Malam hujan jatuhnya tak terlihat mata. Hanya limpahan air tanpa henti. Hujan deras seperti tabir yang membelokkan bentuk pandang. Aku menunggu dipinggiran atap stasiun kereta. Bau hujan sudah terlewatkan tergulung linangan air melapis aspal menuju entah. Seperti penantianku menunggu entahmu. Tempias kubiar saja, itu hanya permainan angin dan air, tak sejumput juga bahayanya. Mataku masih saja berlinang tebal dicermin babut curahan langit.
"Menunggu siapa?"
"Ranti"
"Ranti?"
"Hmm.." Porter baru ku pikir.
"Kereta malam terakhir?"
"Hmm.." aku menyetujuinya.
"Istri?"
"Pacar" sahutku
"Rokok?" dia menyodorkan bungkusan rokok kusut, aku menggeleng. Tapi dia masih menyedot tembakaunya sementara jarinya menyetel rokok lanjutnya. Seperti cerobong asapnya.
Aku tak pernah berniat menghirup, menyudahi saja luang waktu percakapan. Melangkah menyambut palang masuk ruang tunggu stasiun yang lembab. Suara atapnya lebih parah ditelinga digravitasi hujan.