Mohon tunggu...
Simon Lao Seffi
Simon Lao Seffi Mohon Tunggu... Guru - Belajar Menulis

Guru di SMAN 2 Fatuleu Barat, kab. Kupang, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Memerangi Kemiskinan di NTT

2 Agustus 2017   08:10 Diperbarui: 3 Agustus 2017   03:41 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ket. gambar: kegiatan belajar masyarakat menggunakan pendekatan diskusi kampung di kampung Nunuanah, NTT)

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun ini menunjukkan bahwa Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi  propinsi paling miskin di Indonesia setelah propinsi Papua dan papua  Barat. Kepala BPS NTT, Maritje Pattiwaellapia, menjelaskan bahwa peranan  komoditi makanan lebih besar mempengaruhi posisi masyarakat miskin  terhadap garis kemiskinan dibanding komoditi bukan makanan seperti  perumahan, sandang, pendidikan, maupun kesehatan. 

Ada satu juta lebih penduduk miskin di NTT berdasarkan survey  seperti yang disampaikan kepala BPS NTT. Artinya, bisa jadi, angka kemiskinan masyarakat NTT relativ lebih tinggi jika saja aspek lain yang  menjadi kebutuhan mendasar masyarakat juga diikutsertakan sebagai indikator (HU Pos Kupang edisi 5/1/17). 

Oleh Viktoria  Fanggidae, peneliti perkumpulan Prakarsa, 99 persen lebih penduduk  miskin NTT diketahui tidak mampu mengakses bahan bakar/energi untuk  memasak, 87 persen lebih dari mereka yang belum memiliki sumber  penerangan, 68 persen lebih penduduk miskin ini tidak mampu mengakses  air bersih, dan 67 persen lebih dari mereka juga belum memiliki  fasilitas sanitasi yang layak (HU Pos Kupang edisi 5/1/17). 

Menariknya, beragam tawaran solusi memerangi kemiskinan yang ikut hadir  memenuhi ruang publik terbaca sebagai sekedar pertarungan gagasan yang  diyakini hanya akan habis sebagai wacana seiring akan munculnya  fenomena/peristiwa baru dengan opini publik yang mengikutinya. 

Jika ditelusuri dalam pemberitaan media, keprihatinan terhadap  kemiskinan dan berbagai  gagasan solustif untuk memeranginya sudah  berulang mengisi ruang media dalam rentang waktu yang relatif banyak.  Bisa jadi, di tahun - tahun mendatang, pemangku kepentingan juga akan  sama reaktifnya ketika dihadapkan pada tampilan statistik dari ukuran  kemiskinan yang relatif tidak berbeda dengan ukuran tahun ini.

Karena itu, bagi saya, mewakili beragam elemen masyarakat awam yang buta  terhadap berbagai teori pembangunan, tawaran solusi yang dimunculkan  elemen pemerintah (termasuk wakil rakyat) untuk memberantas kemiskinan  diyakini sulit mengurai persoalan klasik ini. Basi dan sarat aroma  kepentingan sempit, begitu kecurigaan masyarakat yang sudah benar --  benar apatis terhadap kehadiran pemerintah. Bukankah kemiskinan masyarakat dan perilaku korupsi anggaran pembangunan masyarakat sudah  berjalan seiring sama lama selama ini?. 

Tidak heran, segala  bentuk kegiatan pembangunan di tingkat masyarakat dicurigai tidak  sedikit elemen masyarakat sebagai kamuflase dari aksi penggerogotan  anggaran rakyat. Pembangunan jalan, embung, sarpras pendidikan, sarpras  kesehatan, sumur, maupun bangunan lain yang tidak sedikit darinya sarat  aroma korupsi menguatkan kecurigaan masyarakat.

Besaran biaya yang  dikeluarkan pengembang proyek untuk mendapatkan material batu dan pasir  di tidak sedikit daerah kantung kemiskinan yang relatif kecil dibanding  besaran biaya dalam Rancangan Anggaran Biaya (RAB) menjadi contoh bahwa  ada semacam cela yang memang disengaja oleh pemerintah, DPRD, dan  pengusaha untuk mendapatkan kelebihan anggaran yang relatif besar. 

Dalam  banyak kasus, diyakini bahwa cela seperti inilah yang kemudian  memunculkan perselingkuhan antara oknum pemangku kepentingan dengan oknum pengusaha. Belum lagi berbagai dugaan korupsi yang bermain  menggunakan berbagai modus sehingga mengurangi kualitas pekerjaan. Akibatnya, segala macam bentuk proyek selalu dicurigai sebagai lahan  bagi oknum pemerintah untuk mempertebal saku. 

Tak heran,  kadang -- kadang, banyak proyek fisik yang sungguh tidak tepat menyentuh  kebutuhan mendasar masyarakat tetapi dihadirkan dengan anggaran yang  cukup besar yang kuat diduga sudah digiring sejak tahapan perencanaan  oleh oknum berkepentingan sempit agar anggaran rakyat dapat digerogoti.  Pergilah ke Amfoang atau Fatuleu di kabupaten Kupang, akan didapati  banyak gedung posyandu berbiaya puluhan hingga ratusan juta di banyak  titik di tidak sedikit desa miskin yang hanya diperuntukkan untuk  menimbang anak balita sekali sebulan. Akan didapati juga bahwa milyaran  anggaran hanya dihabiskan untuk membuka gang baru yang sungguh sangat  tidak dibutuhkan masyarakat, rabat di jalur yang tidak strategis, dan  banyak kegiatan fisik yang sarat kebohongan dan aroma korupsi.

Dikhawatirkan, pemerintah, dihadapan rakyat yang sudah sangat apatis,  akan dianggap kelihatan seperti segerombolan perampok berseragam yang  jelas -- jelas tidak peduli dengan kemiskinan rakyat. Segala produk  pembangunan dicurigai telah ditunggangi kepentingan sempit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun