Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Nasehat dari "Ratatouille" Hingga "Kungfu Panda" untuk Pilkada DKI

15 Januari 2017   12:40 Diperbarui: 15 Januari 2017   19:00 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ultradesktop.us

Ada yang menarik dari ucapan Ahok saat debat publik Pilkada DKI, Jumat (13/1) lalu. Ia “menyerang” Anies dengan sebutan “dosen”, adakah yang salah? Ucapan tersebut nyatanya menjadi viral yang banyak dibahas oleh kalangan netizen. Ada yang mengatakan Ahok melecehkan profesi dosen, ada yang menganggap wajar saja sehingga tidak perlu tersinggung, dan ada yang menyatakan harusnya bangga disebut dosen.

Sebutan “dosen” itu muncul saat Anies menyatakan betapa pentingnya pembangunan manusia, tidak hanya pembangunan fisik semata. Ahok yang merasa selalu diserang soal membangun benda mati (bahkan dalam kesempatan yang lain, Anies mengumpamakan dengan Firaun, jika hanya membangun kota, bukan manusianya), mungkin mulai “sebal”. Dalam paparan sebelumnya padahal ia sudah menyampaikan program utamanya adalah pembangunan SDM, terutama di lingkungan birokrasi. Baginya, aparat birokrasi yang bersih, sehat dan transparan akan menciptakan pembangunan yang menyeluruh yang lebih baik.

Selanjutnya Ahok mengatakan, apabila hanya ingin ini dan ingin itu, “Itu namanya cuma teori, seperti di kelas, di kampus. Ya, itu pekerjaannya dosen,” papar Ahok lagi. Ini debat yang sangat biasa, saling menyerang bahkan sindir, sepanjang tidak menyinggung suku, agama, ras dan antar-golongan. Namun banyak netizen mulai dari kalangan awam hingga supporter kerap menangkap “redaksionalnya” saja, tidak peduli substansinya seperti apa. Dramatisir ungkapan pun dilakukan, seperti yang ditulis seorang netizen di facebook, “Dosen itu memang mengajarkan teori. Kalau mengajarkan mroyek, maka luar biasa”.

Ada sebuah pertanyaan pula yang cukup menggelitik, apakah jika seorang dosen tidak boleh menjadi gubernur? Atau sebelumnya juga muncul pertanyaan yang hampir sama, apakah seorang berlatar belakang militer tidak boleh menjadi gubernur? Pertanyaan ini substansinya berkait dengan kompetensi dan karakter utama seorang gubernur di DKI Jakarta, apakah seorang dosen dengan karakter pendidik yang partisipatif, apakah seorang militer dengan karakter tegas dan serba komando, atau justru seorang praktisi (kombinasi politisi dan birokrat) yang profesional?  

Saya menjadi teringat Ratatouille, film animasi yang dirilis tahun 2007 di Paris. Dalam film tersebut, Auguste Gusteau, seorang koki terkenal yang sudah meninggal menyampaikan pesan kepada Remy, seekor tikus yang bercita-cita menjadi koki. Gusteau mengatakan bahwa tidak semua orang bisa menjadi seorang koki, namun seorang koki hebat bisa berasal dari mana saja. Dalam konteks Pilkada DKI, tentu siapa pun berhak menjadi gubernur DKI, namun ada persyaratan yang memang tidak mudah.

Mohon maaf sebelumnya, saya pun pernah terlibat diskusi dengan anggota masyrakat lain yang berkait dengan kinerja RT di lingkungan saya. Selain soal karakter, juga kami membahas latar belakang profesi dari pak RT. Sesungguhnya ia memiliki pengalaman memimpin banyak orang (staf) namun pastinya berbeda dengan memimpin masyarakat di lingkungan.

Banyak masyarakat kemudian yang mengkritik gaya kerja RT. Anehnya, tidak ada yang mau menjadi RT untuk menggantikan RT lama, mereka belum tentu bisa melakukan apa yang mereka kritik tadi. Tepat jika dikatakan, saat ini banyak yang berkata bisa namun tidak mau melakukan, sementara sedikit orang yang mau melakukan tanpa peru berkata-kata bahwa dirinya bisa.

Hal yang sangat wajar kiranya di mana orang yang belum pernah “merasakan”, lebih bisa mengatakan apapun. Mau mengkritik, melontarkan ide gagasan, harusnya begini tidak begitu, dan sebagainya. Tidak percaya? Lihatlah komentator ataupun penonton sepakbola yang seolah dan tiba-tiba bisa lebih jago dari seorang pelatih ataupun pemain di lapangan. Para pengamat pun demikian kerap “menyerang” pejabat publik, mengkritik peran akademisi, ataupun menyarankan apa yang harusnya dilakukan seorang militer. Kadang juga kita merasa jengkel bila kopi buatan kita dikomentari miring oleh seorang yang belum pernah membuat kopi sekalipun.

Dalam beberapa kesempatan, Ahok kerap menganalogikan dirinya didorong ke dalam laut dengan paksa untuk menolong seseorang yang kecebur. Mungkin dalam bayangan banyak orang, menjadi gubernur atau presiden itu mudah lagi menyenangkan (sama juga saat kita membayangkan menjadi seseorang dalam profesi tertentu). Namun saat melakoninya, bisa jadi tidak seindah yang dibayangkan. Semua angan, ide dan gagasan tidak selalu berlaku sama di lapangan (praktiknya). Ini yang menjadi soal dalam perdebatan antara Ahok dengan Anies.

Seperti juga yang disampaikan Ahok, bagaimana mungkin lebar sungai yang tadinya 30 meter menjadi tinggal 5 meter dan ingin dikembalikan 30 meter, tanpa merubuhkan bangunan-bangunan yang tidak layak di bantaran sungai? Konsep Anies yang selalu mengandalkan sisi dialog yang humanis, bagi Ahok akan sulit terealisasi. Hal ini mengingat banyaknya tuntutan dan keinginan masyarakat, bagaimana jika sebagian masyarakat setuju dan sebagian lagi tidak setuju dipindah (relokasi)? Bagaimana pula jika kebijakan di sebuah area berbeda dengan area yang lain, padahal kasusnya sama? Di sini kemudian dibutuhkan ketegasan seorang pemimpin setingkat gubernur DKI.

Memang tidak bisa dipastikan bahwa perilaku kepemimpinan selalu terkait dengan profesi yang sudah ditekuni lama oleh seseorang. Anies yang sejatinya seorang akademisi atau Agus yang seorang militer bukan tidak mungkin untuk melakukan tugas-tugas seorang gubernur. Namun akan lebih bijak pula jika selain menawarkan ide gagasan baru dan harapan baru, juga harus mau belajar mengenal bagaimana fakta dan praktik yang sesungguhnya di lapangan. Karakter memang tidak dapat dibohongi, dan kebetulan masing-masing kandidat memiliki karakter yang berbeda-beda. Masing-masing tidak bisa ataupun berubah menjadi pribadi orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun