Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menunggu Berbuka di Curug 7 Bidadari

23 Juni 2016   19:30 Diperbarui: 23 Juni 2016   19:37 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Curig 7 Bidadari yang penuh pesona (foto: dok pri)

Air terjun (dalam bahasa Jawa disebut Curug) di wilayah Kabupaten Semarang, mungkin jumlahnya tak terhitung. Kendati begitu, ada satu yang penuh pesona, yakni di Curug 7 Bidadari yang berlokasi di Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono. Secantik bidadarikah lokasi ini, berikut catatannya.

Sembari menunggu saat berbuka, Kamis (23/6) sore, saya bersama pasangan abadi bertandang ke Curug 7 Bidadari. Sejak lama ingin bertandang ke tempat ini, sayang kesempatan sulit dipegang. Hingga akhirnya, pertengahan bulan suci Ramadhan tiba, sehingga keinginan berkunjung ke “taman Firdaus” kecil tersebut terealisasi.

Berangkat dari Kota Salatiga pk 14.30, mengendarai sepeda motor berboncengan, seakan membangkitkan romantisme masa lalu. Tujuan pertama, kami harus ke Ambarawa dulu, diteruskan ke Bandungan. Tiba di Pasar Bandungan, selanjut berbelok kea rah kiri menuju Kecamatan Sumowono. Melaju dengan kecepatan hanya 50 kilometer perjam, akhirnya pk 15.30 roda motor mulai memasuki kawasan Kecamatan Sumowono.

Sangat eksotis diliat jarak dekat (foto: dok pri)
Sangat eksotis diliat jarak dekat (foto: dok pri)
Mengambil jalan ke kanan atau kea rah Boja, Kabupaten Kendal, lima menit kemudian kami tiba  Barak Militer milik Kodam IV/Diponegoro. Di sini terlihat adanya petunjuk arah menuju Air Terjun Tujuh Bidadari, jaraknya dari jalan aspal hanya berkisar 3 kilometer. Berada di antara lembah lereng gunung Ungaran, pemandangannya benar- benar sejuk di mata. Untuk masuk ke lokasi, hanya ditarik restribusi sebesar Rp 4.000 perorang, jelas teramat sangat murah meriah.

Biasanya, bila ke obyek wisata sejenis air terjun, maka pengunjung akan “dipaksa” berjalan kaki cukup jauh. Sedang di sini, pengunjung cukup dimanjakan, sebab, kendaraan bisa sampai di dekat lokasi. Hanya butuh berjalan kaki kurang lebih 100 meter, telah tiba di antara gemercik air pegunungan yang jernih. Meski jalan yang dibuat oleh warga secara swadaya, namun, relatif tak menyulitkan pengunjung.

Pemandangan Curug 7 Bidadari dari jauh (foto: dok pri)
Pemandangan Curug 7 Bidadari dari jauh (foto: dok pri)
Makam Kyai Mandhung

Begitu tiba di areal Curug 7 Bidadari, kulit serasa berada di ruangan berpendingin udara. Maklum, ketinggian lokasi ini berkisar 900 mdpl, jadi suhunya ya jelas teramat sangat sejuk. Mungkin, taman Firdaus juga memiliki suhu udara yang sama. Kendati bulan puasa, namun, banyak pengunjung yang ikut memanfaatkan waktu luangnya di sini sembari menunggu saat berbuka tiba. Karena para anak muda dan remaja sibuk berselfie, akibatnya untuk mengambil gambar air terjun harus bersabar menunggu mereka menyingkir.

Seperti apa gambaran Curug 7 Bidadari ? Berbeda dengan air terjun lainnya, air yang mengalir deras di lokasi ini tak begitu tinggi. Kendati begitu, pesonanya terletak pada terjunan air yang berjumlah 7 (tujuh) sehingga oleh warga akhirnya diberi nama Curug 7 Bidadari. Sementara di bagian bawah, terdapat kolam alami yang berfungsi sebagai penampung air berkedalaman sekitar dua hingga empat meter. Pengunjung biasanya memanfaatkan kolam- kolam tersebut untuk berenang.

Salah satu kolam penampung di bawah air terjun (foto: dok pri)
Salah satu kolam penampung di bawah air terjun (foto: dok pri)
Ketika diperhatikan secara seksama, sumber air terjun ini sepertinya hanya satu. Namun, karena faktor alam, membuat aliran terpecah menjadi tujuh. Berada di antara lembah pegunungan yang hijau, rasanya semua orang bakal betah berlama - lama di sini. Terlebih lagi bagi orang kota yang biasa menghirup pekatnya polusi udara, tak pelak, inginnya enggan beranjak meninggalkan lokasi yang serba adem.

Papan peringatan bagi pengunjung (foto: dok pri)
Papan peringatan bagi pengunjung (foto: dok pri)
Sementara masih di areal yang sama, terdapat makam yang menyendiri. Berdasarkan keterangan warga, ternyata yang dimakamkan di situ adalah almarhum Kyai Mandhung, yang semasa hidupnya merupakan sesepuh Desa Keseneng. Beliau adalah seorang laskar Pangeran Diponegoro yang aktif melakukan pertempuran melawan pemerintahan kolonial Belanda. Diduga, paska tertangkapnya Pangeran lagendaris tersebut, Kyai Mandhung menyingkir ke desa ini hingga akhir hayatnya.

Masih di lokasi yang sama, terdapat kedung (semacam sumur) yang diameternya hanya sekitar 70 centimeter dan berkedalaman 1,5 meter. Kedung ini disebut Kedung Wali, karena airnya tak pernah menyusut sepanjang musim, masyarakat meyakini airnya memiliki khasiat (tentunya bagi yang percaya). Untuk melindungi tempat tersebut, masyarakat membuat pagar keliling dari anyaman bambu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun