Siang yang begitu saja, berlalu dingin dalam gerimis. Rintiknya menitik sampai ke ujung rambutku, di tempat persinggahan depan sebuah bank swasta. Aku meratapi waktu yang berlari sangat pelan. Perut sudah tidak bisa diajak kompromi untuk segera diisi oleh secangkir teh atau sepotong roti saja. Orang-orang berlalu di bawah payung warna-warni. Aku tak bisa beranjak karena takut hidung cepat tersumbat jika terkena hujan.
“Pulang dari sekolah, Pak?” tanya ibu tua di samping kiri. Ia terlihat sangat kesusahan dengan anak kecil di pangkuannya.
“Betul,” jawabku. Orang-orang juga tahu tanpa menebak bahwa aku seorang guru. Seakan-akan, di wajahku terlihat jelas atau tertempel pasti sebuah plat merah, saya seorang guru.
Guru tak dianggap, ujarku dalam hati. Titel guru honor telah melekat sebagai profesi yang enggan untuk dijadikan panutan, bahkan dilabeli sampai istimewa. Aku berharap hidup lebih baik namun tak bisa kuraih dalam sekejap mata. Berlalu waktu aku merangkak ke titel demi titel kehidupan agar hidup benar-benar lebih baik menurut diriku sendiri. Mungkin ini telah sampai pada tahap putus asa, lantas aku harus bagaimana?
Gerimis masih merajalela. Di depan bank swasta itu keluar dua orang karyawan. Seorang dari menarik mantel dari dalam bagasi sepeda motor, seorang lagi berdiri menghadapku. Sesaat itu, napasku berhenti. Waktu bermetamorfosis menjadi kupu-kupu berwarna merah jambu lalu menjumpai rasa di relung hati terdalam.
Inikah saatnya untuk cintalagi?
***
Akhir semester yang kalut dengan nilai-nilai siswa, kami guru honor juga demikian sibuk dengan berkas-berkas fungsional. Surat-surat penting harus segera dilengkapi untuk dapat menembusi dua ratus lima puluh ribu perbulan dari pemerintah. Gaji yang tak seberapa bagi sebagian orang namun sangat berarti untuk kami.
“Kamu sudah punya print koran buku rekening?” tanya Ika, teman sesama guru honor sambil memperlihatkan print koran buku rekening bank.
“Saya belum,” dalam gamang aku mencari sisi hati yang tiba-tiba terasa gelap.
“Print terus sekarang, kami tunggu di kantor ya,” Santi menyarankan dengan bijaksana. Mereka lalu bergabung dengan Ros untuk melengkapi berkas yang lain. Mereka acuh terhadapku yang sulit mengungkapkan perasaan tentang rasa yang kupendam entah untuk apa. Mereka terlihat lelah dan bahagia karena hasil keringat dalam satu semester terbayar sudah.