Mohon tunggu...
Aulia Gurdi
Aulia Gurdi Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

spread wisdom through writing...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terpaksa Kucing-kucingan Urusan Ranjang #Sketsa Masyarakat Pendatang Ibukota

24 April 2012   23:13 Diperbarui: 4 April 2017   18:14 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara cekikikan bergema disudut sebuah kontrakan saat ibu-ibu tetangga saya berkumpul. Saat itu adalah waktu santai di mana sebagian mereka sudah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, anak mereka umumnya sudah berangkat ke sekolah. Kebetulan saat itu saya sedang mengajak si kecil saya bermain, sayapun diajak terlibat dalam obrolan seru mereka. "Ahh...kalau saya mah ngatur waktu buat "begituan" kudu pinter-pinter, kadang yaa...bantal saya tumpuk-tumpuk jadi tinggi, biar kalo anak saya mendusin, dia ga liat kita lagi ngapain." Ibu yang lain bercerita, "kalo saya bener-bener harus nunggu malam larut sampai anak saya beneran saya pastiin udah pules bobonya, ngeri deh kalo sampai kepergok mah." Sementara ibu yang lain lagi bilang, "kalo saya milih nyeret suami pindah agak jauh ke ruang tamu, mending saya gelar tiker sekalian disitu, dari pada saya kuatir...hahahahha...." ucapan lugunya disambut tawa berderai ibu-ibu lainnya...

Begitulah rumpian khas beberapa ibu-ibu tetangga saya yang sempat saya simak dan sekaligus mengusik keprihatinan saya. Rumah saya kebetulan ada ditengah-tengah kontrakan para keluarga muda pengusaha kecil yang mengadu nasib di Jakarta. Mereka umumnya pedagang-pedagang kecil. Dari mulai pedagang bubur ayam, sate padang, bakmi, juice. Dengan kisaran jumlah anak rata-rata 1 sampai 2 orang anak, mereka menempati sebuah kontrakan petakan yang umumnya hanya punya 1 kamar, bahkan beberapa yang lain loss tanpa kamar.

[caption id="attachment_184082" align="aligncenter" width="461" caption="inilah rumah kontrak petakan tetangga saya, berderet memanjang (dok.pribadi)"][/caption]

Diantara anak mereka bahkan ada yang usianya sudah memasuki masa ABG, sekitar 13 tahun. Bisa dibayangkan dengan keadaan rumah sedemikian rupa bagaimana pasangan suami istri harus mengatur keberlangsungan penyaluran kebutuhan biologis. Terbayangkah dengan rumah hanya sekamar  bahkan beberapa ada yang tanpa kamar, bagaimana mereka harus kucing-kucingan mengatur ritual penting demi tersalurnya hasrat yang sesungguhnya menjadi kebutuhan paling esensi setiap manusia ini?

[caption id="attachment_184084" align="aligncenter" width="461" caption="ini satu contoh kamar yang loss tanpa sekat, terlihat batas menuju kamar mandi dibatasi lemari, bila siang hari kasur diberdirikan dan ruang tidur ini berubah fungsi menjadi ruang tamu (dok. pribadi) "]

13353135322061107148
13353135322061107148
[/caption]

Gambaran ini sesungguhnya adalah potret dari sebagian masyarakat pendatang ibukota. Bila saja di survey, jumlah mereka pasti tak sedikit menyebar di pelosok dan sudut Jakarta. Mereka kebanyakan adalah masyarakat pendatang yang harus fight untuk mencari rizki di belantara ibukota, meski boleh dikatakan serba pas-pasan untuk ukuran sebuah kenyamanan hidup. Mereka harus memutar otak mensiati keadaan yang seperti ini. Karena kebutuhan biologis tentu tak ada yang bisa menahannya. Apalagi usia mereka adalah usia produktif dalam kematangan seks.

Pasti begitu banyak pengalaman seru melewatinya. Kecemasan akan adegan-adegan mereka yang takut terintip dan kepergok oleh anak mereka adalah menjadi bagian cerita unik tersendiri yang terkadang buat mereka sendiri sangat lucu bila mengingatnya. Hingga tak jarang "quickly sex" atau sering disebut juga seks kilat kerap menjadi pilihan. Cerita-cerita menarik yang mengundang tawa seputar kucing-kucingan mereka dalam adegan ranjang ini, menjadi warna di kehidupan mereka.

Beberapa dari mereka pernah bercerita pada saya, bahwa dikampungnya, mereka sudah punya rumah yang bagus dan luas layaknya rumah di kota besar. Mereka membangun dari hasil jerih payah mengadu nasib mengais rizki di ibukota. Namun tuntutan hidup memaksa mereka tetap kembali. Jakarta masih terlalu seksi untuk mereka tinggalkan. Masih menjanjikan banyak harapan. Rumah yang nyaman belum ditinggali, sementara diisi oleh sanak keluarga di kampung. Mereka tetap memilih kembali meski itu mengorbankan banyak hal, termasuk di dalam menyangkut urusan biologis ini.

But life must go on. Hidup kadang tak berisi pilihan dan faktanya mereka memang tak punya pilihan itu. Meski terbatas, apapun keadaan yang menghampiri, tentu selalu ada cara mensiatinya. Bukankah tak hanya satu jalan menuju surga Roma...hehehe...:)

.

Selamat Pagi...Selamat Beraktifitas

.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun