Mohon tunggu...
Ayfal Nisfa
Ayfal Nisfa Mohon Tunggu... -

Menuang Sebatas Angan... baru sebatas kereta

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Untuk Bertahan Hidup, 'Mbah Sripah' Terpaksa Meminta-minta

5 April 2012   06:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:01 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1333626382200789595

[caption id="attachment_180242" align="aligncenter" width="423" caption="Mbah Sripah, di usia senja masih kuat melakukan perjalanan jauh untuk mengais rezeki."][/caption] Dalam sebuah perjalanan dari Stasiun Babat menuju terminal Jombang, sudah beberapa kali di dalam bus Jurusan Tuban-Jombang aku memperhatikan sosok  nenek renta, mengenakan kerudung dan selalu membawa tongkat di tangannya. Namun, baru sekitar seminggu yang lalu  aku punya kesempatan untuk sedikit  berbincang-bincang dengan beliau, kebetulan duduknya bersebelahan denganku dan baru kutahu... mbah Sripah namanya.. (kalau gak salah dengar) Aku : "Mbah... badhe tindak pundi?" (mau ke mana, mbah) Si mbah : "Badhe teng Jombang, nak?  " ( ke Jombang) Aku : "wonten keperluan  menopo, mbah, kok sering dateng Jombang" (ada keperluan apa, kok sering ke Jombang) Si mbah : "Badhe nyuwun-nyuwun, nak" (mau minta-minta) Aku : "Biasanipun ngantos jam pinten, lan sedinten saged angsal pinten,  mbah?" (biasanya pulang jam berapa, dan sehari bisa dapat uang berapa) Si mbah : "Mboten mesti, nak, kadang ngantos jam kaleh, angsal kaleh doso pun cekap damel tumbas beras, nggih wangsul, kersane saged Dhuhuran wonten griyo. Sinten maleh, mboten wonten sing madosne artha, nggih pados kiyambak" (Tidak tentu, nak, jam dua siang, dapat 20 ribu atau sudah cukup untuk beli beras, ya sudah pulang supaya bisa sholat Dhuhur di rumah. Karena tidak ada yang mencukupi, ya mbah cari uang sendiri) Aku : "Wonten griyo menopo piyambakan? Menopo mboten wonten rencangipun, putra utawi wayahipun?" (di rumah apa sendirian, apa tidak  anak atau cucu yang menemani) Si mbah : "nduwe anak saking pundi, nak, lha wong dereng tau nduwe bojo" ( anak dari mana, lha belum pernah punya suami) Aku : "Menopo si Mbah mboten angsal jatah beras saking kantor dusun"? (apa tidak pernah mendapatkan jatah raskin dari kantor desa) Si mbah : "mboten tau, nak, nggih tumbas kiyambak, Sekilo pitung ewu, karo lengo gas sebotol aqua cilik  enem ewu pun saged damel 3 dinten. Kadang menawi wonten tetanggi sing nyukani, nggih mboten budal nyuwun-nyuwun maleh" (tidak pernah dapat jatah, ya beli sendiri, sekilo beras Rp 7.000, dan minyak tanah sebotol aqua kecil Rp 6.000 cukup untuk 3 hari. Kalau ada tetangga yang memberi makanan, ya tidak pergi minta-minta lagi) Aku : "Nuwun sewu, mbah, Jenengan paring asmo sinten? Kala wau minggahipun saking pundi?" (si mbah namanya siapa, tadi naiknya bus dari mana) Si mbah : "Eee... jeneng kulo tho, Sripah, nak. Wau munggah saking dusun Sidodowo, Kec. Modo, Lamongan" (namaku Sripah, nak, tadi naik dari Desa Sidodowo, Kec. Modo, Lamongan) Melihat sekujur badannya yang sudah keriput, aku jadi merasa iba padanya. Di usianya yang sudah renta, si mbah masih harus berjuang sendirian, terpaksa meminta-minta belas kasihan orang, sekedar untuk bertahan hidup. Sekilo beras di tangan, baginya sudah cukup berarti,  tidak lah mengharap lebih. Mungkin tidak seperti peminta-minta kebanyakan yang kadang menjadikannya sebagai profesi.  Kata si mbah, di rumah  beliau tinggal sendirian, tidak ada sanak keluarga  yang menemaninya. Rumah pun dibuatkan oleh warga sekitar. Bagi si mbah, para tetangga dan kepedulian mereka menjadi penyemangat dirinya. Kehadiran si mbah di sebelahku, mengingatkanku pada kedua orang tuaku.  Semoga suatu saat kelak beliau tidak mengalami hal yang serupa seperti yang dialami si mbah itu. Mudah-mudahan aku dan keluargaku bisa selalu dekat memperhatikan keduanya. "Mbah, niki wonten sekedik, damel  tumbas wos", kataku sambil kugenggamkan sedikit recehan ke tangan si mbah. Si mbah pun menyambutnya dengan senang hati, dan tak lupa mengucapkan syukur, terima kasih atas rezki yang didapatnya. Tak lama kemudian, si mbah mengangkat badanya dan meneriakkan ke arah kernet bus, "Nak, aku tulung dukno lama wae!",  (Nak, aku turunkan di terminal lama  saja) Lalu si mbah pun meminta jalan keluar untuk memperisapkan diri turun dari bus,  tak lupa doanya pun terus terucap dan terdengar hingga telingaku. Sayangnya saat itu, aku tidak bisa memberi sesuatu yang lebih berarti untuk si mbah... Ya Allah, selalu ingatkan diriku untuk tidak menelantarkan kedua orang tuaku yang telah mengasuhku di waktu kecil dan mendewasakanku dengan segala peluh dan ketulusan kasih sayangnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun