Mohon tunggu...
DEDI KURNIA SYAH | AZRA
DEDI KURNIA SYAH | AZRA Mohon Tunggu... profesional -

Telah menulis setidaknya lebih dari 5 buku bertema Komunikasi, Politik dan Demokrasi. Saat ini sedang menyelesaikan studi Doktoral di Universitas Sahid Jakarta.\r\n\r\nPhone: 085691036450 BBM: 7DF132BB

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU Pilkada vs Politik Sandera

30 September 2014   23:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:53 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14120705201636430425

Perebutan kekuasaan atas nama rakyat mencirikan absurditas politik -pic:blogdetik.com

Alam telah menempatkan manusia di bawah pemeritahan dua kekuasaan yang berdaulat: Penderitaan dan Kesenangan. Alam telah menunjukan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan kemudian (Bentham, Introduction to the Principles of Morals and Legislation). Dua kekuasaan yang berdaulat antara kesenangan dan penderitaan, perpaduan yang khas menunjukkan iklim pemerintahan demokrasi Indonesia saat ini.

Komunikasi, turut serta menyumbang vibrasi iklim demokrasi. Bagi Jurgen Habermas, apa yang disebutnya sebagai Communication action merupakan pembangun masyarakat kolektif dalam multikulturalisme era demokrasi. Telaah kaum romantisisme, sebagaimana mengutip Henry Schamandt dalam the History of Political Philosophy (1990)menjelaskan adanya kesanggupan membiaskan realitas derita menjadi ilusi membangun kesenangan.

Romantisime memberikan argumentasi bahwa demokrasi sejatinya ruang terbaik bagi sistem politik sebuah negara, tetapi persoalan mendasar adalah apakah bangunan demokrasi tersebut ilusi atau realitas. Sisi komunikatif dalam demokrasi selalu membawa kobaran api yang jauh berbeda dengan realitas. Kemiskinan yang tampak secara kasat mata, dialihkan menjadi negara yang subur, melimpah ruah hasil alam, dan optimisme terhadap pembangunan rasional.

Rasanya, artikulasi pesan dan kontekstualisasinya menghimpun romantisisme tersendiri bagi publik. Sehingga, komunikasi sangat berperan dalam iklim demokrasi deliberatif Indonesia. Baru saja, kita sama-sama saksikan bagaimana pertarungan wacana antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) untuk selamatkan demokrasi.

Negarawan Tertawan

Melalui sidang dramatis, sekira 10 jam anggota legislatif Nasional (DPR RI) beradu argumentasi untuk menyelematkan Demokrasi Indonesia. Terbagi atas dua faksi, satu tujuan. Koalisi Merah Putih (KMP) yang dipimpin Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pimpinan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P). Keduanya melakukan klaim memperjuangakan Demokrasi.

Demokrasi yang bagaimana hingga menimbulkan pergolakan yang begitu rumit, bertarung wacana antara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh Warga Negara, atau, Pilkada melalui perwakilan permusyawaratan DPRD. Apakah benar keduanya “memperjuangkan” demokrasi? Atau hanya berjuang demi absurditas politik?

Saat gempita rapat itu disiarkan melalui televisi hingga larut malam. Semula, suara sembilan fraksi di DPR masih terpecah, antara mendukung atau menolak. Tentu yang kita saksikan adalah front stage dari seluruh pemeranan politisi Senayan. Banyak tokoh, pahlawan, atagonis, protagonis, membaur jadi satu adegan dinais yang kemudian kita sebut “Sidang”.

Walk Out! Partai Demokrat yang sebelumnya diprediksi mendukung kubu KIH, secara mengejutkan dengan aksi walkout dalam situasi genting. Pecundang? Memang, walkout sama halnya dengan Golput, tidak berazas tanggungjawab yang berkeadilan. Mereka, dipilih konstituen, mewakili seluruh rakyat Indonesia untuk berbicara, mementingkan kepentingan publik di atas kepentinga golongan apapun. Bukan untuk walkout.

Dalam rumusan komunikasi politik, kondisi ini tentu ganjil, banyak pergunjingan perihal apa yang melatari semangat KMP untuk mengembalikan sistem demokrasi seperti 16 tahun yang lalu, setelah keringat mengucur dari aktifis reformasi yang menginginkan adanya ruang artikulasi kepentingan publik.

Kita catat bersama, fraksi yang mendukung pilkada melalui DPRD yaitu Fraksi Partai Golkar, PAN, PPP, Gerindra dan PKS. Sementara Fraksi PDIP, PKB dan Hanura mendukung pilkada langsung. Sementara, satu partai politik yang tertawan antara “menjadi” pahlawan atau pecundang adalah fraksi Demokrat. Meskipun, sebelumnya mendukung pilkada langsung tetapi mengajukan 10 syarat, antara lain dilakukan uji publik untuk melihat kompetensi dan integritas calon kepala daerah oleh DPRD, efisiensi biaya pilkada, larangan politik uang dan imbalan.

Mulia memang, tetapi apa pasal kemudian walkout menjadi keputusan akhir dan menjadi kunci suksesnya pembonsaian demokrasi lokal. Dalam pembahasan RUU Pilkada juga mengemuka masalah pencegahan dinasti politik, yaitu larangan suami, istri , atau anak kepala daerah petahana untuk mencalonkan diri.

Sidang yang dipimpinan oleh Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengusulkan untuk dilakukan lobi antar pimpinan. Apa ini, lobi untuk menentukan win-win solution? Atau memperjelas siapa mendapat apa dan seberapa? Padahal, polemik terkait Pilkada sudah begitu jelas tercantum –meskipun tidak sempurna— dalam UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dari sana, kita bisa melihat adanya proses demokrasi yang mulai terayun senja.

Kemenagan “Pertarungan”

Saat ini, kita berharap semoga sidang yang dihadiri 500 orang dari total 560 orang semalam adalah langkah baik untuk kebaikan bersama. Rakyat sudah jengah dengan tingkah polah penguasa negeri ini, kian hari kian menggelikan, sesekali menjengkelkan.

Gerindra, berhak merayakan kemenangan 'pertarungan' politik dalam proses legislasi di DPR. Setelah UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), koalisi pendukung Prabowo-Hatta berhasil memenangkan opsi Pilkada melalui DPRD dalam pengesahan RUU Pilkada. Anggota KMP dari PKS, Hidayat Nur Wahid menyebut kemenangan lewat voting RUU Pilkada menunjukkan soliditas parpol di barisan koalisinya. Sekali lagi, soliditas koalisi, bukan soliditas amanah!

Barangkali, Hidayat Nur Wahid lupa jika tidak semua politisi “sebaik” dirinya. Dengan pilkada melalui perwakilan parlemen. Cenderung menciptakan arogansi politik karena beban kuasa yang bertambah. Pemakzulan, adalah salah satu kekhawatiran rakyat. bagi kalangan terdidik. Tentu merasa ini penting untuk dipertimbangkan.

Bayangkan, Gubernur semisal Basuki Tjahaja Purna (Ahok), dengan kompetensi dan kualitas demikian. Tetapi, tidak membuat senang parlemen, maka akan muncul like or dislike. Bukan mendasar pada kualitas. Sebaliknya, ada kepala daerah, 20 tahun, anak dari kepala daerah terdahulu. Tidak mengerti apa-apa tentang kinerja jabatan publik. Tetapi, pandai menyenangkan parlemen, maka jadilah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun