Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Musuh Abadi Seniman Jalanan Salatiga

26 April 2017   16:25 Diperbarui: 27 April 2017   05:00 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu mural cantik di sudut jalan Kartini (foto: dok pri)

Mural, seni melukis di tembok saat ini semakin berkibar di Kota Salatiga. Baik dari segi teknik lukisan mau pun kelonggaran aparat keamanan dalam memberikan ruang gerak layak diapresiasi. Yang jadi masalah adalah musuh utama para seniman jalanan, yakni pamlet promosi mau pun kepentingan kampanye. Berikut penulusurannya, Rabu (26/4) sore, untuk Kompasiana tentunya.

Sejak 6 tahun lalu, pagar- pagar tembok di berbagai sudut Kota Salatiga mulai terlihat segar karena penuh warna warni cat yang ditorehkan anak- anak muda yang tergabung dalam Salatiga Street Art. Dengan personil mencapai 30 an orang, mereka mengekspresikan gejolaknya melalui ilustrasi dan grafis di kanvas- kanvas raksasa. Tentunya,  biaya yang timbul dirogoh dari kantong masing- masing.

Salatiga Street Art sendiri, sebenarnya terbentuk secara tak sengaja. Awalnya, anak- anak muda itu biasa nongkrong di salah satu warung bubur kacang ijo. Dari sekedar obrolan ngalor ngidul, akhirnya disepakati untuk membuat kelompok yang fokus pada seni mural. Tahap perdana, disiginya tembok- tembok di penjuru kota untuk dijadikan kanvas.Tidak sulit menemukan sasaran, di Jalan RW Monginsidi, terdapat pagar tembok milik hotel Maya yang panjangnya mencapai sekitar 200 meter.

Mural di Jalan Monginsidi sepanjang 200 meter (foto: dok pri)
Mural di Jalan Monginsidi sepanjang 200 meter (foto: dok pri)
Karena jarang dicat ulang, ditambah permukaannya bukan plesteran yang diaci maka dindingnya terlihat kusam dan kumuh. Oleh anak- anak Salatiga Street Art, langsung dibersihkan agar cat baru bisa menempel. Setelah dirasa cukup bersih, permukaannya segera dicat dasar warna putih. Memerlukan  waktu cukup lama untuk memenuhi seluruh permukaan dinding menjadi kanvas.

Setelah permukaan dirasa telah memadai, para seniman jalanan pun mulai beraksi. Berbagai lukisan serta graffiti secara perlahan namun pasti ditorehkan di tembok milik almarhum Soekardjo seorang advokat jaman orde lama tersebut. Hasilnya, sungguh ciamik. Pagar keliling yang memanjang 200 an meter tak lagi terlihat angkuh dalam kesuraman. Ada spirit serta semangat kehidupan di kanvas raksasa itu.

Mural Punokawan di Jalan Margosari (foto: dok pri)
Mural Punokawan di Jalan Margosari (foto: dok pri)
Keberhasilan membuat berbagai lukisan di Jalan RW Monginsidi, rupanya membuat personil Salatiga Street Art ketagihan. Mereka pun berburu tembok- tembok lain untuk dipercantik. Dalam hal ini, tentunya mereka tidak langsung hantam kromo, ada etika yang wajib dilaksanakan yakni meminta ijin pada pemilik pagar. Bila sang pemilik keberatan, maka eksekusi juga digagalkan.

Keberadaan Salatiga Street Art,rupanya menginspirasi anak- anak muda lainnya. Terbukti,  belakangan di kota yang sama muncul komunitas- komunitas  yang lain. Tujuannya tidak jauh berbeda, yakni menggoyang kuas di atas permukaan dinding agar membuat Kota Salatiga makin semarak dan  lebih berwarna. “ Dari pada corat – coret tidak jelas, ya mendingan disalurkan ke sini,” kata salah satu seniman jalanan ketika beraksi di Jalan Osamaliki.

Mural di Jalan Osamiliki (foto: dok pri)
Mural di Jalan Osamiliki (foto: dok pri)
Butuh Perda Reklame                                                        

Dengan semakin banyaknya komunitas mural di Salatiga, tak pelak tembok- tembok yang berwarna pun terus  bertambah. Bahkan Salatiga Street Art beberapa kali menggelar festival yang diikuti puluhan seniman asal Jawa Tengah, DIY hingga Jakarta. Tahun 2016 lalu, event ini digelar di sebelah Taman Kota Tingkir yang berlangsung tiga hari berturut- turut.

M. Fikri (25) ketua panitia Salatiga Street Art Festival 2016 mengatakan respon komunitas mural di berbagai kota layak diacungi jempol. Selama tiga hari, peserta dari berbagai mau mengeluarkan biaya menginap, makan dan keperluan lain dengan uang pribadinya masing- masing. “ Kami hanya menyiapkan cat dan pilox saja, selebihnya ditanggung peserta sendiri,” ungkapnya.

Mural di Jalan Bungur yang tertutup pamlet (foto: dok pri)
Mural di Jalan Bungur yang tertutup pamlet (foto: dok pri)
Lantas dari mana dana untuk menyiapkan beragam keperluan melukis ini ? Menurut Fikri, cat yang disediakan panitia sebenarnya merupakan sumbangan donatur. Celakanya, para donatur mayoritas perseorangan atau pengusaha ecek- ecek. Sebab, pengusaha cat terbesar di Kota Salatiga sendiri, ketika disodori proposal kegiatan malah mengabaikannya. Begitu juga dengan para pejabat, sepertinya kurang merespon aktifitas positif ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun