Mohon tunggu...
Happy Chappy
Happy Chappy Mohon Tunggu... -

Kebenaran harus ditegakkan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Antara Menyentuh dan Menyuruh: Anies vs Ahok

24 Februari 2017   12:23 Diperbarui: 24 Februari 2017   12:35 1702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://kumparan.com/rachmadin-ismail

Pemimpin, perlu merasakan langsung bagaimana kehidupan dan penderitaan rakyatnya di bawah. Idealnya, ketika rakyat di bawah hanya makan tahu tempe, pemimpin harus tahu rasanya makan hanya dengan tahu tempe. Ketika rakyat yang dipimpinnya kedinginan karena banjir yang melanda, pemimpin harus ikut merasakan dingin air banjir, dan tentu saja memberikan “peluk hangat” kepada warga sebagai momentum menyemangati dan menguatkan. Lalu setelah itu, mulai bergerak secara administratif sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan kewenangannya sebagai pemimpin untuk membuat kebijakan.

Dulu, ketika masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, kita disajikan pemandangan menarik: Jokowi rutin melakukan blusukan, memasuki got dan gorong-gorong, bahkan ketika Jakarta dihantam banjir luar biasa (saat bundaran HI menjadi kolam seketika), Jokowi ikut turun langsung, memasuki gedung-gedung melalui perahu (ketika itu, kalau tidak salah gedung UOB). Jokowi adalah tipe pemimpin yang tidak terlalu suka meminta dan menunggu laporan di atas meja.

Dalam konteks ini, menarik untuk membandingkan bagaimana perilaku, gaya dan cara calon gubernur DKI Jakarta (yang lolos pada babak selanjutnya), terutama ketika dihadapkan dengan banjir yang sempat membuat “muram” wajah Jakarta kemarin.

Anies Baswedan turun langsung menyusuri lokasi banjir dengan naik perahu karet di wilayah Cipinang Melayu. Ia bahkan “menyentuh” langsung banjir yang menggenang di rumah-rumah warga. Berjalan di tengah air untuk menyapa warga, tanpa menghiraukan cuaca yang sedang hujan deras. Anies merasakan langsung apa yang dirasakan oleh warga terdampak banjir. Mencari tahu beberapa informasi, langsung dari warga yang ditemuinya. Kemudian, ia juga mengunjungi lokasi pengungsian korban banjir di Masjid Universitas Borobudur untuk melihat kondisi para pengungsi banjir.

Keesokan harinya, Anies kembali mengunjungi daerah terdampak banjir, tepatnya di Kelurahan Rawa Jati, Pancoran, Jaksel. Ia juga memilih untuk terjun langsung, “menyentuh” sesuatu yang dirasakan oleh warga secara langsung untuk lebih mendekatkan diri dan menyapa mereka. Ia kemudian mengatakan, bahwa setiap kebutuhan yang diperlukan harus dicatat dan didata terlebih dahulu, sehingga tidak memberikan sesuatu yang tidak dibutuhkan.

Sementara Ahok juga menyempatkan diri untuk mengunjungi warga yang terdampak banjir di Cipinan Melayu. Ahok lebih memilih berdiskusi dengan dinas-dinas terkait dibandingkan terjun langsung merasakan banjir dengan alasan perahu karet tersebut lebih baik digunakan untuk evakuasi warga daripada mengangkutnya bersama pejabat lainnya. Lalu, ia sempat melayani foto bareng dengan warga dan PPSU.

Pada kesempatan itu, Ahok sempat membicarakan pentingnya mempunyai sertifikat tanah. Lalu, ia menjelaskan alasan lamanya banjir kali ini surut karena rumah warga sama tingginya dengan sungai sehingga, menurutnya, Jakarta memerlukan tanggul untuk menangkal air laut supaya tidak masuk ke Jakarta.

Artinya, ada dua gaya kepemimpinan berbeda dan sangat kontras. Yang satu lebih cenderung untuk “menyentuh” secara langsung, sementara yang satunya lebih cenderung “menyuruh”. Anies merasakan langsung apa yang dirasakan, sementara Ahok melihat langsung apa yang terjadi. Keduanya, tentu mempunyai implikasi makna dan efek yang berbeda. Apa yang dilakukan Anies, lebih cocok kalau disamakan dengan gaya Jokowi, sementara Ahok tetap setia dengan gayanya yang sangat “administratif”. Anies memilih untuk merasakan apa yang terjadi di lapangan lalu membuat keputusan apa yang akan dilakukan dan diperlukan untuk bantuan, sementara Ahok berbicara solusi tanpa pernah menyentuh air banjir yang mengalir ke segala sisi.

Ahok bahkan berbicara tentang (menyuruh untuk memiliki) sertifikat tanah, yang sebenarnya (secara substantif) tidak ada korelasinya dengan banjir ketika itu (atau jangan-jangan ketika banjir pun ia masih kepikiran untuk menggusur), serta tentang tanggul di Jakarta yang menjadi sebuah keniscayaan untuk menangkal masuknya air laut ke Jakarta. Tapi, bagaimana kalau air yang di Jakarta tidak bisa ke luar ke laut? Pertanyaan ini, sah-saha saja tentunya.

Anies yang merasakan langsung, tubuh dan bajunya kuyup oleh air hujan dan banjir, sementara Ahok tetap gagah dengan pakaian klimisnya. Anies lebih mimilih untuk melakukan yang substantif ketika itu,sementara Ahok mengeluarkan komentar-komentar yang justeru memperkeruh, seperti kemungkinan adanya yang pihak yang sengaja menginginkan Jakarta banjir (bahasanya sabotase).

Ini bukan tentang siapa akan memilih siapa, tapi lebih pada siapa yang melakukan hal yang tepat pada kondisi seperti apa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun