Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Haruskah Balas Menggigit Anjing yang Sudah Menggigit Kita?

14 Januari 2017   11:17 Diperbarui: 15 Januari 2017   08:46 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://wesharepics.info/

Judul di atas sama sekali jauh dari maksud untuk mengajak melakukan hal-hal yang anarkhis, merusak dan melawan hukum. Mungkin kita sudah sama mengetahui bahwa belajar itu tidak hanya bersumber pada sesuatu yang baik saja. Bahkan dalam ilmu perang atau juga politik mengajarkan bagaimana belajar dari musuhmu sekalipun, sehingga kita memiliki banyak pengetahuan di mana dapat dijadikan referensi bagi pencapaian tujuan kita.

Kekerasan yang dimaksud tidak sembarang kekerasan. Bukan jenis kekerasan dalam rumah tangga, bukan kekerasan satpol PP terhadap pedagang kaki lima, bukan juga kekerasan guru terhadap muridnya yang ketahuan mencontek. Kekerasan di sini adalah tindak kriminal sejenis melukai atau menyakiti fisik orang lain yang dilakukan oleh banyak orang dan biasanya berada dalam satu “ikatan” tertentu (komunitas, kelompok, golongan, dsb).

Jenis kekerasan ini dalam bahasa gaulnya sering diistilahkan dengan tawuran (dua kelompok saling berhadapan), seperti tawuran antar pelajar, mahasiswa, warga kampung, preman, geng bermotordan sebagainya. Ada juga istilah amuk massa, seperti yang pernah terjadi di Lampung, Sumba, Poso, Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia. Dan yang terpopuler, kekerasan jenis ini diistilahkan jiwa korsa, suatu tindak kekerasan oleh aparatus negara (dalam hal ini TNI ataupun kepolisian)—beberapa kasus kekerasan yang melibatkan kesatuan aparat pernah terjadi di waktu lalu.  

Terakhir terjadi kasus bentrokan antar ormas yakni antara kelompok FPI dan GMBI di Bandung, Jawa Barat. Kesamaan dari jenis kekerasan semacam ini ada pada semangatnya yang dilatarbelakangi oleh “ikatan” identitas tertentu tadi. Orang-orang yang terlibat dalam tindak kekerasan tersebut sesungguhnya memiliki semangat solidaritas dan kesetiakawanan yang tinggi, loyal terhadap “ikatan” dan militan. 

Bukankah memang karakter semacam ini yang diharapkan dari anak bangsa untuk membangun bangsanya lebih baik dan lebih maju, serta tidak berada di bawah tekanan asing? Beberapa model pendidikan dan trainning di di banyak institusi menyisipkan materi-materi yang sifatnya membangun karakter seperti itu.

Kementerian pertahanan dan keamanan pun merasa perlu mengusulkan program “bela negara” yang sekarang banyak diikuti oleh ormas (termasuk FPI). Lantas mengapa menjadi salah? Mengapa semangat ataupun karakter seperti di atas menjadi sesuatu yang dikonotasikan negatif? Hal ini yang hendaknya perlu kita pahami bersama. 

Pertama, bahwa tindak kekerasan di manapun, oleh siapapun, dengan alasan apapun, adalah salah dan melawan hukum. Itu harus kita pahami bersama dan menjadi standar. Jika dibiarkan akan berbahaya (bandingkan atau perhatikan komen masyarakat di dunia maya yang justru memberi nilai positif terhadap FPI yang diduga melakukan penganiayaan dan pengerusakan, misalnya). 

Kedua, tidak ada yang salah sama sekali dengan semangat ataupun karakter yang baik, seperti: solidaritas, setia kawan, loyal dan militan. Yang menjadi salah adalah orang-orang yang keliru dalam memahami semangat tersebut dan hal ini lebih disebabkan materi pendidikan yang ditanamkan keliru. 

Benar (harusnya) dan sah-sah saja bila setiap orang memiliki semangat atau karakter tersebut terhadap kelompoknya, namun jangan sampai mengorbankan bangsa dan negara. Ajarkan cinta tanah air terlebih dahulu sebelum bicara kelompok. Ajarkan bahwa kuatnya kelompok adalah untuk mencapai tujuan bangsa. Ajarkan bahwa kelompok (apapun itu “ikatannya”) hanyalah salah satu unsur penting (elemen masyarakat) yang dapat dijadikan kendaraan untuk mengantarkan kejayaan bangsa dan Negara.

Semangat tersebut termasuk juga di dalamnya ada unsur balas dendam. Balas dendam tidak selalu buruk, tinggal lagi bagaimana mengarahkan potensi balas dendam tersebut kepada hal-hal yang baik dan produktif. Jika diibaratkan sebuah energi, bila tidak benar dalam memanfaatkannya (mengatur dan mengelolanya) maka hanya menghasilkan petaka. 

Sama seperti saat mengolah amarah menjadi sesuatu yang baik. Kita benci dengan kemiskinan yang dialami, membuat kemarahan dan rasa ingin membalas dendam. Tuangkan rasa benci, marah dan dendam itu kepada upaya-upaya yang dipercaya bisa sukses dan mampu mengentaskan dari kemiskinan, misalnya bekerja keras, kreatif dan sungguh-sungguh. Jangan justru bermalasan dan hanya bisa mengeluh ataupun menyalahkan orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun