Mohon tunggu...
asri supatmiati
asri supatmiati Mohon Tunggu... Editor - Penuli, peminat isu sosial, perempuan dan anak-anak

Jurnalis & kolumnis. Penulis 11 buku, 2 terbit juga di Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perubahan Harga Mati #29

29 Juli 2017   20:55 Diperbarui: 29 Juli 2017   21:40 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perubahan Harga Mati

Perubahan dalam hidup ini adalah sebuah keniscayaan. Maka, jangan terlalu obral harga mati untuk urusan duniawi. Karena, segala bumi dan seisinya ini fana. Tidak ada yang abadi. Tidak ada yang stagnan. Malah, kata banyak pakar, justru perubahanlah yang abadi. Perubahan itulah yang pantas dilabeli harga mati. Semua pasti berubah.

Manusia itu tempatnya berubah. Terus berubah bahkan. Dari bayi merah, remaja, dewasa hingga usia matang (baca: tua). Tidak ada yang kekal. Perubahan itu seiring dengan semakin matangnya proses berpikir. Semakin intensnya diskusi. Semakin terserapnya ilmu. Semakin beragamnya pengalaman. Semakin berlikunya pergumulan hidup. Semakin terbukanya mata hati. Maka, jangan alergi dengan perubahan. 

Pun, jika ada yang menawarkan perubahan, jangan buru-buru dikecam. Pelajari dulu secara objektif. Kaji betul. Perubahan seperti apa yang ditawarkan? Ke arah kebaikan atau keburukan? Membawa maslahat atau mudharat? Terpenting, timbangan perubahan itu harus jelas. Standarnya pasti, bukan relatif. Bagi yang Muslim, standar baku itu adalah baik atau buruk dalam kaca mata Islam. Halal haram dalam konteks syariah. Maslahat atau mudharat berdasar dalil. Bukan semata-mata sesuai hawa nafsu manusia.  Sebab, akal manusia terbatas. Boleh jadi ia membenci sesuatu, padahal itu amat baik baginya. Sebaliknya, ia menyukai sesuatu, padahal itu buruk baginya. (Lihat TQS Al-Baqarah: 216). 

Lagipula, stagnan juga belum tentu baik. Istilah jadulnya, jumud. Istilah kerennya, zona nyaman. Jika berubah bisa jauh lebih nyaman, kenapa tidak? Jika berubah jadi lebih baik, kenapa menolak?  Malu loh, kalau sudah teriak "harga mati," tapi ternyata di kemudian hari berubah. Atau, tidak konsisten dengan teriakannya sendiri. Misal, orang yang "cinta mati" itu, ngegombalnya bakal sehidup semati. Faktanya, pasangan mati, doi kawin lagi (sebagian sih, hehe..). 

Jadi sekali lagi, jangan anti terhadap perubahan. Harus terus berubah. Berubah lebih baik. Berubah ke arah Islam. Jangan ke arah yang lain. Umar bin Khattab berubah dari pembela kekafiran menjadi pembela Islam. Bersama Rasulullah SAW berada di barisan terdepan pembawa gerbong perubahan peradaban.  Mengganti peradapan jahiliyah menjadi peradaban Islam. Rivalnya, Abu Lahab yang tak mau berubah, akhirnya binasa.

Ya, kalau tidak mau berubah, siap-siap menuju ajal. Fir'aun binasa karena tidak mau berubah. Nokia menggali kubur karena terlalu takabur. Friendster tinggal nama karena ada perubahan teknologi pertemanan. Maka, pastikan Anda berada di gerbong perubahan. Karena, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'ad ayat 11). Wallahu'alam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun