Mohon tunggu...
Asikin Hidayat
Asikin Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Kepala Sekolah di SMP 4 Satap Sumberjaya, Majalengka

Hanya suka, semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menari dengan Hati

17 Mei 2017   06:25 Diperbarui: 17 Mei 2017   08:39 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada yang menarik dari ucapan Nani Sawitri pada saat ia diwawancara MC sesaat setelah sajian Topéng Samba-nya di Fersival Kampungan Sekar Laras (28/12/2016) kemarin. “Kita menari bukan dengan mata, tetapi menari dengan hati,” katanya. Menari dengan hati! Ungkapan yang dikemukakan oleh Nani Sawitri (yang konon meneruskan fatwa ibunda, sang maestro topéng Cirebon gaya Losari : Mimi Sawitri) tiba-tiba saja menjadi ruh berkekuatan luar biasa yang menjiwai tiga hari kegiatan yang digagas Darto J.E.

Ungkapan Nani Sawitri ini membawa angan saya merangsek memasuki relung-relung budaya yang dangkal saya pahami. Tiba-tiba saja saya berada di tengah-tengah sekumpulan seniman budayawan yang asyik menonton saya menari menirukan Nani, meliuk-liuk berputar melangkah memainkan soder. Gending bertalu memenuhi malam terakhir Festival Kampungan. Ruang-ruang arena terbuka Sekar Laras menjadi penuh jiwa, sesak makna, dan...berserak harap. Sorak sorai penonton adalah semangat yang kemudian harus disikapi secara arif, bukan saja demi sebuah kepuasan, pun sekaligus sebagai ungkapan ketidakpuasan semata. Karena ketidakpuasan akan melahirkan hasrat merunut gerak lainnya. Dan itulah yang namanya dinamika. Dinamika budaya.

Apa yang dilakukan Darto di pusat kegiatannya ini hakikinya adalah kegiatan menari. Menari dengan hati sebagaimana dikatakan Nani Sawitri. Mata hanyalah media ketika sesuatu menjadi kasat pandang. Lantas semuanya menjadi padu dalam satu alunan sikap, gerak yang mewiraga, gending yang mewirahma, dan jiwa yang mewirasa. Tak berlebihan jika saya menganalogikannya dengan kegiatan budaya di Majalengka secara keseluruhan.

Saya jadi teringat ucapan Oom Somara saat tampil memainkan monolog Ki Bagus Rangin (saya lupa judulnya). Sebelum bermain secara berkelakar ia mengatakan bahwa ia tampil di Festival Kampungan ini hitung-hitung membayar utang atas perjanjian (tak tertulis) antara dia dan Darto. Isi perjanjiannya adalah : barangsiapa lebih dahulu mampu membuat galeri seni terbuka atau yang sejenisnya, maka yang kalah harus membayar kekalahannya dengan mengisi acara di galeri yang dibangunnya itu. Dan Dartolah pemenangnya. Dan ‘utang’ yang dikatakan Oom Somara di sepenggal kecil malam itu, adalah riak-riak ‘tagihan’ yang seyogyanya tidak hanya ‘dibayar’ saat itu saja. Peluang ‘membayar’ di hari lain dalam bentuk kegiatan lain mestinya tersadari menjadi beban kita semua. Menjadi beban seniman budayawan Majalengka yang sesungguhnya haus dengan ‘gerak’, haus ‘membayar utang’, dan haus ‘menari’ (mudah-mudahan dengan hati).

‘Kerja’ Darto adalah salah satu riak yang muncul di permukaan kehidupan kebudayaan di Majalengka. Saya katakan salah satu, karena riak-riak lain pun sudah dimunculkan oleh yang lainnya, baik perorangan maupun komunal. Lihat gerak Kijoen yang secara individu konsisten menggelorakan sastra lewat kegiatannya baca puisi di mana-mana. Tak peduli apakah ditonton orang banyak atau tidak, yang penting sastra tetap menggelora. Dan komunitas Sastra Majalengka di lain pihak, memandang pergerakan Kijoen sebagai sebuah gerilya penuh makna. Lihat sang pelukis Eded Edhar yang pun sedang dan selalu berjuang memproklamirkan diri membuat rencana pameran di mana-mana. Tengok pula kegiatan Rahmat Iskandar (Rais Purwacarita) yang diam-diam melangkah melenggangkan lagu-lagu kebudayaan lewat Sastra Sunda dan karya-karyanya. Dan lain-lain yang secara personal bergerak dan terus bergerak memeriahkan kebudayaan di Majalengka.

Pergerakan komunal pun terus melaju, melangkah tegap bak penari topéng Rahwana, melenggang tenang bak penari Lenyepan, pun bergerak dinamis bak penari Jaipongan. Mari menyebut komunitas Konser Kampung Jatitujuh yang sejak puluhan tahun lalu melakukan aktivitas berkesenian dan berkebudayaan secara konsisten. Berkarya adalah kata kunci kelompok Ketut Aminudin dkk. ini. Hingga kemudian melahirkan alat-alat musik yang mereka namakan belentung. Sebut Jatiwangi Art Factory yang tak lekang karena usia tetap bersikukuh menyelenggarakan dua tujuan (pertemuan setiap tanggal 27). Sebut pula kelompok-kelompok lain yang timbul dan pun tenggelam tetapi tetap dengan niat-niat menggelorakan riak-riak kecil itu. Hingga kemudian bermunculan sanggar-sanggar seni baik tradisi maupun kontemporer, turut serta meramaikan jagat budaya Majalengka.

Inilah Majalengka, dengan dinamika yang demikian nyata. Aneh sekali jika ada person (siapa pun itu, pejabat atau bukan - dan terutama pejabat!) yang menyatakan bahwa Majalengka sedang kehilangan jejak, kesenian tradisi di Majalengka hampir punah, kebudayaan Majalengka sedang kehilangan arah. Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan demikian adalah orang-orang yang tersesat. Terkutuklah mereka yang tidak mengenali negerinya sendiri!

Mereka, orang-orang pandir yang tak kenal negerinya sendiri itu, pasti tidak pernah mendengar tentang Sintren Sekar Laras yang fenomenal dengan trik magic-nya (walaupun ini disangkal oleh Darto; sintren bukan magic, katanya). Mereka pasti tidak pernah mendengar tentang keturunan Ita Rawita di randegan yang masih memelihara topéng dengan kecintaannya. Mereka pun tak pernah mendengar tentang wayang kulit Majalengka yang masih lekat dengan suara ketuknya. Mereka asing dengan wayang golek lokal yang butuh sentuhan ‘panghiap’ dari Pemerintah Daerah. Mereka pun asing dengan upaya Sukarta maestro dalang wayang kulit purwa yang menurunkan Kedempling kepada anak-anak muda di Sanggar Sunda Rancage. Mereka pun asing dengan sentuhan-sentuhan kreativitas karawitan seperti yang ditampilkan Sanggar Panghegar. Mereka pun pasti tak pernah tahu tentang munculnya beberapa juara dalam beberapa even budaya di Jawa Barat dan nasional. Ah, pasti mereka juga tidak tahu pasti bahwa reog ternyata masih dipupusti di Sanggar Cineur. Mereka juga pasti buta dengan kehidupan sampyong dan ujungan di Cengal, di Simpeureum, dan di beberapa tenmpat lainnya. Uff! Jangan-jangan mereka juga buta dengan sandiwara Sunda yang ‘masih aya dikieuna’ di Pagandon dan dikembangkan secara konsisten oleh Andreas, Arfin, dkk. Dan... saya yakin mereka juga tidak kenal dengan Endang Azam sang pengrajin angklung dari Cibodas nun jauh di pelosok perbukitan sana...

Maka, inilah pekerjaan rumah yang sesungguhnya : yakni merenda rencana ke depan berkenaan dengan urusan kesenian dan kebudayaan. Melalui Dewan Kesenian dan Kebudayaan Majalengka (Dekkma), saya ingin mengajak semua pihak menari dengan hati. Abaikan mata untuk sementara, karena mata hanya memancarkan kepalsuan saat bertemu pandang. Karena mata bisa saja salah lihat ketika kita menentukan arah.

Nah, lewat tema menari dengat hati ini juga saya jadi teringat tentang sosok Pak Gatot yang hadir di arena Festival Kampungan memenuhi undangan sebagai Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Parbud) Kabupaten Majalengka yang baru. Selamat kiranya layak disampaikan kepada tokoh yang satu ini. Mudah-mudahan kali ini seniman dan budayawan mendapat kesempatan berbagi hati dengan Kadis yang baru. Harapan tentu bersimuncul seiring dengan hadirnya Pak Gatot, karena seniman dan budayawan hakikinya percaya kepada siapa pun yang menduduki jabatan Kadis di Parbud sepanjang konsisten mengayomi seniman dan budayawan.

Mari ajak Pak Gatot menari – sebagaimana Darto mengajaknya menari joget di depan ronggeng sintren – dengan hati. Alasannya sederhana saja, karena menari hakikinya bermakna sangat mendalam. Di sini, kedudukan dan jabatan ibarat seorang penari yang belajar tentang kesabaran, belajar konsentrasi, mampu mempertahankan kelenturan atas kebijakan-kebijakan yang diambil. Pejabat adalah sang penari yang amat paham kapan mulai bergerak, kapan mencapai puncak, dan kapan berhenti. Mereka bukan sosok-sosok pelupa diri yang hanya berharap keselamatan jabatan. Maka komitmen awal atas jabatan yang dipegang harus segera dicatatkan sebagai standar operasional prosedur kerja. Dengan demikian, pejabat juga adalah budayawan pada akhirnya. Ironis sekali jika jabatan Kadis Parbud bukan orang berbudaya. Bukahkah demikian, Pak Gatot?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun