Mohon tunggu...
Bernard T. Wahyu Wiryanta
Bernard T. Wahyu Wiryanta Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Wildlife & Travel Photo Journalist

Wildlife & Travel Photo Journalist www.wildlifeindonesia.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Arang yang Merusak Hidupan Liar Gunung Prau

28 November 2013   19:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:34 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca tulisan Mark Jenkins “Siapa Yang Membunuh Gorila Virunga” di majalah National Geographic Juli 2008, saya jadi teringat dengan kerusakan Gunung Prau di Jawa Tengah. Salah satu penyebabnya juga arang, hanya saja tidak seperti di Virunga, tidak ada pembantaian manusia di sini.

Teks & Foto: Bernard T. Wahyu Wiryanta

Di Taman Nasional Virunga Afrika Tengah, para pemberontak, gerilyawan dan tentara berebut pengaruh untuk menguasai kawasan konservasi, juga produksi dan perdagangan arang. Pohon-pohon tua ditebangi dan dibuat arang dengan kandungan kalori tinggi, diangkut sejauh puluhan kilometer dengan tenaga manusia. Perputaran uangnya ratusan milyar per bulan. Habitat gorila pegunungan ini kemudian rusak, dan keberadaan mereka terancam.

Ribuan kilometer jauhnya dari Afrika, suatu kali saya mendatangi suatu desa di kaki gunung Prau sebelah selatan, dekat dengan dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah. Tepatnya di desa Patak Banteng. Saya menumpang menginap di sebuah rumah petani, dipersilahkan masuk dan duduk di lantai beralaskan karpet. Tidak lama kemudian pemilik rumah menyuguhi kami anglo kecil, berisi arang membara yang diambil dari tungku besar di dapur. Kami masing-masing mendapat jatah satu anglo, dan menjulurkan kedua tangan di sekeliling anglo untuk menghangatkan badan. Selanjutnya suguhan lain keluar, teh tubruk panas, nasi, dan sayur kentang dengan cabai ijo. Keesokan harinya, bebarengan suara dari Masjid mengumandangkan azan subuh, kami berjalan mendaki melewati lahan pertanian penduduk yang curam, menuju puncak Gunung Prau.

[caption id="attachment_295078" align="alignleft" width="498" caption="Hamparan Dataran Tinggi Dieng dilihat dari bukit Teletubies"][/caption]

Gunung Prau yang terletak di Jawa Tengah, berdampingan dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing jarang menjadi perhatian para pendaki, alih-laih para peneliti. Dieng yang merupakan kaldera raksasa dengan beberapa kawah aktif adalah kawah Gunung Prau. Dieng, sebagai kaldera lebih terkenal daripada gunungnya sendiri. Bentuk gunung ini memanjang, mirip sebuah perahu yang terbalik. Hutan di sisi selatan dan timur sudah gundul, habis dikuasai petani kentang dan tembakau. Pada sisi utara dan barat, relatif masih terjaga, dan mempunyai hidupan liar yang mencengangkan.

Hidupan Liar Gunung Prau

Suatu ketika, saya mengirimkan foto-foto jenis Nepenthes dari hutan Gunung Prau yang belum saya ketahui jenisnya ke seorang teman di Belanda lewat surat elektronik. Dalam balasannya, teman ini cukup kaget dan senang, “Ini adalah Nepenthes gymnamphora, saya pikir sudah punah keberadaannya di Gunung Prau.” Kemudian saya lebih sering mendatangi hutan di Gunung Prau.

Dalam setiap pendakian selalu saja kami menemukan hal-hal baru. Puluhan anggrek spesies bermekaran. Gunung Prau juga mempunyai 2 spesies Edelweis, yaitu Anaphalis javanica dan Anaphalis. Stroberry hutan juga berlimpah untuk kudapan. Dalam suatu kesempatan beberapa ekor elang jawa dan elang bido menemani perjalanan kami. Di lereng barat kami menjumpai banyak kijang, pelanduk, dan juga owa jawa. Di beberapa punggungan gunung kami juga berjumpa dengan sigung jawa, dan juga bangkainya. Jejak-jejak karnivora besar pun kami temui, juga sisa-sisa kotorannya. Primata lain pun juga selalu menghibur perjalanan kami, seperti lutung jawa dan Macaca.

Dalam suatu kesempatan, ketika saya menginap di ketinggian dengan memanfaatkan kenyamanan paku sarang burung, di pohon lainnya juga di paku sarang burung, seekor macan kumbang berbaring dan mengawasi saya. Pagi-pagi kami biasanya dibangunkan oleh kokokan ayam hutan, kokokan puyuh jantan, juga kicauan burung-burung. Perjalanan kami biasanya juga selalu dihadang oleh paku resam yang rapat, dibawah kanopi hutan hujan tropis yang gelap. Tapi ini hanya di lereng utara dan lereng barat, tidak di lereng gunung lainnya.

13856409801673659964
13856409801673659964

Nasi Jagung Yang Merusak Hutan

Kembali menjelajah Gunung Prau, saya lebih sering melewati lereng utara melewati Desa Purwosari, dan selalu mampir berharap keramahtamahan warga dusun Kenjuran-desa terakhir di lereng gunung. Di desa terakhir, rumah terakhir biasanya kami mampir. Dan tempat favorit kami adalah dapur, karena disana tungku selalu membara untuk menghangatkan badan.

Di Kenjuran, suguhan favorit kami adalah nasi jagung. Biasanya dihidangkan dengan sayur tempe dengan cabai hijau yang pedas, kalau beruntung biasanya ditambah dengan sambal terasi dan ikan asin.

Sebuah wartawan koran di Jawa Tengah pernah menulis, bahwa penduduk di Kenjuran ini miskin dan hanya makan nasi jagung. Pemerintah kemudian mengirimkan berkarung-karung beras padi. Beras dari pemerintah ini kemudian berakhir di pedagang, ditukar dengan ikan asin, gula, minyak goreng, dan bahan pokok lain. Penduduk yang saya wawancarai mengatakan mereka tidak miskin “kalau makan nasi dari beras, tenaga saya tidak sekuat ketika makan nasi jagung. Jadi kami menjual beras bantuan, atau mencampurnya dengan beras jagung.”

Memasak beras padi menjadi nasi, hanya memerlukan waktu kurang dari 60 menit, namun tidak demikian ketika membuat nasi jagung. Memasak nasi jagung memerlukan beberapa tahapan dan waktu yang lama. Tentu saja masyarakat tidak bisa menggunakan gas elpiji untuk memasak nasi jagung. Selain apinya kurang panas untuk memasak nasi jagung, mereka juga kesulitan mendapatkan gas elpiji. Jadi mereka harus menebang kayu di hutan, atau membuat arang dari kayu-kayu hutan di Gunung Prau untuk memasak.

Setiap hari, para pencari kayu bakar selalu mendaki gunung. Laki-laki bertugas menebang kayu, dan para perempuan datang lagi lain waktu dalam kelompok dan membawa turun kayu yang jauhnya bisa beberapa kilometer di tengah hutan. Rombongan perempuan desa ini-kadang ada yang umurnya sudah mencapai 60 tahun-membawa turun berkubik-kubik kayu, digendong di punggung dengan selendang batik.

13856395781280307400
13856395781280307400
Pembuat Arang Sumber Kebakaran

Puncak tertinggi Gunung Prau 2506 m dpl, berupa hutan rapat yang di beberapa bidang tanahnya dipakai sebagai tempat mendirikan menara. Ada beberapa menara, dari menara radio, menara televisi, juga operator telepon seluler. Namun para pendaki gunung dan pecinta alam lebih senang mendatangi “Puncak Teletubies”. Sebuah lembah di ketinggian Gunung Prau yang berupa hamparan bukit-bukit kecil tertutup rapat oleh rumput dan bunga krisan gunung. Pada bulan-bulan tertentu bunga krisan gunung ini akan menutup rapat tanah, dan suasananya akan mirip bukit di film boneka “Teletubies”. Dari padang berbunga ini, kita bisa menikmati view Dieng Plateau. Ketika menghadap ke barat maka akan tampak Gunung Slamet dan Gunung Ciremai. Di Timur juga akan tampak Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi dan juga Gunung Ungaran di Semarang.

Dari hamparan bukit teletubies ini, suatu kali saya pernah menyusuri jalan setapak sampai ke puncak tertinggi-kami menyebut puncak menara-dan menemukan banyak gundukan berasap. Apalagi kalau bukan lubang pembuatan arang. Tersangka para pencuri kayu dan pembuat arang ini adalah warga di sekitar Dieng, di lereng selatan Gunung Prau.

Para pembuat arang yang kucing-kucingan dengan jagawana-yang kadang kurang tegas-ini mendapatkan sumber bahan baku arang dengan menebang pepohonan di hutan Gunung Prau. Kadang mereka membuat arang di tengah hutan. Para pembuat arang ini, pada bulan-bulan kemarau selain merusak hutan dengan menebang pohon juga meninggalkan bara api yang tiap tahun selalu membakar ratusan hektar hutan Gunung Prau.

Masyarakat di lereng selatan, selain menebang pohon untuk arang, juga berburu satwa liar, hal yang jarang dilakukan oleh penduduk di lereng utara. Selain berburu burung kicauan untuk dijual, beberapa kali mereka menangkap kijang dan babi hutan, untuk dimakan. Senjatanya berupa sekumpulan ajing pemburu.

Namun kerusakan dan keterancaman hidupan liar di Gunung Prau, selain diakibatkan oleh pemburu, kerusakan terparah adalah akibat perambahan hutan dan kebakaran. Perambahan hutan dan pembuatan arang, semakin hari semakin mengancam ekosistem Gunung Prau. Padahal Gunung Prau, menjadi andalan sumber air ratusan ribu warga di bawahnya. PDAM di Sukorejo dan sekitarnya, kota kecamatan di lereng utara mengandalkan air dari gunung ini, yang airnya langsung bisa diminum.

Status hutan juga mempunyai andil dalam laju perusakan hutan. Saat ini hutan di kawasan Gunung Prau merupakan hutan yang dikelola oleh PT Perhutani. Jika saja hutan ini dirubah statusnya menjadi kawasan konservasi, minimal cagar alam maka akan lebih tertata dan peraturannya jelas.

Namun yang menggembirakan, saat ini anak-anak muda di lereng Gunung Prau mulai mengorganisir diri dan mulai mengelola kawasan gunung ini. Para pecinta alam dari lereng utara, selatan, timur dan barat pun kompak dan mulai membentuk lembaga konservasi untuk mengelola gunung. Tinggal menunggu respon Perhutani sebagai pemilik kawasan, juga kerjasama pemerintah daerah setempat yang sudah memberi sinyal positif.

Anak-anak muda ini juga mulai mendata flora-fauna yang ada. Mulai memetakan kawasan, memetakan biodiversitinya, dan mulai menjalankan program-program pengelolaan kawasan konservasi. Jika saja pemerintah lewat Kementrian Kehutanan mau merespon kegiatan ini maka kawasan hutan hujan tropis Gunung Prau yang memiliki beberapa flora dan fauna endemik Jawa yang terancam, bisa selamat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun