Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Kemiskinan dan Kesyukuran

23 Februari 2017   19:00 Diperbarui: 24 Februari 2017   04:00 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Refleksi dari Kakek Pardi-Penjual gas kaleng dan isi ulang korek gas samping Lapangan UNY)

Sambil terkantuk-kantuk beliau masih setia menunggu beberapa kaleng gas isi ulang untuk kompor mini atau korek gas dagangannya. Beberapa kali hembusan asap dikeluarkan dari hisapan lentingan tembakau yang dibawa sebagai bekal. Raut tua itu menyiratkan kemiskinan di balik topi dan baju lusuh yang dikenakan. Dengan beralaskan banner bekas jadilah sebuah lapak sederhana sebagai jalan untuk mencari sesuap nasi.

Ini kali pertama saya melihat kakek tersebut berjualan di trotoar jalan samping lapangan bola UNY. Kemarin beberapa kali melewati jalan tersebut, namun tidak menemukan beliau berjualan di sana. Kakek Pardi, di usia senjanya masih istiqomah mencari nafkah di jalanan untuk makan sehari-harinya dengan berjualan gas untuk kompor mini dan isi ulang untuk korek gas.

Ketika saya menghampiri, dengan ramahnya menyapa, Dikiranya saya akan membeli gas atau isi ulang korek. Dengan meminta izin untuk numpang istirahat juga di sana sambil menemaninya menunggu, saya pun menanyakan harga barang-barang dari lapak yang. ditunggu tersebut. Satu kaleng gas untuk kompor mini berisi 225 ml dijual seharga 12 ribu, Padahal harga di minimarket dijual seharga 18 ribu. Lalu untuk isi ulang korek gas, beliau memasang tarif Rp. 1.000. Sedang untuk harga korek gasnya yaitu Rp. 2000.

Dengan ucapan yang tidak terlalu jelas sebab sudah tidak ada lagi gigi yang nampak di dalam mulutnya, mulailah beliau bercerita tentang dagangan tersebut. Kaleng-kaleng gas mini tersebut didapat dari pemberian kawannya yang juga mempunyai usaha untuk isi ulang gas kalengan. Beberapa juga didapat dari memungut bekas, atau pemberian orang-orang sekitar tempat tinggalnya yang menggunakan kompor mini dengan gas kalengan.

Kakek Pardi merupakan satu dari sekian banyak pejuang di jalanan untuk mendapatkan rizki agar dapat makan sehari-hari. Satu kaleng gas mini yang beliau jual seharga 12 ribu tersebut dia dapatkan dari kawannya tempat isi ulang seharga Rp. 10.500. Beliau hanya mengambil untung Rp. 1.500 dari satu kaleng. Sementara kalau kita membeli di minimarket harganya 18 ribu.

Lapak yang ditunggu tersebut hanya 7 kaleng saja, itu pun belum ada yang laku, ungkapnya. Pendapatan seharinya sangat tidak tentu, dan dia standarkan pendapatannya tersebut dengan satu piring nasi, atau dua piring, dengan menyebutkan satu piring seharga 5 ribu. Kadang dia nombok pula untuk makan jika tidak ada yang beli atau isi ulang korek. Kadang ada juga tetangga yang kasih makan, atau beberapa kali orang-orang yang lewat di jalan tempatnya menggelar lapak ada juga yang memberikannya makanan. Seperti siang itu dia menceritakan baru saja diberikan Lotek oleh salah seorang Mahasiswi UNY yang lewat di sana.

dok. pribadi : Gas merk yang sama seperti yang dijual di Minimarket
dok. pribadi : Gas merk yang sama seperti yang dijual di Minimarket
Dengan sepeda butut terparkir di samping lapaknya, beliau masih setia menunggu,  barangkali ada yang datang membeli atau isi ulang. Patokannya untuk pindah dari trotoar samping lapangan bola UNY tersebut jika jalan tersebut sudah panas, lalu akan pindah dekat shelter Transjogja yang di sana juga banyak lapak lainnya, dari dagang kaca mata atau aksesoris-akseosoris. Barulah ketika adzan ashar beliau pindah lapak lagi ke jalur arahnya pulang, dengan terlebih dahulu ke masjid untuk shalat ashar.

Beliau menyebutkan tinggal di Gowok, wilayah perkampungan di belakang Ambarukmo Plaza. Tinggal seorang diri karena Ibu (beliau menyebut istrinya) sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sementara 2 anak lakinya merantau ke Jakarta dan satunya lagi di Bogor. Anak pertamanya beliau ceritakan bekerja di Elektronik, sementara adeknya bekerja di Pabrik. Ketika saya tanyakan apakah mereka sering pulang, dengan raut wajah agak kecewa beliau menceritakan sudah 2 kali lebaran kedua anaknya tidak pulang. Begitu juga kiriman uang jarang beliau dapatkan dari mereka, bahkan kabar pun cukup jarang untuk saling tahu. Sementara ketika ada kiriman uang, biasanya  dititipkan lewat saudara, ungkap beliau.

Hasil berjualan gas kaleng dan isi ulang korek tersebut hanya cukup untuk makan sehari itu, malah kadang beliau nombok jika sepi. Bisa dibayangkn, satu kaleng yang hanya untung Rp. 1.500 beliau harus  duduk menunggu berjam-jam lapaknya dengan beralaskan banner bekas tersebut. Banyak orang lalu lalang tak peduli keberadaan kakek Pardi tersebut, sebab begitu banyaknya orang yang bernasib serupa di kota ini.

Kakek Pardi yang masa muda beliau ceritakan dulu sempat sebagai buruh bangunan, penjual es keliling ke sekolah-sekolah dengan mendorong gerobak. Kini tak mampu lagi untuk menekuni pekerjaan berat seperti itu, dan sekarang hanya ini usaha yang mampu beliau lakukan, di saat usia senja yang seharusnya beliau nikmati. Akan tetapi nilai dari kerja yang beliau lakukan ini sungguh menggugah hati saya pribadi. Beliau untuk mendapatkan untung Rp. 1.500 harus menunggu cukup lama, sementara saya/kita bisa menghabiskan berpuluh-puluh ribu hanya dalam beberapa menit duduk ngobrol di tempat makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun