Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berikan Kail Bukan Ikannya 1

18 Agustus 2017   21:41 Diperbarui: 28 Agustus 2017   19:19 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam membaca kitab suci, kita wajib mengkaji setiap ayat dalam kitab suci melalui rasa yang merasakan atau roso pangroso kita, agar dapat menemu-kenali makna hakiki yang terkandung didalamnya. Mengingat, perintah dan petunjuk Allah dalam kitab suci, umumnya disampaikan dalam bentuk perumpamaan atau tersamar. Agar dapat menemu-kenali makna yang terkandung didalamnya, saat membaca kitab suci hendaklah kita memposisikan diri layaknya sedang berhadapan dan berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Atau dengan kata lain, hendaklah kita memposisikan diri layaknya kita yang diciptakan menghadap dan berkomunikasi secara langsung kepada yang menciptakan.

Sebagaimana difirmankan dalam surat Al Baqarah ayat 177 : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Dari uraian tentang amal saleh atau perbuatan baik sebelumnya, kiranya menunaikan zakat merupakan topik kajian berikutnya. Karena itu mari kita mengedepankan roso pangroso atau rasa yang merasakan untuk mengkajinya, dan menjauhkan perasaan dalam mengkajinya agar tidak timbul rasa suka dan tidak suka ( like and dislike ). Setiap tahun umat Islam diwajibkan menunaikan zakat fitrah, jelang Hari Raya Idul Fitri dengan besaran setiap orang setara dengan 2,5 kg beras;  Dengan kualitas beras yang sama, dengan beras  yang dikonsumsinya setiap hari. Penunaian zakat ini, dapat disampaikan dalam bentuk natura artinya disampaikan dalam bentuk beras 2,5 kg per orang, atau disampaikan dalam bentuk uang senilai harga beras kualitas tersebut, kepada orang yang berhak menerima yaitu fakir miskin. Melalui penunaian zakat fitrah ini, paling tidak kita dilatih untuk membiasakan diri berbagi rasa dengan saudara-saudara kita yang belum hidup berkecukupan yaitu fakir miskin. Sehingga saudara-saudara kita yang sehari-harinya berpikir dan berjuang besuk makan atau tidak, dapat dipastikan bahwa bersama saudara-saudaranya yang merayakan Idul fitri, mereka juga dapat makan nasi.

Untuk itu iznkan aku menceritakan kisah nyata seorang kakek, yang lahir sekitar 69 tahun silam di tanah Lampung Sumatera, dalam mengkaji makna yang terkandung dalam menunaikan zakat. Si kakek berkesempatan menimba ilmu, di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, namun dikala aktifnya, beliau mengawali tugas dinasnya di Balai Industri Semarang Jawa Tengah, lalu pindah ke Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Propinsi Lampung.

Nabi Muhammad SAW. bersabda thalabil ilma walau bi sina, yang artinya tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Dari sabda ini, mudah -- mudahan para pengikut beliau dapat menangkap sinyalnya, bahwa beliau Kanjeng Nabi sesungguhnya menginginkan agar para pengikutnya menjadi umat yang pintar dan cerdas, serta memiliki daya nalar rasional yang luas, tanpa membeda-bedakan ras, suku bangsa, warna kulit, bahasa dan agamanya. Sehingga dapat diharapkan, umat pengikutnya kedepan menjadi umat yang mampu mengikuti perkembangan zaman, dengan tetap berdasar atas perintah dan petunjuk Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Si kakek memaknai sabda Nabi, hakekatnya adalah perintah baginya dan wajib dilaksanakan, oleh karena itu si kakek tidak pernah lalai dalam menunaikan zakat fitrah. Disisi lain si kakek juga berpikir, bahwa kebutuhan makan manusia itu tidak hanya 1 kali dalam setahun, tetapi setiap hari. Oleh karena itu amatlah tepat kata -- kata bijak yang mengatakan, janganlah memberi ikan, melainkan kailnya. 

Untuk mewujudkan buah pikirannya, si kakek lalu memberikan kail kepada orang yang membutuhkan, diantaranya melalui pelatihan sulam tapis ( kerajinan khas Lampung ). Dirumah kontrakannya, si kakek mengadakan pelatihan sulam tapis, tanpa memungut biaya dari pesertanya. Rangka palangan dan bahan untuk sulam tapis, disediakan si kakek. Sebagai instrukturnya, si kakek minta tolong istri driver Balai Penelitian Kimia Lampung, karena beliau memang terampil dalam sulam tapis.   

Untuk mencari peserta pelatihan, si kakek minta tolong adiknya yang berdomisili di Metro untuk mencarikan anak -- anak perempuan, yang bersedia untuk dilatih keterampilan sulam tapis sampai terampil. Makan dan bermalam selama pelatihan ditempat si kakek, demikian pula yang memberi honor instrukturnya. Adik si kakek dari Metro melaporkan, sudah dapat anak perempuan 11 orang yang berasal dari beberapa desa, sambil menceritakan pengalamannya, ketika mencari anak -- anak yang mau dilatih sulam tapis. Pada mulanya orang tua anak -- anak, tidak mengizinkan anaknya mengikuti pelatihan. Dengan alasan, mana ada pelatihan tidak membayar, demikian juga makan dan bermalam ditanggung. Disamping itu, tempat pelatihannya jauh di Bandar Lampung. Akhirnya para orang tua bertanya kepada adik si kakek, siapa yang akan memberi pelatihan? Disebutlah nama si kakek, beliaulah yang akan mengadakan pelatihan dan tempat pelatihan, serta bermalamnyapun di rumah beliau sendiri, tegas adik si kakek. Oo ya sudah kalau beliau yang mengadakan, kami percaya, kata orang tua anak -- anak.

Saat peserta pelatihan datang, wah ramai sekali di rumah si kakek. Segala sesuatu peralatan dan bahan disediakan, akhirnya pelatihan berjalan dengan lancar selama 30 hari. Singkat ceritanya setelah anak -- anak terampil, si kakek mengantarkan mereka pulang ke rumah dan menyerahkannya kepada orang tua masing -- masing, dengan membawa rangka palangan dan bahan untuk membuat sulam tapis di rumahnya. Kepada anak -- anak yang sudah terampil ini, si kakek berpesan bila di desa ada temannya yang tertarik agar dibimbing, dan dilatih. Hasil sulam tapis yang baik, agar dikumpulkan dan disampaikan kepada si kakek, selanjutnya dibayar sesuai dengan kualitas yang dihasilkan. Sekali waktu mengunjungi rumah mereka masing-masing, si kakek merasa senang dan bangga bila melihat aktivitas menyulamnya masih terus dikembangkan. Tetapi kalau toh tidak dikembangkan, si kakekpun tidak merasa rugi, yang jelas telah memberikan keterampilan sebagai kail kepada orang lain dengan ikhlas, kilah si kakek.  

Kisah nyata lain, saat si kakek bertugas di Bidang Bina Program tepatnya sebagai Kepala Seksi Program Sektoral dan Kerjasama, pada Kanwil Departemen Perindustrian Propinsi Lampung. Karena kesibukan Kepala Bidang Bina Program, si kakek ditugasi untuk menggantikan beliau memberi materi motivasi dalam acara pembekalan Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan (SP3), yang diselenggarakan oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Lampung. Dalam penugasan SP3 selanjutnya, ada 1 orang yang sering berkunjung ke rumah dan berkonsultasi kepada si kakek, S.W.SE, inisial namanya seorang Sarjana Ekonomi lulusan Universitas Syah Kuala, Aceh. Penempatan SP3 di desa - desa, lokasinya jauh dari kota Bandar Lampung. Si kakek menyarankan kepada mas S.W. agar makan dan bermalam dirumah si kakek saja, bila sedang berkonsultasi ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Saran dilaksanakan, bahkan si kakek dan keluarganya oleh mas S.W. dianggap sebagai pengganti orang tuanya di rantau. Jadi mas S.W, inilah yang merupakan anak angkat laki -- laki pertama dikeluarga si kakek. 

Lama tidak ke rumah si kakek, ketika berkunjung mas S.W. bersama seorang anak perempuan dan memberi kabar, kalau beliau berdua sudah menikah, alhamdulillah. Si kakek sekeluarga berucap syukur kehadirat Allah, Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, telah dapat mengantarkan mas S.W. menjadi nahkoda dalam bahtera rumah tangganya. Saat berkunjung istri mas S.W. membawa gantungan kunci khas Aceh. Istri si kakek bertanya, dari mana gantungan kunci ini mbak? Buatan saya sendiri bu, karena kami sekeluarga di Aceh memang perajin sulam benang, jawab istri mas S.W. Jadi mbak bisa membuat sulam benang? Bisa, jawabnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun