Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Honorer, Benang Kusut yang Sulit Diurai?

5 Mei 2019   06:39 Diperbarui: 6 Mei 2019   12:58 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Soreang.com)

Hari Pendidikan Nasional adalah momentum refleksi perjalanan pendidikan Indonesia. Dalam rangkaian refleksi itu, tentu guru menjadi perhatian kita semua selain sistem pendidikan, anak didik dan para pemangku kepentingan.

Tentang guru yang menjadi perdebatan saat ini adalah keberadaan para guru honorer. Mereka rela digaji di bawah standar UMR bahkan ada yang rela terima gaji per triwulan.

Keadaan ini menjadi dilema bagi para guru honorer. Di satu sisi mereka hendak meninggalkan profesi ini, tapi bersamaan dengan itu mereka takut tidak mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik dari yang ada. Ada pula yang   mempertimbangkan latar belakang pendidikan sehingga mereka tak mau berpaling ke profesi lain. Karena itu, berprofesi sebagai  pengajar dengan gaji seadanya menjadi sebuah pertaruhan antara hidup dan mati sang guru honorer.

Potret Guru Honorer di NTT

Dilema ini sering kita jumpai para guru honorer di kampung-kampung. Mereka digaji sangat kecil. Itupun gaji  dibayar secara nyicil.  Kompas.com (Rabu, 25/11/2015), pernah melansir berita guru honorer di pedalaman NTT yang hanya digaji seratus ribu rupiah. Mereka adalah Adrianus Maneno, Petronela Kenjam, dan Meliana Eba. Mereka digaji senilai harga beras sepuluh kilogram itu, tetapi semangat mereka untuk mengajar tak pernah pudar.

Apa yang hendak dicari ketiga guru tersebut? Uang? Itu tak mungkin. Gaji segitu saja. Menurut pengakuan mereka apa yang dilakukan hanya karena semangat pengabdian mereka kepada anak-anak di kampung di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan. Untuk menambah penghasilan, mereka harus membuka kios kecil-kecilan di rumah orang tua asuh masing-masing.

Kisah guru-guru di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan bukanlah satu-satunya kisah pilu dunia pendidikan yang terjadi di beranda selatan negeri ini. Di Flores, tepatnya di Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, mengalami hal serupa (Kompas.com, 02/2019). Kesembilan guru di sebuah SMPN hanya menerima insentif Rp. 85.000.

Apa yang dibayangkan di benak pembaca? Dengan jumlah uang sebesar itu tak mampu membiayai seluruh kebutuhan hidup para guru. Sama dengan kisah guru di TTS, mereka memiliki alasan yang serupa, semata-mata mereka lakukan untuk mencerdaskan anak bangsa.

Apa dan Siapa yang Salah?

Dua kisah guru honorer di atas hanya dua kasus dan masih banyak kasus lain yang terjadi di seantero negeri ini. Masih banyak kisah-kisah yang miris dan memprihatinkan. Lalu, pertanyaan kita, siapakah yang harus bertanggungjawab?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, penulis mengamati ada sesuatu yang salah dengan sistem perekrutan guru honorer. Pihak sekolah merekrut tenaga guru secara sepihak tanpa mempertimbangkan dari berbagai aspek seperti sumber pembiayaan dan rasio guru terhadap siswa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun