Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kedamaian yang Didambakan

21 Mei 2017   21:05 Diperbarui: 21 Mei 2017   21:23 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bisa terwujutkah ?

Peristiwa demi peristiwa berjalan terus seperti mata nalar dan hati orang tak bisa sekejap melepaskannya. Konflik yang meresahkan harus dialami dengan lambaran harap harap cemas kepada tindakan para pemuka yang berkompeten.

Ada titik terang dengan  Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, bertemu dengan para tokoh lintas agama di Istana Merdeka. Pertemuan mendadak tersebut dilakukan setelah Jokowi kembali dari Palu, Sulawesi Tengah. (Mungkin Presiden menangkapnya disana suara akar rumput yang galau dan cemas ini.) Sedikitnya delapan tokoh dari organisasi keagamaan datang ke Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (16/5/2017). https://news.detik.com/berita/d-3502518/jokowi-bicarakan-kebinekaan-dengan-tokoh-lintas-agama.

Dibantu oleh formulasi yang berserakan di medsos saya coba merumuskan dambaan macam apa yang dimaksud, yaitu: Tenteram dan Damai, mengharap lepas dari Keresahan dan Perselisihan berkepanjangan yaitu  :  

Pengkotakan, dikotomi kelompok dengan dua kata ini : "mayoritas minoritas", dilengkapi dengan "intoleransi-tanpa tahan diri-tau diri, atas dasar kebebasan mengemukakan aspirasi" jadi semakin pas saja dengan memaksakan kehendak. Kafir dan muslim. Ikut membahas itu berbau sara, tidak mengatakan sesuatu terpaksa mendengar dan yang mengatakan adalah haknya, yang lain biarlah merasakan ketidak nyamanan. “Ada sekat2 sosial, Relasi social terbelah, oleh agama, etnis, aliran politik ; kebersamaan renggang, Pancasila dan NKRI terancam.”

Sehari kemarin tg.19-20  Mei 2017 mengikuti gerak mata hati  saya melontar kata kata di Facebook yang sebenarnya harus lebih jauh dikatakan karena tulisan status Fb saya itu hanya limpahan saja dari yang saya renung -renungkan. Tetapi tak mungkin di Facebook membuat pidato panyang. Tentu karena setiap orang harus menghormati dan memperhitungkan pembaca cukup bijak dan hemat waktu. Saya belajar dari pendapat-pendapat Facebooker dan Kompasiana sebagai presentasi actual dan selebihnya dari sumber sumber beberapa bacaan, frase dan adagium dari beberapa pakar.

Dari pedapat actual saya marasa belum tercermin jalan mendekat pada kedamaian yang didambakan. Banyak kesan dari kupasan para penulis Kompasiana yang bisa disebut pengamat politik melaporkan peran pakar pakar yang masih bersumbu pendek dan sewqaktu waktu bisa meledak, disamping pemangku kepentingan kekuasaan kedepannya bagi dirinya. Bahkan ada Feacebooker yang menyodorkan “resep kedamaian” tetapi masih dilampiri sikap intoleransi kuat. Demikian beberapa hari belakangan belajar dari para penulis politik actual di Medsos.

Menghibur diri dengan berteori, mendambakan kedamaian dengan melambungkan doa,  itukah yang insan warga kecil ini sekarang baru bisa dikerjakan disini……?

Memang kedamaian itu bukan artinya tanpa konflik. Bukankah diatas diakui telah dan masih ada keadaan peselisihan pertentangan dan perbedaan paham. Namun bagi yang berkompeten bagaimana menangani konflik itu, dan bagaimana yang sedang berbeda pendapat menyikapi perbedaan itu. Apabila boleh dikata “dengan sikap penuh kedamaian”, sebagai tanda niat dan kemauan untuk berdamai, maka akan bisa terjadi perdamaian itu. Mungkin itulah pemikiran politisi yang memiliki jiwa kenegarawanan yang uggul. Tetapi bagi kroni dan begundal saya kuatir perdamaian itu problema fulus saja dan sekedar show of force. Padahal seorang pemikir ulung genius Albert Einstein telah pernah menyumbang gagasan bahwa Perdamaian tidak bisa didapat dengan kekuatan (by force) tetapi hanya dengan saling pengertian/pemahaman.

Kembali orang kecil boleh berteori atau melanturkan impian. Nasehat nenek moyang kita dalam pergaulan umum artinya dalam kebersamaan ini mengatakan sedemikan tandas dalam membangun keserasian terhadap sesama. Kakek nenek kita tidak menilai baik orang yang bersikap “Kadang konang”, yang memandang hanya orang yang kelihatan menguntungkan, memberi manfaat, sebaliknya jangan “pandang bulu”. Maka nasehat selanjutnya adalah : “Rila lamun ketaman, Kelangan nora gegetun”. Artinya kalau memang dibutuhkan untuk kepentingan bersama harus rela berkorban, dan tidak menyesal kehilangan untuk kebersamaan. Kakek saya sering berkata : Kocak tandane lokak. Bila ada tabung air kita goyang dan mengeluarkan bunyi itu tanda isi air tidak penuh. Demikian orang yang kurang berisi akan banyak omong.

Apabila kita diperingatkan secara demikian seperti kita diajak menjenguk kedalam diri kita sendiri. Untuk itu tak ada lebih tegas dari padangan bangsa kita yang mengajak “Tepa slira”, artinya mensikapi orang lain dengan ukuran tepaslira yaitu apa yang ingin tidak/ ingin diperlalukan bagi diri sendiri juga demikian harus diperlakukan terhadap orang lain. “Mulat sarira hangrasa wani”, atau berani melihat diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun