Mohon tunggu...
Mikchel Naibaho
Mikchel Naibaho Mohon Tunggu... Novelis - Pembaca. Penjelajah. Penulis

Pegawai Negeri yang Ingin Jadi Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Panjang Menuju Tuhan

11 Maret 2018   12:17 Diperbarui: 11 Maret 2018   12:29 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tuhan tak akan membawaku sejauh ini hanya untuk meninggalkan aku," katamu lirih mengulang kutipan yang kau dapat dari film. Kau masih percaya padaNya meski sial demi sial menghampiri hidupmu. Sebenarnya aku ingin mendebat, tetapi demi kau yang terbaring lemah, aku diam. Tertunduk. Tak berani menatapmu.

Sesungguhnya, aku juga masih percaya Dia. Tetapi untuk hal-hal kecil dalam hidup kita, aku tak melibatkanNya. Dia terlalu besar untuk mengurusi pilihan menjadi orang kaya atau miskin. Dia terlalu besar untuk mengurusi bersin atau batuk. Dia terlalu besar -- ah, entahlah. Bicara tentang Dia tak akan ada habisnya.

Saat itu aku hanya ingin bicara tentang kita yang akan berpisah. Tentang adat yang selalu membuat kita berdebat, tentang orang-orang kampung yang senang dengan kebiasaannya yang membingungkan, atau tentang pemerintah yang belakangan ini kebijakannya membuatmu puas.

Namun kau begitu semangat bicara tentang Dia. Dan seperti biasa, kita tak pernah sepaham.

"Seorang nabi pun tak pernah diterima di tanah kelahirannya," katamu membuat pembelaan. Pembelaan yang keren, menurutku. Itu adalah pembelaanmu paling keren selama kita berdebat. Sebuah analogi yang tepat -- meski tak benar, untuk menggambarkan keadaanmu di rumah kita.

Kami, anak-anakmu, bukannya tak menerima segala apa yang kau nasihatkan. "Kita hanya punya pandangan yang berbeda. Kami sekolah di beberapa daerah dengan lingkungan yang berbeda pula. Pasti kami memiliki pandangan yang berbeda tentang Tuhan dan kuasaNya," kataku perlahan. Kali ini aku memilih kata dengan hati-hati. Takut salah, dan menyakiti hatimu.

Kau tertawa kecil. Matamu mengisyaratkan ketidaksetujuan. Mungkin kau ingin mengatakan, "Tuhan sama dimana pun. Dia adalah awal dan akhir." Kata-kata itu muncul begitu saja di kepalaku. Pasti itu karena sangat sering kau katakan.

"Harusnya Bapak bangga pada kami. Kami bisa memilih jalan masing-masing dengan yakin, tanpa paksaan yang lain. Tuhan pun tak pernah memaksa kita, bukan?"

"Ya, aku bangga. Aku bangga pada kalian. Aku tak mengeluhkan apa-apa. Aku hanya ingin bercerita. Aku hanya ingin kalian tahu betapa Tuhan sudah berbuat baik dalam hidup kita," kau diam sejenak. Menarik nafas. Sorot matamu menjelaskan padaku bahwa kau berkelana ke masa lalu. Masa yang sangat jauh. Mungkin ketika kau masih kecil dan mengenal Tuhan yang begitu baik, atau masa dimana kau bertemu Tuhan dengan cobaan-cobaannya yang memilukan.

Suasana rumah sakit yang penuh haru, menambah rasa yang bercampur aduk di antara kita. Aku ingin menangis, tetapi di saat yang sama, ingin membuatmu tetap kuat. Tetap bersemangat menjalani hidup. Kau masih terlalu muda untuk pergi selamanya. Atau mungkin alasan yang paling tepat, nasihatmu masih kami butuhkan -- tapi kami malu mengatakannya.

"Tuhan mengasihi kita," gumammu setelah perjalanan panjang ke masa lalumu. Masa bersama Tuhan dengan segala karuniaNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun