Pakpuh dan Paijo adalah potret dari sebuah hubungan persahabatan yang fenomenal. Pakpuh adalah bagian dari generasi sepuh. Karena umurnya sudah masuk tahun ketujuh puluh. Sedang Paijo adalah bagian dari generasi milenial. Yang umurnya baru menginjak tahun ketiga puluh. Maka pertemanannya adalah pertemanan lintas generasi.
Kesamaan nasiblah yang menyatukan mereka dalam persobatan yang kental. Sama-sama hidup sendirian di rumahnya sendiri. Istri Pakpuh sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Kedua anak beserta keluarganya tinggal di Surabaya. Sedang ayah dan ibu Paijo sudah wafat beberapa tahun yang silam. Satu-satunya kakak perempuan Paijo menikah dengan seorang tentara. Yang bertugas dan berdomisili di Banyuwangi.
Karena rumahnya bersebelahan, maka setiap saat keduanya bisa saling berinteraksi langsung. Kapan saja mereka ingin dan bisa, keduanya akan ngobrol sepuasnya.
Mereka memang beda umur, beda profesi, beda latar belakang etnis. Beda agama dan bahkan beda pilihan politik. Pakpuh pilih Jokowi, sedang Paijo jagokan Prabowo. Tapi meski begitu, mereka sangat akur, akrab dan penuh toleransi. Mereka kadang berdebat hebat, tapi tetap dalam aura persahabatan yang hangat.
Biasanya, Paijolah yang sering mendatangi rumah sahabat sekaligus tetangga dekatnya itu. Tetapi sore ini Pakpuhlah yang mengunjunginya. Biasanya Paijo sangat bergairah menyambut saat-saat seperti itu. Baginya, inilah saatnya dia bisa belajar banyak pada pensiunan kepsek es-em-a negeri itu.
"Kamu sudah dengar hasil survei Litbang Kompas yang terakhir, Jo?"
"Hanya membaca judul beritanya saja, Pahpuh.."
"Kamu nggak baca lengkap hasilnya?"
"Enggaklah, saya sudah tak semangat lagi baca survei-survei seperti itu..." jawab Paijo kalem. Wajahnya tiba-tiba muram. Tubuhnya lunglai. Matanya yang sipit itu seperti merem. Mirip krupuk melempem.
"Lho, hasilnya itu kan memberi harapan segar pada kubu capres jagoanmu!" tambah Pakpuh menjelaskan.
"Ya biarin saja, Pakpuh! Saya tak ada urusan dengan itu...."