Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Papua "Seakan Kitaorang Setengah Binatang"

4 September 2019   01:25 Diperbarui: 4 September 2019   01:30 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini adalah diskursus perlunya upaya pemerintah Indonesia dengan sungguh-sungguh menyelesaikan masalah Papua, dengan baik, bijaksana, bermartabat, sesuai dengan Pancasila. Saya rasa diperlukan kerja membentuk task force [24 jam dalam sehari] dengan semua pihak secara damai, baik, saling menghormati, sebagai upaya jalan tengah agar kita semua menjadi satu bangsa Indonesia secara adil dan beradab, tanpa kekerasan, tanpa peperangan atau pertumpahan darah manusia. Meskipun agak terlamat dan terlalu lama penyelesaian secara finalitas masalah papua, namun kita semua sebagai manusia  Indonesia yang memiliki fakultas akal budi, harusnya percaya akan ada keadilan pada akhirnya bagi semua umat manusia teristimewa seluruh rakyat Indonesia. Semoga.  

Papua telah dimasukkan ke Indonesia sejak akhir 1960-an, tetapi sampai hari ini orang-orang masih mengibarkan bendera Bintang Kejora di hutan, protes menuntut (bahwa) Papua terpisah dari Indonesia masih berlangsung. Stamina perjuangan mereka mampu terus bertahan sampai hari ini; Ini terlepas pada penerapan otonomi khusus yang terbatas sejak tahun 2001 dan sejumlah besar pengeluaran pembangunan.

Pardoks diskursus muncul dalam sejarah  pada posisi geografis terletak di tepi barat Pasifik, berbatasan dengan negara merdeka Papua Nugini, Papua Barat adalah disebut sebagai negara Melanesia. Di bawah kekusaan Belanda, wilayah itu adalah batas paling timur Hindia Belanda yang sangat luas, kaya,.

Pada tanggal 1 Mei 1963, setelah kurang dari satu tahun pemerintahan transisi oleh PBB, kekuasaan secara resmi dipindahkan ke Republik Indonesia. Salah satu syarat pengalihan kontrol administratif adalah  akan ada tindakan penentuan nasib sendiri yang diawasi secara internasional.  Ada banyak debat dan persepsi yang saling bertentangan. Misalnya ada pihak yang menyatalan "Referendum tidak jujur "dikenal sebagai "Act of Free Choice", dan diawasi oleh PBB, berlangsung antara Mei dan Juli 1969. Pada 19 November 1969, Majelis Umum PBB secara resmi" mencatat "bahwa hasil "Act of Free Choice", kurang atau belum secara akurat atau demokratis mewakili kehendak rakyat, namun demikian, tetap mengakui pemerintahan Indonesia di Papua Barat.

Pada hari dan bulan ini Koran harian berbahasa Inggris The Jakarta Post , harus bereaksi terhadap peristiwa mengerikan yang terjadi di wilayah pendudukan Papua. Pada 19 Agustus 2019, Evi Mariani, menulis:  Orang Papua dikatakan telah mengalami diskriminasi rasial dari mayoritas orang Jawa. Seorang aktivis politik dari Papua, Filep Karma, menulis pada tahun 2014 dalam bukunya, Seakan Kitorang Setengah Binatang Rasialisme Indonesia di Tanah Papua (Seolah Kita Setengah Hewan: Rasisme Indonesia di Tanah Papua), yang dia alami rasisme ketika dia belajar di sebuah Universitas Negeri di Surakarta, Jawa Tengah. Dia sering mendengar teman-temannya menyebut orang Papua "monyet", katanya dalam buku itu.  Buku ini berbicara banyak tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang dihadapi orang Papua di tanah mereka sendiri. 

Berikut ini adalah kutiban pada teks Buku Filep Karma pada halaman 26 pada buku  "Seakan Kitorang Setengah Binatang Rasialisme Indonesia di Tanah Papu....Pada  1 Desember 2004, Filep Karma mengatur suatu acara peringatan deklarasi kemerdekaan Papua, 1 Desember 1961, dengan pertemuan kecil di sebuah lapangan di Abepura. Dia berapi-api pidato soal kebangsaan Papua. Dia bicara bahwa "orang Papua" bukan selalu kulit hitam, rambut keriting. "

Di Jawa, ada orang rambut lurus, orang Jawa asli, dia peduli pada kita orang. Suatu saat kalau Indonesia kejar dan bunuh orang ini, 'Sobat kau datang!'" katanya. Orang Jawa, orang Manado, siapa pun yang rasa memiliki di kebangsaan Papua adalah bagian dari bangsa Papua. Sebaliknya, banyak orang asli Papua, kulit hitam, rambut keriting, "makan lebih banyak ... hatinya lebih Indonesia," kata Karma. Pidato tersebut dimuat di You Tube.

Ia membuat Filep Karma ditangkap polisi, diadili dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri Abepura, terbukti melanggar pasal makar KUHP 106 dan 110. Dia dihukum 15 tahun penjara oleh pengadilan Abepura. Karma naik banding dan kalah terus hingga Mahkamah Agung di Jakarta. Filep Karma menempuh jalur hukum dan memberi kuasa kepada Freedom Now, sebuah organisasi bantuan hukum di Washington DC, menggugat negara Indonesia soal "penahanan" itu di UN Working Group on Arbitrary Detention di New York, lembaga internasional yang khusus mengadili persoalan tahanan politik.

Sesudah sidang selama hampir setahun, mereka memutuskan pada November 2011 bahwa Karma tak mendapatkan fair trial. Pengadilan-pengadilan Indonesia dinilai tidak proporsional memakai pasal makar. UN Working Group on Arbitrary Detention minta pemerintah Indonesia membebaskan Filep Karma "sesegera mungkin" dan "tanpa syarat". Pemerintah Indonesia menolak membebaskan Filep Karma. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto berpendapat Indonesia tak ada "tahanan politik." Indonesia hanya punya tahanan kriminal dan tahanan khusus (korupsi).

Demikian juga aktivis Markus Haluk, mantan ketua Himpunan Mahasiswa Papua Dataran Tinggi Tengah, adalah salah satu dari orang Papua menghadiri seminar yang menuntut "Papua yang dibebaskan" dan selalu mengkritik kebijakan pemerintah. Kekuatan Markus Haluk adalah kemampuannya untuk memotivasi orang-orang Dataran Tinggi Tengah yang tidak berpendidikan universitas dan menciptakan "propaganda melalui media".  "Perjuangan saya adalah untuk menyelamatkan orang Papua. Saya tidak disponsori atau dibayar oleh siapa pun. Dan saya akan terus berjuang sampai kebenaran ditegakkan di Papua."

Beny Dimara, seorang tokoh agama terkemuka yang bekerja dengan mahasiswa Papua di Yogyakarta,  seorang pendeta menyatakan perhatian saya hanya satu dan itu membuat orang muda Papua lebih baik dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan dan dalam pendidikan mereka." Seorang dosen dari Universitas Papua, mengatakan orang Papua adalah satu-satunya kelompok etnis di Indonesia yang dimata-matai oleh pemerintah mereka sendiri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun