Mohon tunggu...
Bona Bosanova
Bona Bosanova Mohon Tunggu... wiraswasta -

Siapa diri ku aq tak tahu.. aku adalah dimana tempat ku berada.. aku ada karena aku diharapkan... aku pergi ketika telah ku sempurnakan setapak jejak jalan hidupku.. dan kemudian melangkah lagi melanjutkan kisah hidupku yang lain...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Aku Tak Mampu Lagi Sedekah

12 Desember 2013   08:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:01 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Batu itu menghempaskan motorku. Melepaskan genggaman dan membuatku harus bersentuhan dengan aspal. Tubuhku merespon dengan menjadikan bahu sebagai penyangga. Gesekan motor menimbulkan percikan api. Seolah semua dalam gerakan lambat. Aku masih bisa melihat wajahku yang terlindung helm bergesekan, bandanku terseret, memisahkan aku jauh dengan motorku. Setelahnya aku hanya tergeletak telentang tak berdaya. Nyeri pada bagian bahu diikuti pinggul dan lututku. Orang-orang mulai berkerumun. Meski sadar aku tetap harus dibopong untuk di pindahkan ke trotoar di Jalan Gatot Subroto di depan DPR/MPR. Malam telah larut. Ya Alloh ada apa ini?

***

Istriku berlari menyambutku yang berjalan tertatih mengerahkan seluruh tenagaku untuk bisa berjalan. Semalam teman-teman datang dan membawaku untuk di urut. Namun tetap ketika tidur dikontrakan rasa sakitnya masih terasa. Karenanya pagi ini aku putuskan untuk pulang menemui istriku di daerah Pandeglang, Banten.

“Aa kenapa?” Tanya istriku sambil memapahku.

“Semalam jatuh neng.”

Istriku merebahkan ku di kamar sederhana. Sebuah rumah mungil yang ku bangun dari hasil keringatku di sebuah desa kecil jauh dari pusat kota. Begitu paniknya dia. Bolak balik antara dapur dan kamar sekedar membuatku merasa nyaman. Aku tersenyum mensyukuri betapa beruntung aku bisa memilikinya.

“Udah neng, Aa ga apa-apa kok.. Sepertinya seminggu ini Aa gak bisa kerja dulu mau istirahat di rumah sampai benar-benar sembuh. Aa udah gak pegang uang. Uang neng masih ada berapa?”

“Uangnya tinggal 50 ribu. Aa yang disini yang lama, neng seneng kok. Biar nanti neng yang cari uang. Kebetulan lagi musim nikah. Neng pasti banyak dapat kerjaan.” Istriku mencoba membesarkan hatiku.

Ia hanya ibu rumah tangga biasa. Hanya terkadang bekerja sebagai perias pengantin untuk menambah uang dapur. Aku sendiri bekerja di Jakarta. Serabutan tapi hasilnya Alhamdullah. Tinggal disebuah kontrakan kecil join bersama teman-teman. Dan menemui keluargaku seminggu sekali.

Aku tatap dia dengan penuh keteduhan, “Gunakan uang itu sebaik mungkin ya. Itu uang terakhir kita.”

Istriku pamit sebentar karena ada tamu datang. Aku tetap di kamar mencoba memenjamkan mata meski rasa sakit masih menguasai seluruh sendi tubuhku. Tak lama istriku kembali.

“A, ada Pa Ujang.”

Aku terbangun, “Pa Ujang siapa ya?”

“Pa Ujang, dia kakek yang selama ini suka kita kasih beras. Tadi dia datang hendak menanyakan apa masih ada beras untuknya. Neng bilang gak ada, Aanya habis kecelakaan jadi untuk beberapa minggu ini ga ada beras. Dia kaget mendengar musibah yang menimpa Aa, katanya dia mau ketemu.”

Pa Ujang bukan satu-satunya orang yang menerima beras. Tiap minggu aku selalu menyisihkan rejeki untuk membeli sekarung beras. Lalu aku bagi-bagikan pada Janda, orang miskin dan anak yatim di sekitar rumahku. Meski hidup pas-pasan, tapi karena niat ingin membantu orang lain rejeki itu selalu ada.

“Assalamualaikum.” Pa Ujang menyapaku.

“Walaikumsalam.” Kataku. Mencoba duduk dengan susah payah di atas kasur kapukku. Sakit sekali pinggulku. Kalau dilihat memang ada memar berwarna hitam di sebelah kanan.

“Ijinkan saya urut ya Pa. Orang tua saya almarhum dulu seorang ahli patah tulang. Saya juga mewarisinya. Mana sini saya lihat kondisinya.” Pa Ujang mendekatiku. Menyentuh tubuh dan mulai memeriksa tubuhku.

Aku sedih sekali. Air mataku jatuh. Suaraku terbata. “Maaf Pa Ujang. Bukannya aku tak mau di urut. Tapi saya sekarang benar-benar tak punya uang untuk membayar bapak. Biarkan saja pak, nanti juga sembuh.” Kataku mengiba.

Pa ujang mengelus dada. Matanyapun memerah. “Saya iklas Pa tanpa harus menerima sepeser uangpun. Selama ini bapak telah membantu saya memberi beras tiap minggu walau hanya 2 liter tapi itu sangat berarti. Sekarang biarkan saya membalas kebaikan Bapak ya.”

Aku menghapus air mataku. “Terima kasih Pa. Moga Alloh membalas kebaikan Pa Ujang.”

Aku pandangi istriku. Ternyata dia telah lebih dulu berlinang air mata. Tak kuasa menatapku dalam ketidak berdayaan. Pa ujang pun mengurut dengan sangat hati-hati sampai tidak terasa rasa sakitnya. Setelahnya Ia pulang dan berjanji akan datang kembali sampai aku benar-benar sembuh. Terima kasih ya Alloh engkau telah mendatangkan pa Ujang untuk meringankan bebanku.

Malamnya aku bisa tidur nyenyak. Pa Ujang memang tukang urut yang handal.

***

Azan shubuh telah berkumandang. Aku terbangun, lalu bertayamun dan solat dalam keadaan telentang diatas kasur. Setelahnya aku tertidur kembali. Pagi-pagi aku terbangun oleh suara anakku Dafa yang izin untuk berangkat ke sekolah. Dafa anak ku satu-satunya. Sekarang dia duduk di kelas 6 SD. Aku memintanya memapahku keruang tengah. Namun apa yang aku lihat di meja makan. Sungguh membuatku marah.

Aku berteriak sekencang-kencangnya, ”NENG!!” Kesal hatiku. Aku pun mengulangi memanggil istriku hingga 2 kali. Istriku berlari dari dapur dengan rasa takut dan kecemasan yang sangat.

Aku elus dada ku. Diam mencoba menahan emosi. Dengan suara yang masih bergetar, “Kenapa neng? Neng kan tahu uang kita hanya tinggal 50 ribu. Kenapa kamu masak semua makanan ini. Kenapa kamu tak bisa berhemat?” Di meja makan telah tersaji ayam bakar, ayam goreng, ayam kuah kuning, ikan bakar, ikan goreng, lalapan dan masih banyak lagi. Aku tak habis pikir untuk apa makanan sebanyak ini di sajikan di meja makan padahal kita hanya bertiga disini.

Istriku menunduk. Air matanya menetes-netes di lantai. “Makanan ini bukan Neng yang buat A.” Suaranya parau ia menarik nafas.

Aku melemah, “Lalu dari siapa makanan ini?”

“Dari orang-orang yang selama ini kita kasih beras tiap minggu. Mereka tahu Aa kecelakaan dan dan mereka semua ingin membalas kebaikan itu. Mereka kirim makanan ini untuk Aa.” Istriku masih menunduk tak menyangka aku yang penuh kelembutan bisa segitu gusarnya.

Aku peluk dia. Aku pun tak kalah haru. Aku istigfar. Aku cium keningnya. Alhamdulillah ya Alloh. Dibalik musibah ini Engkau masih memberikan kemuliaanMu pada keluargaku ini.

“Mari kita makan yuk.” Kataku mengajak Dafa dan Istriku. “Jika nanti ada yang tak termakan neng tolong  berikan makanan ini pada orang lain yang membutuhkan ya.” Istriku mengangguk dan duduk makan bersamaku.

***

Seminggu berlalu. Dan setiap pagi selalu terhidang masakan yang lezat diatas meja makanku. Pa Ujang pun datang setiap hari untuk menyembuhkanku. Sekarang keadaanku mulai membaik. Belum bisa jalan dengan normal tapi ini terasa lebih baik.

Hari ini istriku ada kerjaan merias pengantin. Sejak pagi dia telah meninggalkanku. Karena hari minggu Dafa tidak sekolah. Aku lihat keuangan istriku yang kian menipis. Akupun melirik arloji yang ku pakai. Rencananya aku akan menjualnya ke pasar pandeglang. Berapapun lakunya walau cuma 30 atau 40 ribu aku akan tetap menjualnya. Aku ingin menyenangkan hati istriku. Aku yakin dia lebih butuh uang ini. Aku taruh arloji itu di saku celana. Aku minta Dafa mengantarkanku ke jalan. Hanya tinggal 2 ribu uangku cukup ongkos ke kota sekali jalan aku harap arloji ini bisa terjual. Jangan sampai pulang jalan kaki karena jaraknya sekitar 6 kilo dan itu tak mungkin ku lakukan dengan kondisi fisikku saat ini.

Angkot tak juga datang. Tiba-tiba sebuah mobil sedan dengan kecepatan tinggi tak terkendali menabrak pohon yang tak jauh dari tempat ku berdiri. Sebuah kecelakaan tunggal. Akupun berlari menghampiri mobil tersebut. Bodi depan mobil itu ringsek parah. Meski orang-orang mulai berdatangan tak satupun yang berusaha menyelamatkan korban. Pecikan api dan bau bensin bisa meledakkan mobil ini kapan saja. Aku melihat seorang pria muda tak sadarkan diri, dari kepalanya mengucur darah.

Aku beranikan diri. Tak terpikir lagi tentang sakit akibat kecelakaan kemarin. Aku hanya ingin menyelamatkan pria itu. Tak henti-henti aku mengucapkan doa agar Alloh memberikanku kekuatan untuk menyelamatkannya. Aku tarik pintunya tak juga terbuka. Pintunya macet karena tertekan bodi depan. Aku tak kuasa membayangkan jika aku gagal menyelamatkannya. Aku sebut lagi nama Alloh dengan penuh harap. Air mataku berlinang. Pintu itu bisa bergerak meski sedikit. Seperti mendapat tenaga extra aku tak lagi merasakan sakit karena kecelakaan kemarin.

Suara-suara orang terdengar meneriakiku agar segera meninggalkan lokasi kecelakaan karena bisa saja mobil itu meledak. Aku tak bergeming niatku sudah bulat untuk menyelamatkannya. Hanya tak habis fikir mengapa tak ada yang datang membantuku. Hanya Dafa berdiri disebelahku.

“Dafa pergi sana. Biar Abi aja yang tolong orang ini.” Aku berusaha mengusirnya tak ingin dia mendapat celaka.

“Dafa juga ingin menolong Bi.”

Melihat kami berdua yang mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan orang lain. Suara-suara itu pun berubah. Beberapa diantaranya menyebut namaku karena mereka mengenalku. Lalu orang-orang itu datang membantu. Ada yang berusaha memadamkan api sedang yang lain membantu membuka pintu. Inilah kekuatan yang aku minta ke Alloh. Air mata haruku mengalir. Akhirnya Pria itu berhasil ku selamatkan. Aku bopong dia. Menjauh dari lokasi kecelakaan. Memberikannya pada orang lain agar dibawa ke rumah sakit di kota. Tak lama mobil itu benar-benar terbakar. Aku dan Dafa menjauh.

Keringat dinginku mengucur. Sakit.. sakit sekali. Pundak, pinggul dan lututku mulai terasa. Kali ini benar-benar nyeri luar biasa. Sepertinya apa yang aku lakukan tadi membuat kondisi tulangku bergeser lagi.

“Abi ga apa-apa?” Dafa merasa ada yang tidak normal dengan tubuhku.

“Tidak apa-apa, Dafa. Tolong berhentikan angkot itu ya.”

Aku naik angkot. Dafa aku tinggal di tepi jalan. Aku senyum mengatakan terima kasih karena sudah membantu menolong orang lain tadi. Sepanjang perjalanan ke kota keringat itu tak henti nya menetes. Sakitnya mulai menjalar ke sekujur tubuhku. Aku mulai menggigil. Aku katakanan ke sopir agar mengantarkanku tepat di toko jam di pasar nanti.

Tak lama akupun turun setelah membayar uang terakhirku. Lalu merogoh kantong untuk mengeluarkan arlojiku. Arlojinya rusak. Kacanya pecah. Mungkin karena aku terlalu menekannya ketika menolong korban kecelakaan tadi. Dadaku sesak, Aku menangis sedih. Ya Alloh cobaan apa lagi ini. Apa aku harus pulang jalan kaki dengan kondisi tubuh ku seperti ini? Aku terduduk di pinggir jalan. Pandanganku putih. Suara hiruk pikuk kendaraan mulai samar tergantikan dengingan yang membuatku jatuh tergeletak. Aku pingsan. Meski begitu masih ku dengar sibuknya orang-orang yang ingin mengantarkanku kerumah sakit. Andai bibirku bisa mengucap aku ingin bilang antarkan saja aku ke rumah. Aku tak punya uang untuk membayar rumah sakit. Sayang pandanganku gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.

***

Ku buka mataku. Ku tolehkan pandanganku ke kiri. Sebuah ruangan besar. Lengkap dengan AC dan ruang tamu. Lalu ku pandang kearah kanan. Istriku tertidur di sofa. Sebuah selimut putih menutupiku dan perban di pundak pinggul dan lututku, ini rumah sakit. Sudah berapa lamakah aku disini?

Sedih. Sedih sekali. Sampai tak sadar suara tangisku mengisak-isak membangunkan istriku. Ia menatapku tak kalah sedih tangisnya lebih hebat dari aku. Dia menghampiri.

“Kenapa Aa menangis? Apa masih terasa sakit?” Katanya menghawatirkanku.

Aku masih tersedu-sedu. “Neng.. Jawab dengan jujur” suaraku tertahan di tenggorokan karena menahan tangis. “Barang apa yang telah engkau jual hingga bisa membayar kamar semewah ini?”

Istriku tersenyum meski tangisnya tak juga berhenti,”Tak ada barang yang neng jual A.”

“Kalau begitu pada siapa neng berhutang dan berapa bunga yang akan mereka tagih pada kita?”

Istriku tersenyum lagi sambil mengusap air mataku. “Tak ada orang yang neng hutangin A.”

Aku makin bingung, meski tak juga kesedihanku reda. “Lalu siapa yang bayar semua ini?”

Istriku menyeka air matanya. “yang membayarnya adalah kemuliaan hati kamu A.”

“Maksud kamu apa neng, Aa ga ngerti?” aku mengerutkan alis menunggu jawaban yang akan menentramkan hatiku.

“Orang yang kamu tolong karena kecelakaan mobil kemarin di rawat di rumah sakit ini juga. Dia tahu kalau kamu yang menolongnya juga masuk rumah sakit ini. Aku datang tak lama setelah kamu dibawa oleh supir angkot yang mengantarkanmu kesini. Karena aku tak punya uang aku menangis dan seorang bapak-bapak dengan pakaian dinas menghampiriku. Dia adalah ayah dari anak laki-laki yang kamu tolong. Aku ceritakan kondisi Aa, dan dia berjanji akan menanggung semua perawatan Aa disini.”

Istriku menceritakannya dengan tangis yang tak henti. Membuatku haru.

***

Sebulan berlalu. Aku telah sembuh. Dan rizki itu datang lagi lebih banyak dari sebelumnya. Sejak Pejabat itu (ayah dari anak yang ku tolong) tahu aku punya keahlian di bidang komputer. Dia banyak memberiku pekerjaan. Dan sekarang aku bisa membeli beras 2 karung tiap minggunya untuk ku bagi-bagikan ke tetanggaku. Tak hanya itu pernah suatu kali pejabat itu menemukanku di pasar sedang membeli beras dan dia bertanya mengapa aku tiap minggu membeli begitu banyak beras. Setelah aku ceritakan diapun tersentuh hatinya. Sejak itu setiap hari selalu ada sekarung beras dirumahku. Pejabat itu menitipkan sedekahnya padaku. Tak hanya tetangga kini telah meluas ke desa-desa seberang aku bisa menebarkan kebaikan. Aku yakin rezki ini memang milik mereka yang Alloh titipkan melalui aku. Sedangkan Alloh telah dulu menjamin rezki ku..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun