Pada malam minggu lalu (19/7 atau malam ke 3 syawal 1436 H) tengah malam saya dikejutkan oleh sebuah SMS yang didata HP saya berasal dari Abd. Hanan Royani. Barangkali yang menulis sms tersebut adalah istrinya. SMS tersebut mengabarkan bahwa Ust Abd Hanan Royani meninggal dunia malam itu pada pukul 24.00 dini hari. SMS saya terima sekitar pukul 00.45. Artinya baru 45 menit yang lalu alm wafat.
Abd Hanan Royani (di daerah tempat tinggalnya dikenal KH Abd. Hanan bin H. A. Royani) adalah  sahabat saya di Mesir ketika kami sama-sama nyantri di universitas Al-Azhar  di era 1980-an. Beliau datang lebih dulu dari saya yaitu pada tahun 1978, dan kami sama-sama tinggal di asrama mahasiswa asing di kawasan Darrasah yang dikenal dengan nama 'madinat al-Buuts al-Islamiyah'.
Sebagai mahasiswa, Abd Hanan merupakan prototipe santri tulen, karena selain berasal dari pesantren salafi (tradisionil) di Banten, juga tidak pernah meninggalkan memakai kain sarung dalam kesehariannya. Dia baru memakai celana ketika menghadiri kuliah dan keluar asrama. Alm selama hidupnya (semasa mahasiswa) hanya mengenal masjid di asrama, maksudnya tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah, kuliah, ke toko buku dan belanja keperluan pribadi. Tidak banyak kegiatan atau tidak tertarik hal-hal di luar kehidupan keilmuwan. Pokoknya, hanya kuliah, murajaah muqorror (teksbooks) kuliah, membimbing mahasiswa baru atau calon mahasiswa yang baru datang ke Cairo, dan membeli kitab. Biasanya, alm dalam membeli buku bukannya buku-buku modern, tapi selalunya yang dibeli adalah buku-buku 'turats' (kitab kuning klasik) yang di Cairo masih dicetak oleh penerbit dan percetakan 'Al-Halabi Bersaudara' yaitu Mustafa dan Isa Halaby. (Halaby sendiri berasal dari Syria yaitu Aleppo, dalam bahasa Arab adalah 'Halab'). Saya sering jalan kaki bersama alm karena dekat ke toko dan penerbit tersebut yang berada di kawasan di belakang Husen. Biasanya buku-buku cetakan Halabi masih belum dijilid maupun dipotong halamannya. Jadi masih betul-betul utuh.
Sebagai mahasiswa yang berasal dari pinggiran Jakarta saya dan beberapa kawan menjadi akrab dengan almarhum. Dia tidak banyak bicara kecuali hanya seperlunya saja. Lebih banyak senyum memekar dari mulutnya ketimbang dalam bentuk verbal. Kawan-kawan yang tinggal di asrama pasti mengenalnya apalagi yang aktif shalat berjamaah di masjid. Kalau yang tinggal di asrama Buuts tidak mengenalnya berarti tidak rajin ke masjid.
Dalam beberapa tahun saya mengunjungi alm di rumah yang terletak di Rorotan Jakarta Utara. Waktu itu saya sudah tahu alm sudah menderita sakit bahkan harus cuci darah. Walau saya lihat postur tubuhnya tidak berubah sejak di tinggal di asrama di Mesir namun fisiknya lemah. Begitulah keadaannya. Menjelang puasa Ramadhan kami mengadakan acara di Cibogo untuk melepas kangen kawan-kawan ex Cairo. Disitu saya bertemu dengan kawannya bahkan merasa sebagai muridnya karena selain tinggal di asrama juga dibimbing oleh alm dalam memahami muqorror. Kawan tadi berjanji ingin mengunjungi alm di rumah, namun saya katakan sdah tanggung mau masuk bulan puasa. Nanti saja selepas lebaran, begitu kata saya.
Ternyata kehendak Allah berlaku lain. Di malam selepas shalat subuh menjelang shalat Idul Fitri alm dilarikan ke rumah sakit dan sejak itu tidak balik lagi ke rumah kecuali sudah dipanggil oleh Allah swt. Padahal menurut keluarganya, hingga hari sabtu sore alm masih komunikasi dengan keluarga yang dinyakini oleh keluarga sudah sembuh. Namun, Yang Maha Kuasa memanggilnya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Alm meninggalkan 3 orang anak yang sudah dikirim pondok pesantren mengikuti jejak sang ayah.
Sebagai seorang sahabat saya juga berbahagia karena alm meninggal dihari baik dan di bulan baik, pas genap bulan puasa dan masih dalam suasana lebaran atau Idil Fitri.
salam damai,