Mohon tunggu...
Enjang Sumantri
Enjang Sumantri Mohon Tunggu... lainnya -

rakyat biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mitos dan Pilkada

23 Maret 2017   11:58 Diperbarui: 23 Maret 2017   20:00 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Vox Populi Vox Dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan begitu sering kita dengar. Tetapi benarkah demikian? Suara rakyat belum tentu suara Tuhan jika indikator dan parameternya adalah result dari sebuah mekanisme politik yang bernama pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Mengapa? Tidak terlalu berlebihan jika kita mengambil Adolf Hitler sebagai contoh tentang blunder dari proses demokratisasi, naiknya Hitler menunjukan pada kita bahwa demokrasi bahkan bisa gagal menyelamatkan dirinya sendiri. Kita juga mungkin dapat mengambil contoh yang sangat lokal, walau tidak sampai membunuh demokrasi itu sendiri, seperti kasus-kasus korupsi para anggota DPR dan DPRD dan kasus korupsi Kepala Daerah yang terpilih lewat mekanisme konstitusional dan demokratis bernama pemilu dan pilkada.

Yang harus kita buka ternyata bukan gugatan terhadap akurasi dari kata vox populi, tetapi lebih pada populinya. Lebih dalam lagi populi dalam situasi dan kondisi yang bagaimana sehingga suara mereka yang seharusnya dapat menjadi alat bagi pemenuhan kebutuhan untuk menaikan derajat hidup orang banyak malah berbalik menjadi suara yang menambah derita dan kesengsaraan

Postmodernisme mengajarkan kita akan satu hal penting tentang realitas yang berjarak. Seperti halnya menafsirkan teks kitab suci. Begitu banyak corak, metode dan kesimpulan yang kita ambil dari satu kalimat di kitab suci. Realitas sosial yang berjarak inilah yang diambil oleh ‘pencitraan’ untuk menipiskan jarak antara kita dengan kenyataan.

Pada pencitraan inilah media massa memiliki peran dan ruang yang sangat besar dalam menebar informasi tentang ‘kenyataan’, bukan seperti apa adanya kenyataan tersebut, tetapi lebih sesuai dengan kepentingan pihak penyampai informasi, persis seperti salah satu iklan obat sakit kepala di televisi. Sakit kepala hilang dalam hitungan detik jika kita mengkonsumsi obat yang satu ini. iklan tadi bukan hanya sekedar menyampaikan informasi kepada kita. Yang sering terlepas dari perhatian kita adalah efek sugestif yang terselip di iklan ini dan iklan-iklan lain. Efek sugestif yang terintegrasi dalam informasi adalah hal yang seringkali luput dari perhatian kita. Kita tahu bahwa dengan logika sederhana dan pengalaman kita tentang sakit kepala membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh iklan tersebut tidak benar. Tetapi efek sugestif dari iklan tersebut menuntun kita untuk membeli obat yang satu ini jika sedang mengalami sakit kepala. Efek sugestif ini tidak masuk akal kita memang, celakanya emosi dan psikologi kita dijajah dengan sukses. Ketika logika tidak lagi berlaku untuk menuntun tindakan kita, maka kita masuk pada wilayah mitos, wilayah ilusi, wilayah sihir. Persis seperti tali-temali penyihir fir’aun yang menjadi ular sehingga sempat membuat Nabi Musa gentar dan mungkin saja sempat terbersit niat untuk lari, walau endingnya seperti yang telah kita tahu.

Mitos tidak berakhir dengan digantikannya pedang dengan senapan, sinkang (kesaktian tenaga dalam) dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dengan kekuasaan uang. Mitos selalu berevolusi dan berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan peradaban tetapi dengan fungsi dan orientasi yang sama. Mitos-mitos kontemporer menggunakan media massa untuk menggantikan peran para cantrik Mpu Tanakung yang bercerita kepada rakyat Singosari tentang Lubdhaka (Ken Arok) Sang Pemburu (Sang Penjahat) yang masuk surga karena katabelece Dewa Syiwa. Hanya saja mitos-mitos kontemporer berganti menjadi Ken Arok dalam sosok Smilling General yang merupakan kombinasi Durna, Hitler kepagian dan ada sedikit campuran Sultan Haji bin Sultan Ageng Tirtayasa.

Inilah rumitnya manusia yang hampir selalu mengalami lompatan perubahan kesadaran. Kita bisa bilang bahwa pacar atau istri kita adalah wanita paling cantik sedunia, tetapi benarkah kesadaran itu tetap terjaga manakala kita berada di tribun penonton kontes Miss Indonesia? Lompatan kesadaran inilah yang oleh tim sukses dihitung waktu dan detiknya dengan sangat tepat untuk menggantikan kesadaran rasional kita dengan kesadaran temporer tentang si ‘dia’.

Ketika mitos memasuki wilayah politik atau kekuasaan, maka akibatnya akan sangat luar biasa mengerikan. Ini bukan persoalan sakit kepala satu atau dua orang, ini menyangkut bunuh diri masyarakat satu kota, satu provinsi, bahkan sebuah bangsa secara berjamaah. Mitos Bapak Pembangunan yang dilekatkan pada sosok Jendral Soeharto memerlukan waktu dan biaya yang sangat mahal serta tidak masuk akal ketika gelar tersebut kita ketahui ternyata hanya mitos. Situasi Indonesia saat ini adalah bukti betapa mahalnya harga yang harus kita bayar untuk membuktikan bahwa gelar dan predikat Bapak Pembangunan itu cuma mitos.

Dalam hal kasus pilkada DKI yang sedang berlangsung dengan segala kenorakan dan kebathilannya, kita sedang menyaksikan mitos dengan konten yang sama dengan pilpres 2014 menggiring banyak orang untuk meninggalkan akal sehat yang seharusnya bisa dipakai untuk menilai keberjarakan dan ketidaktahuan mereka tentang ‘daleman’ paslon.

Mengidentikan kegantengan dan kepandaian bermain kata adalah kebenaran seperti sinetron-sinetron adalah mitos. Para Nabi dan pembaharu diikuti dan dianggap benar karena apa yang mereka tahu sama persis dengan apa yang mereka sampaikan dan apa yang mereka lakukan.

Menilai kesalehan dan kadar keislaman seseorang hanya dari atribut seperti kopiah dan jubah bisa sangat salah dan bisa jadi sedang menipu seperti tipuan sihir tali menjadi ular ala Firáun. Jangankan atribut atau simbol, orang yang fasih dengan ayat kitab suci dan dalil-dalil keagamaan lainnya yang bekerja di bawah kementrian agama ternyata ketinggian ilmunya tidak sama dengan kelakuannya.

Yang harus di lihat dan di nilai dari paslon seharusnya adalah track recordnya, siapa dia, dari mana asalnya dan mengukur apa yang dia akan lakukan nanti dengan apa yang telah dia lakukan kemarin-kemarin. Populi yang sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran produksi mitos dan pencitraan dan lantas memilih dengan alasan-alasan yang lebih logis akan membenarkan bahwa Vox Populi = Vox Dei.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun