Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rumah Baru

22 Mei 2020   12:00 Diperbarui: 22 Mei 2020   20:11 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh midascode dari Pixabay

Aku pasrah saja ketika keputusan diambil alih suamiku, keputusan akhir dari suatu perdebatan panjang soal kepindahan rumah kami. Memang telah bersitegang cukup lama, maklum selama ini kami tinggal didaerah yang kita sepakati bahwa itu sangat nyaman, sesuai pilihan kami berdua terdahulu. Lingkungan yang menghijau daun dengan biru jernih langitnya adalah tempat aku, Tom suamiku, Jane dan Jerk kedua anak kami,  berkehidupan keluarga tenteram selama hampir tujuh tahun. 

Dan aku tak menghendaki perdebatan soal rumah baru lagi. Selain melelahkan kadang pula menyakitkan. Bukan apa apa, aku sudah demikian menyatu dengan semesta perumahan kami sekarang ini, demikian halnya dengan kedua anak kami. 

Tapi ya, sudahlah, ku coba memahami dan menyelami perubaham Tom belakangan ini. Barangkali dia mulai dihinggapi stress, mengingat level jabatan yang di sandang hampir mencapai kulminasinya, belum lagi sebagai tenaga yang "smart' sebagai salah satu dokter ahli paru paru, yang termasuk kelas elit, tentu saja keterampilan nya sangat diandalkan.

"Aku akan lebih tenang jika pindah kesana, Sue.." beberapa kali dia bertutur tentang 'real estate' baru yang dipilihnya, yang seakan  merupa kebenaran dan dipercaya akan lebih merilif tekanan pekerjaannya di rumah sakit.

"Kamu yakin, sayang?" ku terus coba menguji pilihannya.

"Aku sudah mulai merasakannya, Sue. Udara disana begitu jernih" dia berkata seperti menerawang.

Ada sesuatu yang tidak biasa, namun begitu samar aku rasakan, mengingat ku sangat mengenal Tom, meskipun dia seorang  dokter yang mapan, sesumir apapun aku bisa merasakan akan sesuatu yang terjadi pada belahan hati ku ini.

"Oke saja Tom. Aku mendukung kamu" balasku sedikit beban. Dan lalu dia memeluk tubuhku erat dan menciumi wajahku. Hanya selanjutnya adalah tugas ku yang barangkali tak mudah, untuk membujuk kedua anakku, Jane dan Jerk.  Mungkin Jane sudah lebih dewasa dan tak susah untuk memahami, namun untuk sang adik, Jerk, aku perlu merayunya lebih, mengingat dia termasuk anak kelompok biang ribut. Namun itu bukanlah tantangan yang berarti buat ibu rumah tangga seperti diriku.

Tibalah hari yang telah dipastikan, walau hatiku berdebar, kami melintas masuk pintu gerbang perumahan idaman Tom yang terlihat megah. Tom terlihat antusias dan bersemangat, dari dalam mobil yang di kemudikannya dia melongokkan kepalanya keluar jendela, mengamati nomor nomor rumah yang tertera. 

Tak lah banyak rumah ternyata yang terbangun disana, jarak antara rumah satu dengan lainnya pun cukup jauh. Tertampak atmosfer yang sunyi, meski terbaca nomor dan beberapa bahkan menuliskan nama pemiliknya, ku kira, yang terbaca dari jarak jalan. Bangunan rumah rumah itu, umumnya berukuran cukup besar, beberapa bahkan sudah terlihat seperti bangunan yang telah berumur cukup lama, dan sebagian malah terlihat kinclong pertanda baru saja rampung dibangun.  

Laju sedan kami menelusuri jalan menanjak lumayan terjal, hingga berakhir disisi sebuah rumah besar baru berwarna putih.  Tak terlihat banyak rumah lain disekitar, hanya satu rumah cukup berdekatan, yang serupa bentuk dan warnanya. Aku sedikit bernafas lega, akhirnya ada pula tetangga di sepi lingkungan ini. Dan Tom masih belum beranjak dari jok kemudi, sementara aku dan anak anak menanti gerak Tom selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun