Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Moleknya Suara Umat

4 Mei 2019   16:11 Diperbarui: 4 Mei 2019   23:19 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah misi yang menetap untuk diwujudkan oleh orang-orang yang menjadikan agama sebagai bahan bakar hidupnya. Yakni menjadikan hukum agamanya menjadi penguasa pada setiap sendi kehidupan manusia. Karena di situlah nilai seseorang yang mengimani agamanya. Tanpa cita-cita itu, maka orang yang menempel status beragama yang bersangkutan, tidak akan bernilai dalam agamanya.

Ajaran setiap agama memiliki pesan akan cita-cita itu. Baik dengan kalimat lugas dan frontal, maupun kalimat lebih halus yang disesuaikan dengan posisi agama tersebut dalam peracturan politik di dunia. Akan menjadi sebuah persoalan baru tatkala masing-masing umat beragama menyerukan untuk memenangkan aturan agamanya, dan bertemu dalam medan negara yang Nasionalis Sekuler.

Tidak ada hakim yang menilai misi agama mana yang paling benar, karena agama dianggap bergerak dalam ranah Prifat (aturannya berlaku pada golongan tertentu), yang harus taat kepada aturan negara sebagai ranah Publik (mengatur seluruh warga negara tanpa terkecuali).

Negara Indonesia dirintis dengan dasar negara yang disepakati bersama dengan tujuan untuk merekatkan persatuan bangsa yang amat beragam. Pada saat perundingan untuk menetapkan dasar negara, suara dari agama-agama yang ada begitu dominan agar bangsa ini berdasarkan pada aturan agamanya. Dan kaum agama yang paling dominan adalah Muslim dan kaum Nasrani. Hal ini terlihat pada sebuah sila yang tercantum pada 7 kata dalam piagam Jakarta (yang kemudian disempurnakan menjadi Pancasila), yakni "Kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya."

Sila ini terus didengungkan oleh kaum Muslim agar menjadi dasar negara dan tetap tertera pada preambul UUD 1945. Namun kaum Kristiani tidak menerima pemasukan 7 kata itu dan mengancam akan memisahkan diri dari negara Republik Indonesia, jika sila itu menjadi dasar negara.
Soekarno melobi kedua belah pihak untuk menyatukan visi kehidupan berbangsa dan bernegara. Soekarno menugaskan Kaslan Singodimedjo untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo (yang bersikukuh akan 7 kata tsb) sebagai wakil suara kaum Muslim yang keras untuk mempertahankan cita-cita itu.

Hal ini disebabkan pada saat itu yang paling penting adalah persatuan untuk menjadi sebuah negara yang merdeka. Bahkan Kaslan Hadikusumo menjelaskan kepada Ki Bagus bahwa 6 bulan setelah Majelis Permusyawartan Rakyat terbentuk, akan ada penyempurnaan Undang-Undang Dasar. Disitulah kaum Muslim dapat memperjuangkan cita-cita tadi. Akhirnya Ki Bagus setuju untuk penghapusan tujuh kata itu mempertimbangkan daruratnya keadaan untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada kenyataannya 7 kata itu kembali mengalami sebuah hambatan untuk menjadi komponen dalam dasar negara Indonesia. Namun Soekarno berkata, bahwa Piagam Jakarta tetap menjiwai UUD 1945. Hal ini diucapkan karena Soekarno masih melihat moleknya kekuatan suara kaum Muslim untuk mendukung Demokrasi Terpimpin yang dicanangkannya pada saat itu. Kaum Muslim dapat mewujudkan cita-cita itu setelah kemerdekaan digaungkan kepada dunia. Yaitu dengan cara yang konstitusional sesuai dengan perundangan di Indonesia. Walhasil berdentanglah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dijunjung pula oleh kaum Muslim Indonesia.

Berpegang pada hal itu, Kaum Muslim yang masih menjadi kekuatan signifikan pada bangsa, hari ini berjuang dengan membuat partai-partai Islam. Pejabat-pejabat dari partai Islam, hingga cara-cara yang inkonstitusional dengan tujuan meraup kekuatan umat Islam untuk mendukung gerakan-gerakan mereka.

Bahkan sempat ketua MPR di jabat oleh seorang petinggi partai Islam. Mereka masuk dan ikut berperan dalam aturan main Nasionalis Sekuler yang sesungguhnya mereka tidak inginkan.
Namun lagi-lagi, undang-undang dasar tidak juga bisa mencantumkan cita-cita umat Islam sebagaimana pada piagam Jakarta.

Moleknya suara umat menjadi motif legit untuk memenangkan pertarungan dalam kontes politik bangsa ini. Dijadikan alat untuk memperjuangkan misi golongab. Mobilisasi umat untuk mendukung calon dari golongannya. Membuat hoax agar umat yang kurang teliti menjadi marah dan siap berjuang menurut arahannya. Dan mengatas namakan agama demi mendulang dukungan kumulatif dari umat yang masih takut kualat jika tidak mengamini doa sumpahan oleh pemimpinnya.

Usaha-usaha konstitusional maupun inkonstitusional untuk mewujudkan cita-cita tadi justru menghasilkan perpecahan pada umat. Menciptakan golongan-golongan, melahirkan Pribadi-pribadi yang mudah disulut amarahnya oleh berita-berita profokatif dengan berbagai tujuan politis. Masing-masing golongan merasa misinya lah yang paling benar, paling direstui Tuhan. Mereka rela bentrok dengan sesama muslim yang masing-masing kubu justru meneriakan nama Tuhannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun