Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kajian Filsafat pada Kabinet Kerja Jilid II

17 Agustus 2019   12:25 Diperbarui: 17 Agustus 2019   13:07 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika berita dimedia masa pada hari belakangan ini soal minta jatah kursi, dan kekuasaan menteri terutama komposisi Kabinet Kerja Jilid 2, dengan segala kepentingan namun sayangnya sangat minimum bahwa Kursi Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri itu memerlukan apa yang disebut Kompetensi, dalam melaksanakan tugas. Jadi Kursi Menteri itu adalah masalah tugas [task] baru kemudian mencari orang yang cocok dengan tugas tersebut kesesuaian pada [people and  task]. Maka persoalan utama pada Kabinet Kerja Jilid 2 dengan meminjam [Ontologi pada kata "Kabinet Kerja"] adalah mencari manusia yang bisa bekerja yang melampaui apa yang menjadi kewajiban tugas Negara.

Tetapi dari pemberitaan media masa saya mencurigai terutama para partai politik lebih berorientasi pada kriteria Egoisme Etis wujud seorang individu [Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri]   bertindak untuk menciptakan kebaikan terbesar bagi diri mereka sendiri atau partai politik pengusung semacam balas jasa hubungan transaksional. Akibantanya jelas luar bisa [Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri menjadi petugas partai untuk mencari uang]. Tipe semacam ini dengan egois kelompok kepentingan mereka nikmati. Ini terkait erat dengan model kepemimpinan transaksional.

Padahal gagasan idial adalah adanya kecocokan antara [Task] dalam struktur, akan menghasilkan fungsi tujuan [telelogis]  atau disebut bisa menghasilkan kinerja. Manusia dan  Tindakan [moral] menjadi kata kunci keberhasilan suatu program kerja, dalam tatanan [PDCA; "Plan, Do, Check, Act"] pada kementerian masing masing.

Implikasinya pada gagasan idial adalah apa yang disebut antara Manusia dan  Tindakan [moral]. Didalamnya ada 3 pilihan dengan penciriaan [1] Utilitarianisme, dimana [Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri] harus bertindak untuk menciptakan kebaikan terbesar bagi jumlah terbesar rakyat bangsa dan negara.  [2] Altruisme   adalah kebalikan  Egoisme Etis berkaitan dengan menunjukkan keberanian terbaik bagi kepentingan rakyat Indonesia sekalipun bertentangan dengan kepentingan pribadi. Kepemimpinan transformasional didasarkan pada perilaku [Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri] altruistik. [3] Duty (Kewajiban, atau deontologi), dimana [Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri] memiliki mental menepati janji, bersikap adil, terlepas dari konsekuensinya.

Bagimana kajian filsafat  tipe atau pencirian [Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri] Kabinet  jilid 2 untuk mencari dan menemukan manusia yang dapat menjalankan tugas yang melampaui [beyond].

Pada teks buku The Republic Platon  menguraikan pandangannya tentang kepemimpinan melalui diskusi tentang kehidupan sipil dan politik di Polis, negara kota Yunani. Selain berfokus pada makna keadilan, The Republic Platon  mengembangkan kerangka kerja tentang sifat kepemimpinan dalam negara yang ideal.

Ke [1] Pencirian [Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri] adalah  Jadilah "pencinta kebijaksanaan,".  Platon tidak puas dengan para penguasa yang tidak memiliki pengetahuan dan kekuatan moral untuk bertindak sesuai dengan kebaikan bersama - dengan kata lain, para penguasa yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi bukanlah pemimpin yang kuat. Sebaliknya, Platon mengusulkan negara harus diatur oleh para filsuf [memiliki fakultas akal budi] dan menjadi pencinta kebijaksanaan , yang merupakan arti dari kata Yunani, Philosophia.

Kepemimpinan adalah tugas raja - raja filsuf yang memperoleh teknik dan keterampilan untuk seni memerintah. Sebuah negara yang ideal, kata Platon, "tidak akan pernah bisa tumbuh menjadi kenyataan" sampai "para filsuf menjadi penguasa di dunia ini, atau sampai mereka yang sekarang kita sebut raja dan penguasa benar-benar dan benar-benar menjadi filsuf, dan dengan demikian kekuatan politik dan filsafat berada di tangan yang sama. Hanya para filsuf yang secara moral dan intelektual cocok untuk memerintah dan memimpin.

Para  filsuf dimaksudkan paham dan mampu melakukan kompetensi minimal pada tiga fakultas; Fakultas Supra Sensual, fakultas akal budi manusia, dan fakultas kesan indrawi menjadi tindakan nyata. Secara moral karena mereka tertarik dan memiliki hasrat untuk kebenaran dan belajar, sementara tidak menunjukkan minat pada godaan mendapatkan kekuatan demi kekuasaan. Secara intelektual karena mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang bentuk ideal dari kebajikan, keindahan, dan kebaikan.

Ke [2] Pencirian [Menteri atau Pejabat Negara Selevel Menteri] adalah Filsuf sebagai pemimpin. Kebajikan dan kebaikan adalah kunci pandangan Platon tentang kepemimpinan sebagai seni berkuasa . Para pemimpin dapat mencapai empat kebajikan utama: [a] Prudence (sebagai kebijaksanaan), [b] Keadilan (sebagai keadilan terbaik), [c] Temperance (sebagai moderasi  pengekangan), [d] Keberanian (sebagai ketabahan atau ketahanan). Kebaikan  mengacu pada tujuan akhir untuk memperoleh pengetahuan, karena tindakan yang "adil" menambah utilitas dan nilai bagi orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun