Musyawarah Nasional (Munas) dan konferensi besar NU yang diselenggarakan di pondok pesantren Miftahul Huda al-Azhar Citangkolo, kota Banjar  27 Februari-1 Maret lalu menghasilkan beberapa keputusan dan rekomendasi penting. Di antaranya tentang masalah penanganan hoaks, perdamaian di Papua, produk tembakau alternatif dan revolusi industry 4.0 dan beberapa keputusan lain.
Ada satu keputusan yang kemudian melahirkan polemik di masayarakat terutama di media sosial yaitu penggunaan istilah "al-muwathinun" atau "warga negara" untuk mengganti istilah "kafir" dalam konteks bernegara.Â
Pada 1 Maret misalnya ada sebuah media nasional yang menurunkan headline, "MUNAS NU, Istilah Kafir Sudah Lagi Tidak Digunakan, Diganti Warga Negara". Belum lagi oknum-oknum politisi yang mungkin saja tidak tidak begitu tahu menahu tentang persoalan-persolan teknis fiqhiyyah seperti itu tapi kemudian mempolitisir dan mengorengnya untuk dirahkan ke kepentingan politik tertentu dan di sisi lain untuk menjatuhkan lawan.
Sulitnya mencari istilah yang tepat
Kata "kafir" atau "k-f-r" (Arabnya "kaf", "fa'" dan "ra" dalam syair-syair Arab pra Islam secara bahasa bermakna menutupi sesuatu. Maka dulu petani yang membajak dan mengolah sawah dalam bahasa Arab pra Islam disebut, "kafir", karena ia membalik dan kemudian menutupi tanah. Setelah Al Qur'an turun kata ini kemudian mengalami pergeseran makna. Kata "kafir" menjadi bermakna mengingkari sesuatu atau menolak kebenaran.
Kata tersebut di dalam  Al Qur'an dipertentangkan dengan kata kunci (core) utama yang menjadi pusat dari Al Qur'an, yaitu kata "Allah", Tuhan semesta alam.Â
Secara terminologi atau istilah dalam Islam kata "kafir" kemudian didefinisikan sebagai orang yang tidak mempercayai Allah sebagai tuhan yang maha Esa dan mengingkari kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Kitab-kitab fikih (hukum Islam) klasik kemudian membagi istilah kafir menjadi beberapa kategori: kafir dzimmi, kafir mu'ahad dan kafir harbi.Â
Kafir dzimmi adalah orang kafir/non Islam dari luar negeri yang menjalin keja sama, bekerja atau bahkan dipekerjakan di negeri muslim. Dia membayar jizyah (pajak) kapada pemerintah dan tidak mengganggu kepentingan negara.Â
Statusnya mereka wajib dan dilindungi dan dijamin keamanannya oleh pemerintah. Kafir mu'ahad adalah orang non-Islam yang membangun perjanjian damai dengan negeri Muslim. Mereka tidak boleh diperangi dan diserang.Â
Sedangkan Kafir harbi adalah orang non-muslim yang melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dan membayakan bagi Islam atau non-muslim yang melanggar perjanjian damai dengan Islam. Misalnya menyerang dan mengusir orang muslim dari rumah dan daerah mereka.Â