Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nazariah: Dari Tsunami ke Sokola Rimba

3 Mei 2015   16:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana seorang wanita dikatakan cantik?

Mungkin; wanita cantik itu harus tinggi, berat badan porposional, kulit halus, lembut tanpa terkena paparan matahari di siang terik, berpakaian seksi, ke salon dengan rutin, berlenggak-lenggok di atas catwalk dengan pakaian rapi dari desainer ternama, selalu menjadi pusat perhatian….

Mungkin; wanita ini tidak termasuk kategori cantik. Karena ia tidak cantik dari fisik, tinggi dan berat badan tidak menarik, terkesan lebih kurus, berpakaian kusut, rambut acak-acakan tak tersisir rutin, tidak sering memakai sepatu hak tinggi walau bisa mengenakannya dengan tertatih, dan tidak menarik minat pria pada pandangan pertama.

Wanita ini, seseorang yang kini dipandang sebagai guru tak diakui oleh pemerintah (pegawai negeri). Wanita ini memulai aktivitas kemanusiaan setelah tsunami menerjang Aceh 2004 silam. Wanita ini adalah lulusan D3 Jurusan Gigi Universitas Sumatera Utara. Wanita ini lahir di Aceh dan menghabiskan masa remaja hingga kuliah di Medan. Wanita tidak berpenampilan feminim ini lahir tanggal 21 April 1983. Cukup berumur untuk memulai sebuah rumah tangga dengan pria idaman, namun selalu saja ditolak oleh pria yang pernah dekat dengannya, baru kali ini akan berencana serius setelah bertualang di hutan belantara Jambi.

Wanita ini, Nazariah. Kami mengenalnya sebagai Shasa, sebuah nama terkeren dari nama asli wanita ini. Entah bagaimana Shasa jadi nama termenarik di indera pendengaran kami. Shasa pernah bekerja pada sebuah LSM di Aceh Barat, membantu di bidang kesehatan dan pendidikan, juga menjadi penyiar radio bentukan LSM yang kini almarhum karena pendanaan bergantung pada donatur.

Melupakan Aceh Barat yang telah mengajarinya begitu perih bencana Tsunami, Shasa menerbangkan badan tak bersayap ke hutan belantara Jambi. Shasa bergabung bersama mereka yang memiliki bersemangat juang tinggi, membelah rimbunnya pepohonan, mencapai pemukiman penduduk yang terisolir. Lembaga yang kini membuat hidup Shasa damai itu adalah Kominitas Konservasi Indonesia (KKI) – Warung Informasi Konservasi (WARSI). Sokola Rimba namanya. Sebuah lembaga pendidikan nonformal yang dibentuk oleh Butet Manurung. Benar sekali. Butet Manurung adalah penggagas sekolah ini di hutan Jambi, suku “primitif” yang buta aksara. Shasa termasuk salah seorang wanita yang meneruskan perjuangan Butet Manurung, mengenalkan huruf-huruf abjad dan mengajari tentang kehidupan sebenarnya, tentang dunia luar dari tempat orang-orang rimba bersemedi.

Dua tahun lebih Shasa melawan beratnya medan di hutan Jambi. Bersama lima orang fasilitator lainnya, Shasa mengarungi pohon-pohon tinggi, rawa-rawa, dinginnya udara di dalam hutan, susahnya berteduh saat hujan tiba-tiba mengejutkan mereka, langkah lelah menempuh berjalan kaki selama enam jam lebih, mencoba bertahan selama tiga minggu dalam sebulan di dalam hutan, berbekal nekad, keyakinan kuat bahwa anak-anak di sana akan mengubah nasib mereka setelah belajar darinya, belajar makan seadanya di dalam hutan dan menyesuaikan diri dengan masyarakat pribumi yang berbeda keyakinan dengan Shasa yang seorang muslimah.

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Sumber: Dokumentasi pribadi (Shasa)"][/caption]

Semua tantangan, kepedihan, kesedihan, malapetaka selama bersama orang rimba, mengajarkan Shasa arti hidup sebenarnya. Mengutip ungkapan Butet Manurung di tayangan Mata Najwa 02 Mei 2015, “Kehidupan orang rimba itu lucu, bekerja di bidang kemanusiaan itu sesuatu yang keren.” Butet memang telah lama tidak mengunjungi orang-orang rimba setelah tahun 2013. Butet meninggalkan orang-orang istimewa seperti Shasa dan para fasilitator yang lain.

Tidak mudah Shasa mengarungi hutan. Tidak gampang hidup di hutan dengan makanan seadanya, dari alam sekitar. Tidak mengenakkan bagi Shasa meninggalkan hiruk-pikuk perkotaan yang telah membesarkan dirinya. Di Medan, di Meulaboh juga, semua kebutuhan gampang Shasa dapatkan. Lapar tengah malam, masih banyak penjual makanan di pinggir jalan. Makanan halal dan haram semua dijual sesuai peraturan dan tertulis di kemasan. Di rimba ini, Shasa harus memilih, daging mana yang bisa dirinya konsumsi dan dikembalikan secara terhormat kepada masyarakat rimba yang mudah tersinggung.

[caption id="" align="aligncenter" width="252" caption="Sumber: Dokumentasi pribadi (Shasa)"]

Sumber: Dokumentasi pribadi (Shasa)
Sumber: Dokumentasi pribadi (Shasa)
[/caption]

Butet memang telah meninggalkan jejak terdalam bagi orang rimba. Beberapa dari mereka sudah fasih berbahasa Indonesia. Namun, Shasa mengakui, sebagian besar dari mereka belum bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dengan benar, belum mampu membedakan aksara dengan pasti, belum dapat menghitung dengan tepat, belum dapat membaca dengan lancar.

Perjalanan yang panjang – jauh dari harapan sukses – karena mereka belajar seadanya. Proses belajar mengajar tanpa kurikulum jelas (dari pemerintah), dijalani dengan senang hati, riang gembira, di tepi sungai mengalir tenang, di bawah pohon di mana matahari mengintip mesra, di bawah sensudungon (pondok kayu). Orang-orang rimba belajar sambil berenang, memancing, bermain-main permainan rakyat, tiada metode yang tepat mengajarkan mereka selain bersama alam, tiada batasan waktu dari pagi sampai siang, tiada peraturan jam pelajaran, kapan saja, di mana saja, suka-suka mereka, tergantung mood mereka, karena mereka ingin, mereka butuh, tidak bisa dipaksa oleh Shasa maupun keempat sahabatnya yang lain.

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Sumber: Dokumentasi pribadi (Shasa)"]

Sumber: Dokumentasi pribadi (Shasa)
Sumber: Dokumentasi pribadi (Shasa)
[/caption]

Orang-orang rimba itu, menetap di Taman Nasional Bukit Dua Belas, di jalan lintas Sumatera Barat dengan Jambi, kecamatan Pamenang. Kebanyakan dari murid Shasa adalah pria yang berusia lima sampai dua puluh tahun. Belum lama ini, Shasa girang gembira, ia takjub saat mendapati seorang murid wanita. Shasa semakin bersemangat mengajar. Melupakan kisah gemilang di perkotaan. Lupa dirinya memiliki smartphone yang terkoneksi media sosial. Di hutan itu, ia hanya bersama orang-orang rimba, tidak ada interaksi dengan dunia luar, tiada kejutan dari sahabat melalui panggilan telepon, tiada notifikasi pesan singkat masuk. Shasa berdamai dalam dirinya. Ia bersama mereka yang menyayanginya. Ia bersama mereka yang butuh uluran tangannya. Ia bersama mereka yang ingin mengubah hidup lebih baik. Ia bersama mereka yang membela kaumnya di tengah orang-orang yang berusaha mencuri kayu di hutan mereka. Ia bersama senyum cerah anak-anak rimba. Ia bersama semangat menggelora dari murid-murid yang datang tanpa pamrih, belajar tanpa mengharap nilai, belajar tanpa memedulikan kenaikan kelas, bahkan kelulusan Ujian Nasional. Mereka belajar saja. Menuntut ilmu seadanya. Bisa membaca sudah lebih dari cukup untuk mengarungi dunia luar. Jika pertemuan berpihak pada mereka, langkah kaki yang sudah kebal terhadap duri pasti akan menggagahi perkotaan Jambi, mereka akan dapat membedakan baik buruk kehidupan perkotaan.

Dan terbukti, sejak digagasnya Sokola Rimba tahun 1998, lebih kurang 410 orang rimba sudah bebas buta aksara, mereka dapat membaca. Kebanggaan lain datang kemudian, ketika orang-orang rimba diterima di sekolah formal, sesuatu yang menakjubkan bagi Shasa yang tidak memiliki gelar sarjana pendidikan. Orang-orang rimba sudah belajar di sekolah dasar sebanyak 53 orang, di sekolah menengah pertama sebanyak 18 orang dan satu orang di perguruan tinggi. Semoga terus bertambah dari tahun ke tahun.

Bukankah itu menarik?

Shasa tampil cantik saja di tengah gempuran daun-daun yang menghalangi sinar matahari. Wajar saja orang-orang rimba berkulit lebih gelap karena intensitas matahari di daerah ini kurang dari daerah lain. Cantik baginya adalah saat bermanfaat kepada orang banyak. Ia merasa hidupnya sempurna ketika seorang saja dari orang rimba mampu membaca. Ia mendapatkan ketenangan jiwa saat orang-orang rimba memanggilnya, “Ibu Guru Shasa!”. Ia lebih terharu saat orang-orang rimba menunggu kedatangannya di bulan berikutnya. Orang-orang rimba menunggu, karena mereka rindu!

***

*Ditulis berdasarkan cerita sebenarnya. Jika Anda berminat berteman dengan wanita inspiratif ini, silahkan berkunjung ke laman Facebooknya, Shasa Canina.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun