Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Selamat, UU No. 3/2017 Sistem Perbukuan Diberlakukan

2 Juni 2017   14:06 Diperbarui: 2 Juni 2017   14:07 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Grup Whatsapp

Pelaku perbukuan boleh bersuka cita karena sejak disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI 27 April 2017, UU Sistem Perbukuan akhirnya disahkan dalam Lembaran Negara dengan nama UU Nomor 3 Tahun 2017. Hingga Mei ini produk UU yang disahkan DPR dan Pemerintah memang baru tiga, yaitu UU No. 1/2017 adalah tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura dan UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi. Namun, sampai hari ini salinan UU No. 3/2017 dalam bentuk fail belum tersedia di situs Kemenkum HAM.

Informasi berlakunya UU No. 3/2017 ini sudah dapat diprediksi karena 30 hari sejak disahkan oleh Paripurna DPR-RI tanggal 27 April maka Pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi haru menandatanganinya. Artinya, penandatanganan paling lambat tanggal 27 Mei atau jikapun tidak ditandatangani, otomatis akan berlaku. Pada hari Senin, 29 Mei 2017, kemudian viral di Grup Whatsapp Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) foto salinan UU No. 3/2017 yang konon sudah diserahkan oleh Sekretariat Negara kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sebagai leading sector untuk UU ini).

UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan terdiri atas 14 Bab dan 72 Pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan sistem perbukuan. Di dalam UU ini terdapat penjelasan tentang definisi buku; bentuk, isi, dan jenis buku; serta wewenang dan tanggung jawab para pelaku perbukuan, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pelaku perbukuan yang tersebut di dalam UU adalah 1) Penulis; 2) Penerjemah; 3) Penyadur; 4) Editor; 5) Ilustrator; 6) Desainer Buku; 7) Penerbit; 8) Pencetak; 9) Toko Buku; dan 10) Pengembang Buku Elektronik.

UU Sisbuk sebenarnya mengatur semua jenis buku, tidak hanya buku pendidikan atau buku pelajaran. Namun, secara substansi memang secara lebih detail mengatur tentang buku pendidikan. Buku pendidikan sendiri terbagi atas buku teks dan buku nonteks. Buku teks terdiri atas buku teks utama dan buku teks pendamping. Buku teks utama menjadi ranah pemerintah untuk menyediakannya, sedangkan buku teks pendamping menjadi ranah masyarakat atau penerbit swasta untuk menyediakan.

Menyelisik konsep buku teks utama ini, UU Sisbuk tampaknya mengadopsi pemberlakuan buku teks utama seperti era Orde Baru pada masa Mendikbud Daoed Joesoef yang memaklumkan Proyek Buku Terpadu (PBT) pada tahun 1981. Buku teks utama disusun dan disediakan pemerintah secara standar dan seragam untuk semua jenjang. Semua sekolah baik negeri maupun swasta wajib menggunakan "buku paket" dari pemerintah ini. Proyek prestisius ini memang menyerap dana besar dan sumber daya yang besar pula. Proyek ini kemudian melahirkan lembaga bernama Pusat Perbukuan pada tahun 1987 di bawah naungan Kemendikbud.

Kembali pada soal UU Sistem Perbukuan mengapa diadakan. Ide tentang perlu diadakannya UU ini sudah pernah dicuatkan oleh AJip Rosidi yang kala itu menjadi Ketua Ikapi dalam sebuah rapat di depan parlemen. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 19 September 1975. Ajip membandingkan kondisi industri buku dengan industri pers. Industri pers sudah memiliki UU Pokok Pers dan di bawah naungan Departemen Penerangan sebagai "tempat mengadu". Adapun industri buku tidak memiliki UU dan tidak pula punya tempat mengadu yang pasti. Lalu, ide UU Perbukuan ini juga dicetuskan pada saat Kongres Perbukuan Nasional I tahun 1995 yang digagas oleh Pusat Perbukuan, Kemendikbud dengan menghadirkan narasumber para menteri era Orde Baru.

Jadi, setelah 41 tahun Ajip menggelindingkan ide UU Buku dan setelah 22 tahun dicetuskan dalam Kongres Perbukuan Nasional I, barulah UU Sistem Perbukuan disahkan oleh DPR dan pemerintah berdasarkan inisiatif DPR yang disampaikan pada 2015. Baru pada pertengahan 2016, rapat intens pembahasan RUU Sisbuk dilakukan oleh Panja RUU Sisbuk Komisi X DPR-RI yang diketuai Sutan Adil Hendra dan pemerintah yang diwakili beberapa kementerian terkait. Pembahasan intens itu membuahkan hasil lahirnya UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Walaupun sudah diperjuangkan, ada juga dari kalangan perbukuan, terutama para penerbit yang menganggap UU Sistem Perbukuan ini tidak diperlukan. Pasalnya, buku merupakan satu bentuk kebebasan berekspresi dan tidak perlu diatur-atur. Namun, di satu sisi kehadiran negara juga sangat diperlukan dalam politik perbukuan sehingga negara dapat menghadirkan buku secara bermutu, murah, dan merata kepada rakyatnya--konsep 3M yang menjadi amanat UU Sisbuk. Di sisi lain, ternyata jika buku tidak diatur sedemikian rupa, kasus terbitnya buku-buku berkonten tidak patut terus berulang. Penerbit dapat menyalahkan penulis atau editor; atau sebaliknya, penulis menyalahkan penerbit. Hal ini terjadi karena juga tidak jelasnya siapa yang disebut penerbit atau siapa yang berkompeten menjadi penerbit dan penulis buku. 

Satu harapan yang mencuat bahwa UU Sisbuk mengamanatkan dibentuknya lembaga khusus yang mengelola sistem perbukuan dan menjadi rujukan para pelaku perbukuan. Lembaga ini direncanakan berada di bawah naungan Kemendikbud dan dipimpin oleh pejabat eselon 1. Sebelumnya, Indonesia juga memiliki lembaga perbukuan khusus, seperti Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) yang dibentuk tahun 1978, Pusat Perbukuan dibentuk tahun 1987, dan Dewan Buku Nasional (DBN) dibentuk tahun 1999. Dua lembaga yaitu BPPBN dan DBN sudah dibubarkan oleh pemerintah. Adapun Pusat Perbukuan dilebur bersama Pusat Kurikuum menjadi Puskurbuk pada zaman Mendikbud Mohammad Nuh dengan alasan reformasi birokrasi. Alhasil, kemudian praktis tidak ada lembaga yang benar-benar fokus mengurusi perbukuan secara serius pada Orde Reformasi ini.

Adanya UU Sisbuk menjadi penguat eksistensi buku dan pelaku perbukuan itu sendiri yang telah diakui negara keberadaannya dan berarti juga dianggap penting untuk dibina dan dikembangkan. Kehadiran negara diperlukan terutama untuk melindungi para pelaku perbukuan dan menghidupkan industri perbukuan sebagai salah satu industri penopang kecerdasan bangsa, termasuk juga mengawasi terkait beredarnya buku-buku dengan konten yang tidak patut atau tidak relevan dengan pembacanya sehingga berbahaya. UU juga mendorong dibinanya para pelaku perbukuan secara profesional.

Berdasarkan diskusi di Bekraf beberapa waktu lalu, industri perbukuan adalah salah satu industri kreatif yang sampai saat ini tidak memiliki SKKNI (standar kompetensi kerja nasional Indonesia) sehingga para pelakunya juga tidak memiliki sertifikasi. Nah, apakah perlu penulis buku atau editor buku memiliki sertifikasi? Dalam konteks industri tentu saja diperlukan, terutama dalam penerbitan buku pendidikan. Kalau tidak dianggap penting dan mendesak, tidak perlu disalahkan ketika banyak buku terbit dengan kualitas penggarapan yang rendah karena para pembuatnya tidak pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan bagaimana menulis, menyusun, dan menerbitkan buku yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun