Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Terbuka untuk MUI

16 Januari 2017   12:09 Diperbarui: 16 Januari 2017   12:15 2144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://m.infonitas.com/

Assalamu’alaikum wr wb.

Dengan segala hormat, melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan kepada MUI terhadap sesuatu yang tidak saya ketahui ataupun belum saya pahami (mengingat ilmu agama saya yang terbatas). Hal ini saya lakukan karena menurut teman-teman saya bahwa MUI lah lembaga yang paling pantas untuk memutuskan perkara agama dan keyakinan (sesuai pandangan Islam tentunya). Sementara lembaga lain bahkan orang-orang tertentu (meski bergelar ustadz dan ulama) tidaklah sahih.

Di satu sisi saya ingin mempercayai apa yang disampaikan oleh teman-teman saya tadi, namun di sisi lain menyatakan sebaliknya. Mengapa? Karena ada dan bahkan banyak orang lebih percaya kepada sebuah lembaga bernama FPI dan juga lebih percaya kepada seseorang bernama Habib Rizieq. Saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat dan ketahui, tidak bermaksud menjelekkan siapapun. Jadi, pada titik ini saja saya sudah bingung, mungkin juga kebanyakan masyarakat memiliki penyakit bingung yang sama.

Supaya jelas, saya beri contoh saat bulan Ramadhan. Apakah MUI pernah menyatakan haram hukumnya bagi muslim yang bekerja menjual makanan di saat bulan puasa? Apakah MUI pernah mengeluarkan fatwa agar menutup semua warung makan di saat bulan puasa (baik itu yang dimiliki muslim ataupun non muslim), melarang juga masyarakat non muslim untuk makan di depan umum saat puasa? Yang terpenting, apakah MUI memberi fatwa kepada ormas untuk melakukan sweeping dan pengerusakan juga penganiayaan terhadap pelaku-pelaku di atas?

Jika memang MUI mengeluarkan fatwa seperti demikian, ya maaf saya yang keliru. Namun begitu saya akan bertanya, mengapa fatwa MUI itu menyakitkan bagi sebagian orang ya? Jika MUI tidak mengeluarkan fatwa tersebut, lantas mengapa FPI melakukan gerakan sendiri dengan keyakinannya sendiri tanpa meminta fatwa kepada MUI? Justru, ini bukan hanya contoh, melainkan inilah yang saya pertanyakan dan dimohonkan fatwanya oleh MUI. Saya tidak ingin terjerumus kepada kesalahan tafsir apalagi kesalahan tindakan. Bisa dosa hukumnya.

Lupakan soal siapa yang berhak mengeluarkan fatwa atau siapa yang berhak untuk dipercayai nasehatnya (MUI atau FPI)? Karena MUI lebih dulu berdiri ketimbang FPI dan dibentuk oleh negara, maka saya memilih bertanya kepada MUI saja (bagi masyarakat muslim lain yang tidak percaya kepada MUI, maafkan saya). Ijinkan saya untuk memulai dengan memberi pengantar sebagai berikut. Sejak kecil (saat mulai mendengar, bisa membaca dan mengerti akan ucapan dan tulisan), saya diajarkan oleh kedua orangtua saya, saudara-saudara muslim saya, juga guru-guru bahwa Islam itu rahmatan lil alamin (kebaikan untuk seluruh alam semesta).

Islam juga berarti tanpa kericuhan atau kekacauan. Indah sekali, saya akui. Semakin saya beranjak dewasa dan bertambah wawasan hingga tidak hanya ruang lingkup rumah, tetangga dan sekolah, namun juga dunia atau negara-negara lain. Ada banyak kasus penghilangan orang untuk direkrut ke dalam organisasi berbasis Islam, kadang ketemu dalam keadaan linglung. Ada aksi teror dengan melakukan bom bunuh diri yang dilakukan seorang Islam. Ada aksi pengerusakan dan penganiayaan juga dilakukan ormas Islam. Saya menjadi bingung dan gagal paham, benarkah cara-cara seperti ini yang diajarkan Islam?

Ada hadist yang menyebutkan bahwa, “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Ingkar, mungkar dan lalai, itu kadang beda-beda tipis, untuk itu dibutuhkan standar yang jelas termasuk SOP penanganannya, cara-caranya bagaimana, dan targetnya sampai apa?

Contoh anak perempuan kita sudah memasuki usia remaja namun tidak mengenakan hijab, sebagai orangtua kita melihat ada kemungkaran di situ, maka kita mendandani anak dengan hijab. Saat berjalan ada wanita muslim yang kita kenal tidak mengenakan hijab pula, maka kita menasehatinya dengan cara lisan. Terakhir, kita juga tahu banyak selbritis wanita yang muslim tidak mengenakan hijab, maka kitapun mendoakan Targetnya apa? Apabila terjadi penolakan maka kita berupaya terus dengan sabar, karena kita (manusia) sama sekali tidak memiliki kuasa akan hidayah, seperti disebutkan dalam Qu’ran Surat Al Qashash ayat 28-56.

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”, demikian kurang lebih terjemahannya. Jadi, sampai kapanpun dan dengan cara apapun, dipaksa bagaimana pun, jika Allah belum memberi petunjuknya, maka tidak akan terjadi perubahan terhadap seeorang. Lalu buat apa kita kadang ngotot, memaksa, hingga melakukan kekerasan jika kuasa hidayah bukan di tangan manusia, bahkan Nabi Muhammad SAW pun tidak.

Pertanyaan saya sebagai berikut, apakah dibenarkan ataukah tidak dibenarkan dan bagaimana hukumnya (sanksi) terhadap perilaku atau kelakukan orang Islam apalagi yang dikategorikan ulama (ahli agama) sebagaimana tergambarkan di bawah ini:

  • Terlalu memikirkan urusan duniawi. Ibadah sesuai dengan rukun Islam dan rukun iman memang tidak boleh ditunjuk-tunjukkan (pamer/riya). Saya memang tidak melihat ibadah yang mereka jalankan, mungkin saja ibadah mereka cukup baik, wallahualam. Namun perlukah, sebagai orang Islam, selalu “merecoki” urusan duniawi? Sepertinya ada hal-hal yang tidak berkait dengan agama pun menjadi urusan;
  • Menggunakan jalan kekerasan untuk mengatasi masalah, seperti melakukan sweeping, pengerusakan, intimidasi, dan sebagainya. Biasanya bergerombol menuju titik sasaran kemudian langsung melakukan tindakan kekerasan, tanpa berkordinasi dengan aparat atau pun pemerintah setempat;
  • Melakukan cara-cara pemaksaan kehendak dengan pengerahan massa. Sesalah apapun (orang/kelompok yang dianggap salah), mereka patut mendapat pembelaan (itulah hukum kita). Dari sisi agama, mereka butuh penyadaran, bukankah sebaiknya bisa dinasehati dan dibicarakan, agar mereka betul-betul tahu bahwa Islam datang untuk kebaikannya;
  • Menebar kebencian dan ketakutan. Apakah memang Islam itu datang untuk ditakuti? Apakah Islam itu datang untuk membenci umat lain yang berbeda keyakinan? Dengan cara-cara yang dilakukan seperti tersebut di atas, jangankan umat lain, bahkan saya yang islam pun menjadi takut, namun tidak sampai ikut membenci umat lain. Ulama dan ormas Islam baiknya menghadirkan kesejukan, ketenangan bathin dan rohami, menjaga kerukunan (ukuwah), dan sebagainya;
  • Berjihad dengan bom bunuh diri dan melukai banyak orang. Ini memang paling ekstrim, gerakan Islam radikal. Apapun alasannya, jangankan membunuh diri sendiri, menyakiti diri sendiri saja sudah haram hukumnya dalam Islam. Beribadah dan berjihadlah untuk mendapat amalan dan pahala sesuai dengan tuntunan terutama apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, bukan dengan bunuh diri;
  • Menghujat dan menghina mereka yang tidak seiman. Menyalahkan semua yang tidak sepandangan, seolah melupakan Lakum Diinukum Wa Liya Diin (QS Al Kafirun:6), untukmu agamamu dan untukku agamaku. Adanya keyakinan ataupun agama lain adalah keniscayaan, untuk itu biarkan mereka dengan keyakinan mereka sendiri;
  • Merendahkan bahkan memfitnah pemimpin (presiden) mereka sendiri yang muslim. Menyakiti kaum lain saja sudah dilarang, apalagi menyakiti kaum sendiri dan ia berposisi sebagai ulil amri (pemimpin atau pemerintah). Ini seperti yang disebutkan bak memakan bangkai saudara sendiri;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun