Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peluit untuk Warga Waduk Pluit

17 Mei 2013   13:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignright" width="353" caption="Priittt..!!!"][/caption] Jakarta. Sebagaimana ibukota pada umumnya, kota berpelabuhan ini kaya dengan ragam penduduk, baik suku, budaya, bahasa, ataupun daerah asal. Seiring laju pembangunan dan sejarah modernisasi Indonesia, kota ini lambat laun berubah dari "kampung besar" menjadi kota megapolitan yang terdiri atas kemajemukan kepentingan--terutama (kepentingan) ekonomi. Sepanjang tahun, orang-orang dari berbagai daerah datang berduyun-duyun ke Jakarta dengan harapan hampir serupa: memperoleh penghidupan yang lebih baik. Pertambahan jumlah penduduk yang tak diimbangi (tentunya) oleh penambahan luas wilayah, menjadikan Jakarta menjadi salah satu kota terpadat di dunia. Dan, dampak ikutannya jelas: orang-orang yang hanya datang membawa harapan atau sedikit modal memaksakan diri untuk tinggal berdesakan di perkampungan-perkampungan pada penduduk. Karena tak mendapat akses air bersih dari perusahaan air daerah, bantaran sungai dan waduk yang dekat dengan air, meskipun kemungkinan besar airnya tak layak pakai, menjadi pilihan. Dan, dengan kinerja aparatur pemerintah daerah yang (dulu) lebih suka menerima laba tak halal daripada menjaga properti milik pemerintah daerah, tak mengherankan jika lahan-lahan yang seharusnya tak boleh ditempati justru berkembang menjadi pusat-pusat pemukiman padat penduduk. Salah satunya, bantaran Waduk Pluit--ada yang mengaku telah tinggal di sana selama 20 tahun. Nah, permasalahan mulai timbul ketika pemerintah merasa perlu untuk menggunakan lahan-lahan tersebut. Hal-hal seperti ini tak cuma terjadi di era Jokowi, melainkan sudah lazim terjadi di berbagai wilayah di negeri ini. Di masa lalu, pemerintah pusat ataupun daerah biasanya hanya memberikan solusi tunggal dan satu arah untuk permasalahan ini, yakni penggusuran. Akan tetapi, Pemerintah Provinsi DKI kali ini rupanya memiliki pendekatan yang berbeda. Sebagaimana berulangkali disampaikan oleh Jokowi ataupun Basuki, para pemukin ilegal di bantaran waduk Pluit takkan diusir begitu saja (meskipun itu sah-sah saja dilakukan), melainkan diberikan tempat tinggal yang lebih baik di rusunawa-rusunawa yang sangat murah biaya sewa bulanannya. Akan tetapi, kemurahan hati Jokowi dan Basuki justru dimanfaatkan oleh sebagian warga. Air susu dibalas air tuba. Sudah dikasih hati, masih saja meminta ampela. Bukannya berterima kasih dan mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi DKI dengan segera mendaftarkan diri menjadi warga rusunawa yang bahkan sudah dilengkapi dengan mebel, televisi, dan kulkas, mereka malah terus menolak dipindahkan dan bersikeras meminta ganti rugi yang besarannya sebesar Rp 3 juta per meter untuk tanah yang notabene bukan milik mereka. Ada lagi sebagian penduduk yang menolak pindah dengan alasan rusunawa yang disediakan jauh lokasinya dari tempat kerja mereka. Padahal, Pemerintah DKI juga telah menyediakan sarana transportasi gratis bagi warga waduk yang mau pindah ke rusun. Selain itu, moda transportasi di kota semaju Jakarta tentu tak selangka di daerah-daerah terpencil di negeri ini. Saya sendiri memiliki teman-teman yang tiap hari berangkat dan pulang kantor di Jakarta dari dan ke tempat tinggal mereka di Bekasi dan Bogor. Sejauh apa sih, jarak rusunawa yang disediakan ke tempat kerja mereka? Sebagian penduduk bahkan seolah tak tahu malu melaporkankan Pemerintah Provinsi DKI ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang ironisnya diterima dengan senang hati oleh para komisioner di sana. Bahu-membahu, mereka menuding Jokowi dan Basuki melanggar HAM warga (ilegal) waduk Pluit. Para komisioner di Komnas HAM, sejauh yang saya amati dari pemberitaan media, tak menunjukkan sikap yang arif dalam menelaah permasalahan di bantaran waduk Pluit tersebut. Sebaliknya, mereka justru bertindak seperti LSM gadungan yang asal tuding, menjadi "pengacara" bagi para penjarah tanah negara! Dengan jumawa Komnas HAM memanggil Jokowi terkait permasalahan ini. Sangat mengherankan bagi saya, karena selama ini saya belum pernah mendengar Komnas HAM memanggil Walikota Bogor terkait GKI Yasmin, atau Walikota Bekasi terkait HKBP Filadelfia dan Ahmadiyah, atau Bupati Sampang terkait umat Syiah di sana. Saya suka mengamati kolom-kolom komentar di portal-portal berita online, yang salah satu pemberitaannya mengenai "ontran-ontran" di bantaran waduk Pluit ini, dan uniknya, mayoritas komentator mendukung kebijakan Jokowi-Basuki serta "menyumprit" warga waduk Pluit yang terus melakukan penolakan. Mengapa unik? Karena sangat jarang, bahkan mungkin belum pernah ada, dukungan diberikan kepada "status quo" seperti ini. Mungkin karena masyarakat (atau setidaknya, para penanggap berita) tahu betul, bahwa jika waduk Pluit tak segera dinormalisasi, Jakarta akan makin "tenggelam" tiap musim penghujan datang. Baru-baru ini, warga waduk Pluit yang masih bertahan konon patungan membelikan tiket "pulang kampung" kepada Basuki ke Belitung. Mereka, para penghuni ilegal bantaran waduk Pluit yang hampir tidak mungkin penduduk asli Jakarta, berasumsi bahwa Basuki itu pendatang yang tinggal tak lebih lama dibanding mereka. Sebuah asumsi yang salah kaprah, karena sang Wakil Gubernur justru telah tinggal di jakarta jauh lebih lama dibandingkan mereka. Kondisi seperti ini tentu saja tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah Provinsi DKI harus bersikap lebih tegas lagi terhadap perongrong kesejahteraan warga kota Jakarta itu. Dengan memaksa tetap tinggal di sana (dan selama ini sengaja menempati bantaran waduk yang berfungsi mencegah banjir), sama saja mereka lebih mementingkan diri daripada sepuluh juta penduduk Jakarta lainnya yang "ketar-ketir" hatinya tiap kali hujan tiba. Penolakan demi penolakan yang mereka lakukan tentunya memperlambat proses normalisasi waduk yang makin menyempit. Oleh karena itu, sudah waktunya Pemprov DKI beserta jutaan warga Jakarta yang mendukung kebijakan normalisasi meniup peluit dan memberikan kartu merah untuk warga waduk Pluit. Priiitt!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun