Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dana Desa Jadi Dana Dosa, Tolonglah Pak Jokowi

5 Desember 2019   12:34 Diperbarui: 5 Desember 2019   19:35 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2015, di kampung saya di sebuah pelosok di tengah hutan di wilayah Kabupaten Nias Selatan, saat terjadi pemilihan Kepala Desa, semua warga saling menatap dan senyum satu sama lain, dan seketika saling menghunjuk teman untuk bersedia menjadi Kades. "Bapak ajalah yang jadi Kepala Desa yah..." dan semua bersorak kegirangan, Kepala Desa terpilih melalui voting langsung tanpa memerlukan waktu yang banyak dan nyaris tanpa mengeluarkan dana apalagi kampanye.

Hm... ini hanya in memoriam.

Dana desa pertama kali digulirkan pada tahun 2015 dengan jumlah anggaran sebesar Rp 20,76 triliun, yang dibagikan di 74.957 desa di wilayah Indonesia. Dan tidak tanggung-tanggung, setiap Desa akan mendapat jatah 1 Milyar/Desa. OMG.

Pada tahun 2020 mendatang, pemerintah akan menggelontorkan sekitar Rp 72 triliun lagi kepada masyarakat desa melalui Program Dana Desa artinya ada sekitar 400% kenaikan anggaran DD yang disedot dari APBN untuk kesejahteraan rakyat. Jokowi memang hebat, programnya langsung menyentuh ke sumsum wong cilik. Popularitas BLT ala SBY kalah pamor dengan DD yang membuat keluar bola mata para perangkat Desa.

Berkat atau Bala?
DD yang fenomenal ini, di sisi lain memberi perubahan nyata pada wajah pembangunan infrastruktur Desa, seperti jalan tikus menjadi jalan setapak, jalan setapak menjadi jalan berbatu dan akhirnya jalan berbatu menjadi jalan berlumpur kembali hehehe... whats wrong?

Tahun 2019, Penunjukkan Kepala Desa atas dasar kekeluargaan, hanya in memoriam. Jabatan Kepala Desa menjadi arena perebutan ala gladiator. Hal ini tak terhindarkan, semua ingin jadi pemenang. "Peluh dan Darah" perjuangan mengalir deras dari dahi yang mengkerut, karena memikirkan strategi bagaimana merebut jabatan Kepala Desa.

Kontestasi demokrasi dalam Pilkades, suhunya menjadi 2 kali lipat gregetnya dibanding dengan pileg, bahkan pilpres sekalipun. Dari kelas kuman sampai kelas gajah beradu kekuatan untuk merebut kemenangan menjadi Kades.

Fenomena munculnya pengamat dadakan yang tiba-tiba terlihat sangat peduli pada kesejahteraan masyarakat sungguh sangat menarik. Padahal selama ini semua orang tahu, bahwa ini hanya strategi para pelaksana proyek yang sudah kenyang oleh DD sebelumnya dan berharap akan berlanjut tanpa merasa disalahkan. Strategi 'cuci tangan'. Munafikun seperti kata Mochtar Lubis, pujangga seni itu.

Para Cakades membungkus visi-misi yang belepotan dan terbalik-balik terpampang di spanduk kampanye ala politikus kelas teras, dengan foto cakades yang mengulum senyum disampingnya.

Why? Ternyata DD menjadi DD dan menyatu menjadi D4 (Dana Desa jadi Dana Dosa). Sungguh tragis! Masyarakat Desa spontan jadi melek politik. Lobi politik ala Machiavelis menggaung dan membahana di seluruh pelosok. Membangkitkan semangat primordialisme dalam kelompok kecil (Ori, marga, kampung, pertalian darah dsb).

Hal ini membuat suasana menjadi gaduh. Deal-deal politik antara cakades dan pendukungnya menyebarkan aroma menyengat untuk tidak mengatakan bau kentut. Warga kampung menjadi terbelah oleh praduga yang samar. Setiap pembicaraan di tetangga, baik dirumah maupun di kedai kopi, dikuntit oleh investigator dadakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengulas strategi pemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun