pemahaman hukum, ya common sense (akal-sehat) seorang calon gubernur DKI Anies Baswedan, terhadap sepupunya Novel Baswedan yang pernah mengalami kelamnya “kriminalisasi”. Kita percaya terhadap pengalaman sepupunya Novel pun Anies  bersimpati dengan  “tragedi kriminalisasi” itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun