Mohon tunggu...
Chunk ND
Chunk ND Mohon Tunggu... mahasiswa -

mahasiswa tingkat akhir tak ada kata terlambat untuk belajar, termasuk menulis sebagai coretan untuk keabadian. sebab dengan menulis maka ingatan akan terawat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Jadinya Kalau Dibiarkan?

21 April 2017   01:54 Diperbarui: 21 April 2017   10:00 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa Jadinya Kalau Dibiarkan?


Perubahan sistem keuangan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang terjadi pada tahun 2013 yang beralih dari system sebelumnya yakni Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) menjadi sistem Uang Kuliah Tunggal menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh kalangan akademisi kampus pada saat itu, pro kontra terkait kebijakan ini muncul hampir diseluruh civitas akademika baik pemangku kebijakan kampus hingga kalangan mahasiswa.

Sebagian besar mahasiswa menolak adanya kebijakan ini, sebab sistem ini akan memberikan kesenjangan yang semakin jelas mengenai tanggung jawab Negara terhadap pendidikan, hal ini pula yang akan menjadi penyebab semakin melambungnya biaya kuliah di perguruan tinggi utamanya perguruan tinggi negeri, sementara itu pemangku kebijakan kampus hanya sebagian kecil yang menolak, bahkan hampir seluruh PTN yang ada menerima dan menerapkan regulasi baru yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tersebut.

Sistem SPP dengan UKT memanglah sangat berbeda, persamaannya hanyalah pada waktu pembayarannya, yakni sebelum memasuki semester baru, sistem SPP menyamaratakan pembayaran kepada setiap mahasiswa, sementara dalam sistem UKT, nominal pembayaran dibagi kedalam beberapa kelompok, dimulai dari kelompok yang paling rendah hingga yang paling tinggi, hal ini disebabkan tingkatan nominal pembayaran akan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa, semakin rendah penghasilan orang tua semakin rendah pula nominal UKT yang dibayarkan, begitupun sebaliknya.

Hal yang kontradiksi terkait sistem tersebut ramai bermunculan dalam penerapannya didalam kampus, saat itu saya mahasiswa semester tujuh, kebetulan saya menjabat sebagai ketua dari salah satu organisasi intra kampus yang banyak menampung aspirasi dari mahasiswa, saya bersama teman-teman yang lain banyak melakukan pendiskusian terkait kebijakan ini sebab banyaknya mahasiswa yang mengeluhkan mahalnya pembayaran UKT ini, dan dilapangan kami menemukan berbagai problem dalam pelaksanaannya, salah satunya adalah ketidaksesuaian nominal pembayaran UKT mahasiswa dengan penghasilan orang tuanya, seperti banyak kasus yang terjadi penghasilan orang tua rendah namun nominal pembayaran dimasukkan kedalam kelompok yang lebih tinggi, kemudian mekanisme pelaksanaan yang tertera dalam peraturan menteri yang mengatur terkait reglasi ini tidaklah dijalankan secara penuh oleh pihak kampus. Dengan diberlakukannya sistem UKT maka pihak kampus tidak diperbolehkan lagi memungut biaya tambahan apapun kepada mahasiswa, sebab sistem UKT telah memasukkan segala kebutuhan mahasiswa selama satu semester kedalamnya, namun faktanya dilapangan justru tidaklah sesuai, masih maraknya pungutan tambahan yang dibebankan kepada mahasiswa, padahal nominal pembayaran UKT sudah begitu tinggi, apalagi kalau mau diperbandingkan dengan nominal SPP.

Beberapa temuan dilapangan tersebut membuat saya beserta teman-teman lain yang aktif dalam organisasi kampus melakukan kampanye penolakan terhadap sistem ini, sebab pihak kampuspun kadang bungkam ketika mahasiswa mempertanyakan terkait permasalahan yang muncul ini, berbagai upaya kami lakukan bersama, mulai dari audiensi bersama dengan pihak kampus, berunjuk rasa ke kantor DPRD serta berkampanye diberbagai sosial media.

Saya menyadari bahwa perjuangan untuk mencabut kebijakan yang bersumber dari pusat tidaklah mudah, butuh kerja keras, semangat, loyalitas, dan waktu yang tidaklah singkat. Olehnya itu saya bersama dengan teman-teman yang lain berinisiatif mengumpulkan semua data terkait mahasiswa yang dianggap bermasalah dalam pelaksanaan UKT, banyak diantara mereka mendapatkan nominal UKT yang begitu tinggi dan tidak sesuai dengan pendapatan orang tua mereka. Hal itu kami laporkan bersama disertai data-data yang mendukung kepada pihak kampus, walaupun prosesnya lama hingga beberapa bulan dan berkali-kali kami bersitegang dengan para pihak kampus namun beberapa orang yang telah kami identifikasi akhirnya mendapat pengurangan nominal UKT.

Saya dan teman-teman tidaklah berhenti disitu, sembari mengumpulkan mahasiswa yang kami anggap sebagai korban kesalahan pelaksanaan UKT kami juga masih terus mengkampanyekan penolakan system ini, sebab sebagian besar mahasiswa menganggap system SPP masih lebih ringan dan mudah dijangkau oleh kalangan menengah kebawah.

Selain itu teman-teman dikampus juga membuat suatu wadah donasi yang membuka ruang kepada seluruh mahasiswa untuk memberikan sumbangsih seikhlasnya yang berbentuk uang, hasil donasi ini kami bagikan kepada mahasiswa yang tidak cukup mampu untuk membayar UKT nya yang terlampau tinggi dan belum sempat untuk diturunkan nominalnya oleh pihak birokrasi, hal ini benar-benar cukup membantu, sebab beberapa mahasiswa hampir saja cuti akademik disebabkan tak mampu untuk membayar biaya kuliah, dengan donasi yang kami kumpulkan mereka akhirnya batal untuk cuti.

Hingga kini teman-teman mahasiswa masih terus melakukan advokasi terkait pelaksanaan sistem ini, kampanye penolakan masih terus dilancarkan oleh teman-teman sembari terus menjaga jangan sampai ada mahasiswa yang berhenti berkuliah hanya karena biaya, sebab semakin hari biaya pendidikan utamanya pendidikan tinggi semakin mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun