Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak Mahakam (2)

1 Mei 2018   08:36 Diperbarui: 1 Mei 2018   09:41 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: Nasional Tempo.co

Kegembiraan kami berenang di anak sungai Mahakam tidak berlangsung lama.  Karena semakin hari air sungai Karang Mumus semakin kotor, kami sudah malas untuk berenang di sana.    Hanya Hadi yang masih berani berenang di sana, mungkin kulitanya lebih tebal dari kami semua.   Saya dan Eka terakhir berenang di sana sampai gatal-gatal.   Sudah begitu air di anak sungai Mahakam tersebut semakin bau.  Endapan lumpurnya dulu hanya sebetis.  Sekarang sudah sampai sepaha.

Keceriaan Hadi juga berkurang.   Biasanya kami ikut berenang, kini hanya menonton saja di atas jembatan kayu.  

"Bagaimana kalau kita berenang di Sungai Mahakam?" usul Hadi.

"Apa tidak ngeri berenang di sana.  Selain ombaknya besar, airnya juga dalam lho," Iyan sepertinya sudah ketakutan duluan.   Di Karang Mumus saja Iyan takut berenang apalagi di sungai Mahakam yang lebih besar.

"Boleh juga, Di.  Bagaimana kalau hari Minggu kita ke sana?"

"Iya, kita ke sana naik sepeda beramai-ramai," imbuh Eka.

"Boleh juga, Yud.  Hari minggu kita berenai di Sungai Mahakam."  

Minggunya kami berempat bersepeda menuju pinggiran sungai Mahakam, dekat dengan kantor Gubernur Kalimantan Timur atau orang lebih suka menyebutnya Gubernuran.  Kebetulan di sana ada jajaran gelondongan kayu yang jumlahnya puluhan.   Kami sepakat untuk berenang di sana.  Hadi dan Eka begitu bersemangat untuk berenang.   Hadi bahkan sempat salto ketika terjun ke sungai.   Saya juga dengan semangat ikut turun ke sungai. Iyan hanya berdiri di pinggir jalan menjaga sepeda kami.  

Hadi berenang menuju tempat gelondongan kayu, ia naik ke atasnya. Lalu ia melompat kembali ke dalam sungai.   Eka juga ikut-ikutan.    Ia ikut naik ke gelondongan kayu dan melompat dengan riang.

"Eka saja bisa, masa saya tidak berani."

Ketika hendak menuju ke gelondongan kayu, tiba-tiba saja permukaan lumpur yang dipinjaknya  ada palungan.   Saya terpeleset hingga tenggelam tempat dibawah gelondongan kayu yang begitu besar.   Tiba-tiba pandanganku gelap.  Tidak bisa melihat apa-apa di dalam sungai.  Saya berusaha mencari jalan untuk naik ke permukaan tetapi persis di atas kepala adalah gelondangan kayu.  Secara refleks saya mencari cahaya.   Di kejauhan terlihat ada sinar matahari yang masuk menembus sungai.   Saya berenang menuju ke sana.   Rupanya diantara jajaran gelondongan kayu ada celah diantaranya selebar badanku.   Saya bisa naik ke permukaan dengan berpegangan pada tali yang mengikat gelondongan kayu tersebut.   Saya naik dengan susah payah.    Ternyata saya menyelam cukup jauh dari lokasi tenggelam tadi.   Saya melihat ke kiri dan kanan, ikatan antar gelondongan kayu yang lain begitu rapat.  Hanya tempat saya tadi naik yang celah cukup lebar.   Mungkin kalau tadi tidak ada celah itu saya mati tenggelam di sungai Mahakam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun